Kasih Tak Searah Lagi

Facebook
Twitter
WhatsApp

Oleh : Sugiya Selfi R

Seperti keluarga biasa. Pastinya ada-ada saja suka duka  dalam kehidupan keluarga. Secara fungsionalnya yah sebagai bumbu-bumbu kehidupan agar tak hambar, katanya. dan itu dirasakan keluarga kecil yang melukis cerita di Depok ini.

Seorang anak perempuan yang tumbuh remaja hingga dewasa bersama keluarga kecil. Sebut saja Kasih. Orang tuanya masih lengkap, Ayah Kasih bernama Rojak dan ibu Kasih bernama Maria. Ia juga punya dua saudara perempuan, Rara dan Sri.

Kasih adalah anak sulung, pastinya gelar itu menjadi beban pada dirinya. Dimana ia harus menjadi anak yang kuat, jadi panutan adiknya, anak yang harus membanggakan, anak yang berguna dan tidak menjadi beban untuk keluarga.

Mempunyai keluarga harmonis adalah impian semua keluarga. Namun apa boleh buat, jika keadaan tak sesuai ekspektasi, keluarga Kasih sangat jauh dari kata itu. Betul-betul keluarga Kasih berada pada roda duka kehidupan. Ayahnya yang emosian, tempramental dan juga kasar membuat Kasih benci kepada Ayahnya. Ibunya juga terpengaruh dengan watak sang Ayah karena selalu dikasari, maka ibunya pun bersikap kasar kepada Kasih dan adiknya.

Suatu waktu, pada siang itu. Kasih sedang bercengkarama dengan balpoin berwarna kuning dan binder motif batiknya. Tiba-tiba ia kehilangan fokus karena teralihkan oleh panggilan ibunya.

“Kasih! Bangkit dari malasmu dan cuci piring ini,” teriak ibu Kasih.

Kasih yang sedang sibuk di meja belajarnya menghampiri cepat asal teriakan itu.

“Kenapa sih bu, teriak begitu. Lagian Kasih lagi ngerjain tugas bukan bersantai,” bela Kasih dengan nada kesal.

“Kerja tugas, kerja tugas. Ngawur terus aja kamu. Anak perempuan itu harus rajin. Cuci piring dulu baru kerja tugasmu,” bantah ibu Kasih tak percaya.

Kasih meninggalkan pekerjaannya dan  segera mengangkat air untuk cuci piring sebelum ibunya memanggil lagi dengan kata-kata kasar.

Yah, begitulah keseharian Kasih di rumahnya. Meskipun ia telah berusia 18 tahun, sudah kuliah dan punya dua adik perempuan, masih saja diteriaki layaknya anak kecil yang nakal.

Di pagi yang cerah, seisi rumah sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Ibu Kasih setia di dapur, Rara si adik pertama menyapu halaman, sedangkan Kasih dan Sri si adik kedua membantu ayahnya mengakat barang dagangan untuk di bawa ke pasar. Seperti biasa, setiap hari Rabu ayah Kasih ke pasar membawa dagangan berbagai jenis sayuran.

“Sreek..sreek,”

Bunyi plaster plastik yang ditarik ayah Kasih.

“Sudah saya bilang ini bungkusan sayur di plaster, Maria bodoh!,” umpat ayah Kasih.

Kasih dan Sri hanya diam mendengar umpatan itu kerena sudah tak asing lagi didengar dan segera mengangkat kardus-kardus sayur.

Ya, kata-kata umpatan; bodoh, kurang ajar, goblok dan sejenisnya selalu terlontar dari mulut ayah Kasih. Ayah Kasih yang terlihat sabar tapi kalau marah, minta ampun. Ayah kasih tidak melihat keadaan kalau sedang marah. Bahkan, meskipun anak- anak melihatnya ia tetap memarahi istrinya.

Kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) pun pernah dialami keluarga kasih. Ayahnya selalu memukul ibu Kasih dan juga anak-anaknya. Mungkin akibat KDRT itu, sifat ibu Kasih yang suka marah dan tidak pengertian semakin membara yang membuat tidak adanya kenyamanan dan kedamaian dalam rumah keluarga Kasih.

Kasih yang melihat semua alur kengerian dalam rumah tangga hanya berdiam dan menangis di kamarnya. Tak banyak yang bisa ia lakukan karena ayahnya sangat sentimental dan berkuasa dalam keluarga.

Ini, itu dan apa pun itu harus sesuai dengan keinginan ayahnya. Ibu Kasih juga tak bisa memberikan sanggahan atas kelakuan ayah Kasih karena melihat hanya ayah Kasih yang mencari nafkah maka segalanya, ayah Kasih yang berkuasa.

Malamnya, Kasih memberanikan diri untuk minta izin karena besok ia akan pergi rekreasi ke pantai bersama teman-temannya.

“Ayah, boleh yah Kasih mau ke pantai sama teman-teman,” tanya Kasih manja.

“Gak usah, di rumah aja. Lagian bikin bensin habis aja, bensin mahal,” jawab ayah Kasih judes.

Kasih yang mukanya ceria menjadi kecut. Kasih sangat kesal dengan ayahnya yang perhitungan terhadapnya. Inilah salah satu yang Kasih tidak suka dari ayahnya.

“Ayah yang tidak pengertian,” kesal Kasih dalam hati. Kasih pun menangis karena rencana indahnya dipatahkan begitu saja.

Tidak satu kali tapi berkali kali ayahnya seperti itu. Entah apa maksud dari sikap ayahnya. Lama-kelamaan situasi tersebut membuat Kasih malah benci kepada ayahnya. Sosok yang seharusnya menjadi cinta pertama malah menjadi musuh pertama dalam hidupnya.  Sosok yang seharusnya menjadi teman sejalan searah malah menjadi lawan tak sejalan tak searah.

***

Tahun berganti, Kasih kini berusia 19 tahun. Telah menjadi seorang anak yang mencari jati dirinya, apa kecakapannya, apa fasionnya. Dulu, waktu SMA Kasih ingin aktif dalam organisasi namun karena pengaruh lingkungan keluarga, sikap ibu dan ayahnya membuat dia lari dari jiwanya sendiri. Sekarang Kasih memasuki tahap perkuliahan. Menjadi Mahasiswa adalah sebuah impian. Impian berorganisasi kembali dan akhirnya ia beranikan diri masuk salah satu organisasi kampus.

Masuk organisasi pasti mengambil waktu dan tenaga. Kasih akhir-akhir ini sibuk sekali karena memang tujuannya aktif dan niat berorganisasi. Dan akhirnya konflik muncul ketika ayah Kasih menegurnya.

“Siapa suruh masuk organisasi?,” Tanya ayahnya

“Kan itu bagus dan sesuai jurusan Kasih,” jawab Kasih pelan.

“Tapi gak ada manfaatnya, kamu keluar terus ayah liat, mending kamu di rumah saja atau ke pasar jualan lebih bermanfaat! ” Sambung ayahnya dengan nada tinggi.

Kasih menunduk. Tak mampu menjawab. Ia kembali ke kamarnya dan menangis tanpa suara.

Kasih pernah membayangkan niat untuk pergi dan berpisah dengan keluarganya saja. Ia tak sanggup lagi jika situasinya seperti ini. Ia juga merasa, dirinya hanyalah beban bagi keluarga dan tidak berguna.

“Atau aku pergi saja yah,” tanya kasih dalam hati.

Namun, Kasih masih mengurungkan niatnya itu. Takut berdampak besar, nantinya.

Lamungannya terhenti seketika mendengar suara keras di luar.

“Maria bodoh, sini!”

“Kenapa sayur ini cepat rusak, sudah saya bilang jaga ini sayur”

“Dasar kamu ini. Rumah tidak beres. Dagangan pun. Anakmu juga gak bisa kau urus. Bodoh, memang kamu itu,”

Suara itu tak lain suara ayah Kasih yang sedang marah ke Ibu Kasih karena sayur yang rusak. Hmm… Pantas saja ibu Kasih besifat kasar ke anaknya, suaminya yang ngajarin. Perlakuan ayah Kasih ke ibu Kasih membuat pikiran ibu Kasih tak karuan dan hancur lebur. Pikiran ibu Kasih kacau dan membuat ia jugag marah kepada anak-anaknya.

Kasih yang mendengar suara keras dan kasar itu membuatnya tambah menangis dan meratapi nasib yang kini keluarganya terima. Benci yang tertanam dalam hati Kasih, kini menerpa dengan kuat. Ia tak tahan lagi dengan perlakuan ayahnya.

Keesokan harinya, rumah tampak sepi. Tak seperti biasa. Ibu Kasih tak mengicau pagi ini. Mungkin karena pengaruh pertengkaran tadi malam. Ayah Kasih juga hanya bersantai dengan secangkir kopi hangat di ruang keluarga.

“Kasih?,” panggil ibu Kasih sambil mengetuk pintu kamar.

“Kasih, bangunlah! Sudah jam 8 nih,” sapa ibu Kasih sekali lagi.

Namun, tak ada jawaban menghampiri ibu Kasih. Ibu Kasih pun heran. Tidak seperti biasanya Kasih tidur sampai matahari terik begini.

“Oalah, pintunya kekunci lagi,”

“Rojak, rojak, nih Kasih gak nyahut kalau dipanggil, kenapa yak,” adu ibu Kasih terheran.

Ayah Kasih pun bergegas ke depan kamar Kasih.

“Kenapa lagi tuh anak?”

“Kasih!!! Bangun!! Buka pintunya,” seru ayah Kasih sambil memukul pintu kamar.

Masih tak ada jawaban. Dengan terpaksa ayah Kasih mendobrak pintu karena kwatir juga kesal karena sudah 30 menit memanggil Kasih namun tak ada jawaban.

Terbukalah pintu kamar Kasih. Berantakan. Itulah yang tampak dari mata ayah dan ibu Kasih. Ibu Kasih mendapati sebuah surat terpapar di atas meja belajar Kasih.

“Bu, maaf. Kasih udah gak tahan lagi tinggal sama ayah. Kasih pergi yah. Jaga kesehatan yah bu, berharap ibu sama ayah berubah. Tolong, jangan lakukan hal sama pada adik-adik Kasih. Cukup Kasih yang rasakan. Sekali lagi, Kasih minta maaf. Kasih memang hanya beban dan tidak berguna. Cuman taunya habisin uang ibu sama ayah. Kasih sekarang pergi biar ibu sama ayah kurang beban dan juga bahagia. Kasih berbeda. Kasih tak searah lagi sama pemikiran ibu sama ayah,”

Diterima sudah surat dari Kasih. Ibu Kasih kini menangis histeris tak menyangka anaknya  berani minggat dari rumah.

Ayah Kasih juga terkejut dengan aksi nekat anaknya dan ia pun menyesali dan menyadari segala perbuatannya kepada anak dan istrinya.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami