Mahasiswa ‘Bodo Amat’ Menjadi Akibat Kebodohan Tak Bertamat

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok pribadi \ Wisnu B.P

Oleh: Wisnu B.P

Sejak Covid-19 menjadi wabah yang menggemparkan dunia bahkan sudah menjadi pandemi global saat ini, Terkhusus di Indonesia ada banyak kebijakan yang dilakukan pemerintah. Salah satu kebijakan pemerintah dalam dunia kampus adalah pemberlakuan kuliah online (daring), kemudian keluarlah hitam diatas putih (surat edaran) termasuk UIN Alauddin Makassar. Dalam surat edaran rektor nomor B-809/Un.06.I/PP.00.09/03/2020.

Tujuan daripada surat edaran ini adalah tentang Kewaspadaan dini, Kesiapsiagaan, serta Tindakan Antisipasi Pencegahan Infeksi Covid-19 & poin pertama adalah Perkuliahan tatap muka langsung di kelas DIGANTI perkuliahan secara online (daring) dengan memanfaatkan seluruh fasilitas IT yang dimiliki atau yang tersedia. Saya dan bahkan anda merasa bahwa tujuan dan poin pertama pada surat edaran sudah sangat jelas. Pertanyaannya, mengapa masih terjadi banyak kekeliruan bahkan penyelewengan dalam kebijakan ini terkhusus kepada kami mahasiswa yang sedang menjalani kuliah online (daring)? Saya akan mencoba jujur terhadap apa yang kita saksikan dan rasakan dengan sependek sekali pengetahuan saya tentang hal ini, ada dua intisari dari poin pertama surat edaran.

Pertama, perkuliahan tatap muka langsung di kelas DIGANTI perkuliahan secara online (daring) artinya bahwa materi perkuliahan tetap diberikan kepada mahasiswa sebagaimana RPS (Rencana Pembelajaran Semester) masing-masing dosen secara online agar supaya potensi atau kemungkinan terinfeksi Covid-19 dapat diminimalisir dan perkuliahan tetap berjalan dimana dosen dan mahasiswa aktif dalam hal ini. Namun banyak ketidak sesuaian yang terjadi selama dua pekan yang mengerikan itu, diantaranya:

1). Setiap pertemuan perkuliahan secara online (daring) dosen hanya memberikan tugas kepada mahasiswa baik itu tugas individu ataupun kelompok dimana dalam hal ini tidak sesuai dalam RPS masing-masing dosen.
2). Tugas individu masih wajar karena masih bisa memenuhi tujuan dari surat edaran, tapi bagaimana dengan tugas kelompok? Mahasiswa kembali bertemu saling bertatap muka seakan hanya dosen yang ingin terhindar dari virus yang mematikan ini ataukah ini menjadi konfirmasi penghinaan diri sendiri bahwa merekalah yang menjadi biang keladi Covid-19?
3). Waktu pelaksanaan perkuliahan secara online (daring) banyak yang tidak sesuai schedule, ada yang dilaksanakan pada waktu istirahat bahkan di waktu ibadah. Dimana seharusnya waktu istirahat kita maksimalkan untuk memperkuat imun tubuh untuk lebih mengantisipasi pencegahan infeksi Covid-19 dan walaupun ada anjuran pemerintah untuk tidak beribadah di masjid bukan berarti waktu itu harus di ganti dengan hal ini, setidaknya sebisa mungkin tepat waktu di kediaman.
4). Sampai saat ini masih ada dosen dan mahasiswa yang belum mengindahkan surat edaran dalam artian belum pernah melakukan perkuliahan secara online (daring). Sudah jelas secara absensi dianggap tidak hadir, dan perlu disampaikan bahwa ini belum waktunya libur.

Diantara fakta yang mungkin baru saja kita sadari hal yang sangat disayangkan ialah mahasiswa menerima semuanya padahal sadar bahwa ada ketidak sesuaian yang terjadi. Hal yang wajar jika mahasiswa punya kekhawatiran terhadap permasalahan nilai, namun kesadaran juga perlu dibuktikan. Dalam teori Bruno brain dijelaskan bahwa sebagai manusia ada yang namanya kesadaran (otak batang) sebagai pembeda dengan makhluk yang lainnya. Secara tidak langsung mereka menarik dirinya kepada masa dimana kata “kambing hitam” atau “perbudakan” itu terjadi.

Kedua, Memanfaatkan seluruh fasilitas IT yang dimiliki atau yang tersedia merupakan bentuk toleransi kepada mereka yang fasilitasnya dibawah rata-rata, lagi-lagi merujuk kepada kondisi ekonomi dimana Indonesia pada umumnya masih lemah dalam hal ini. Tapi faktanya apa yang didapatkan mahasiswa bukan toleransi melainkan diskriminasi, diantara fakta yang kita sudah saksikan bahkan rasakan bersama adalah:

1). Mahasiswa dipaksakan untuk selalu ikut alur dan tidak ada satupun keterlambatan bahkan suara saran yang terjadi dalam pelaksanaan perkuliahan secara online (daring) dimana atas nama kehadiran dan penilaian yang menjadi ancaman.
2). Pelaksanaan perkuliahan secara online (daring) otomatis membutuhkan akses jaringan yang memadai dimana kenyataannya terkhusus di pemukiman Mahasiswa UIN Alauddin Makassar itu sendiri merupakan kawasan dengan akses jaringan yang belum memadai.
3). Ada inisiatif mahasiswa kembali kerumah masing-masing berharap akses jaringan lebih memadai, namun mereka dihantui dengan ketakutan tugas dan nilai sebagaimana sudah saya jelaskan tadi.
4). Ada mahasiswa yang kembali kerumahnya berharap bisa lebih memperkuat imun tubuh berupa makanan dan minuman yang lebih bergizi agar potensi atau kemungkinan terinfeksi Covid-19 menjadi kecil. Namun karena mereka tinggal di pelosok, akhirnya akses jaringan sangat kurang yang menjadi keterlambatan mengikuti perkuliahan secara online (daring) sebagaimana resikonya mengancam kehadiran dan penilaian.

Hal yang sangat disayangkan untuk yang kedua kalinya bahwa mahasiswa belum mampu menjelaskan keadaan dirinya bahwa inilah realitanya. Mereka dibungkam oleh ketakutan kehadiran dan penilaian, sehingga mereka hanya bersikap “bodo amat” terhadap hal-hal yang akan menjadi suatu kebodohan dalam dirinya. Setelah semuanya terjadi dan berlalu, kebanyakan mereka menganggap nasib adalah takdir. Seakan menuduh Tuhan bahwa hal-hal negatif yang terjadi didalam dirinya itu juga bagian dari-Nya. Padahal nasib mereka akibat dari kebodohan yang disebabkan oleh sikap “bodo amat”. Yaa sebagai mahasiswa seyogyanya jangan terlalu bersikap “bodo amat” yang akan menjadi kebodohan tak bertamat. Saya yakin bahwa banyak mahasiswa merasakan hal yang sama, tapi mereka membiarkannya begitu saja tanpa sadar akan merugikan dirinya. Bukankah kata Soe Hok Gie membiarkan kesalahan adalah suatu kejahatan?

Setelah mengungkap fakta dari dua pekan yang dianggap mematikan oleh mahasiswa, keluarlah surat edaran tindak lanjut dengan nomor B-847/Un.06.I/PP.00.09/03/2020. Dalam surat edaran tersebut ada satu poin dimana seharusnya itu bisa menjadi ketersinggungan terhadap dosen khususnya dalam memberikan tugas kepada mahasiswa. Poin tersebut berada di bagian kelima yang menyatakan bahwa Dalam pemberian tugas, dosen harus mengedepankan asas proporsional dan memperhatikan kondisi psikologis mahasiswa.

Kita sama-sama melihat bahwa dalam poin tersebut pimpinan secara tidak langsung menyampaikan bahwa ada etika yang harus diikuti dosen dalam memberikan tugas kepada mahasiswa selama perkuliahan secara online (daring), berdasarkan poin tersebut ada dua etika yang ditekankan kepada dosen yakni:
1). Harus mengedepankan ASAS PROPORSIONAL. Dalam ilmu balaghah ada istilah yang disebut muqtadhaa haal (tuntutan keadaan) dimana perbuatan, perkataan bahkan pikiran harus selaras dengan kenyataan. Umm-nya disebut dengan keadilan “menempatkan sesuatu pada tempatnya”. Menurut Aristoteles keadilan merupakan tindakan yang terletak antara memberikan terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Dalam kaidah Ushul dikatakan Al hukmu yaduuru ma’a ‘illatihi wujudan wa ‘adaman “Hukum itu bersama ‘illatnya (sebabnya), ada atau tidak”, dijelaskan bahwa ada hukum karena ada ‘illat atau ada akibat karena ada sebab. Dalam hal ini Covid-19 menjadi sebab dan perkuliahan secara online (daring) menjadi akibat, dalam perubahan hukum/aturan seperti ini sudah seharusnya ada etika yang sama-sama harus dipatuhi sebagaimana tuntunan agama dan negara.
2). Memperhatikan KONDISI PSIKOLOGIS mahasiswa. Menurut Rene Descartes psikologi adalah ilmu pengetahuan tentang fakta berpikir dan fakta kesadaran manusia terlepas dari tubuhnya. Dalam ilmu psikologi segalanya diawali dari creator respon kemudian di terima oleh stimulus yang melahirkan banyak rasa. Melihat realita hari ini dimana sebagian besar manusia mengalami gangguan psikologis sebab adanya Covid-19 bersama berita-beritanya yang semakin menjadi beban pikiran, rasa yang tidak beraturan, bahkan momok yang menakutkan. Sebagaimana realita yang terjadi dua pekan kemarin, mahasiswa dengan tugasnya yang menumpuk membuat kita berpikir lebih keras dan merasa bahwa ini menjadi beban. Terkhusus penanggung jawab mahasiswa dalam hal ini dosen sekiranya memberikan tugas kepada mahasiswa sebagaimana etika yang semestinya, jangan sampai segala tugas yang diberikan semakin merusak kondisi psikologis yang seharusnya menjadi perhatian lebih. Kemudian lahirlah statement “Dosen lebih mematikan daripada Covid-19”. Sekali lagi, jangan sampai.

Terlepas dari persoalan tugas yang berlebihan, mahasiswa juga terhambat oleh akses telekomunikasi pada umumnya. Padahal sudah termaktub didalam surat edaran jenderal pendidikan tinggi keagamaan Islam nomor 697/03/2020, dimana pada poin pertama perubahan ketentuan nomor 2 bagian C)Pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam melakukan upaya dan kebijakan strategis, terutama dalam penanganan paket kuota dan/ atau akses bebas (free access) bagi mahasiswa dan sivitas akademika Perguruan Tinggi Keagamaan Islam masing-masing dengan penyedia jasa telekomunikasi.

Dalam perubahan surat edaran direktur jenderal pendidikan Islam dijelaskan bahwa dalam pelaksanaan perkuliahan secara online (daring) ada tanggung jawab pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam tak terkecuali UIN Alauddin Makassar untuk melakukan upaya dan kebijakan strategis terutama dalam penanganan paket kuota atau akses bebas (free access) dengan penyedia jasa telekomunikasi terutama bagi mahasiswa yang dalam hal ini memiliki hak atas kewajiban yang sudah dilaksanakannya. Selaku mahasiswa kami berharap pihak birokrasi memperhatikan hal ini sebagaimana seharusnya pimpinan perguruan tinggi keagamaan Islam taat atas segala aturan kementerian agama dalam hal ini surat edaran direktur jenderal pendidikan Islam, didalam PMA RI UIN Alauddin Makassar telah dijelaskan dalam BAB III Pasal 11 ayat 5 tentang kebebasan akademik dan otonomi keilmuan, BAB VII Pasal 88 ayat 1&2 tentang kode etik, dan BAB X Pasal 108 ayat pertama tentang pendanaan dan kekayaan. Sebagaimana pula telah diatur dalam agama kita tentang ketaatan kepada pemimpin/atasan, yaitu:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَطِيعُوا اللَّهَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ وَأُولِي الْأَمْرِ مِنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya dan pemimpin di antara kalian.” [An-Nisa: 59]

Satu pesan dari Tuhan untuk kemanusiaan “Malaikat tak pernah salah, syaiton tak pernah benar. Manusia bisa jadi keduanya, maka tugas kita saling mengingatkan bukan menyalahkan”.

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Manajemen Dakwah Fakultas Dakwah dan Komunikasi Semester II

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami