Prof. Qasim & Dr. Sabir : Nabi Dzulkifli AS adalah Sidharta Gautama

Facebook
Twitter
WhatsApp
WashilahPluralisme memungkinkan seseorang untuk bebas menikah dengan penganut agama manapun tanpa terpisahkan ssoleh sekat-sekat keagamaan yang sekadar bersifat syariat. Perihal posisi islam disisi Allah, dijelaskan bahwa hakikat ayat yang selama ini ditafsirkan sebagai legalitas islam sebagai agama yang paling benar.
Ad-dindalam ayat tersebut bukanlah bermakna sebagai agama yang selama ini kita temukan dalam buku teks di bangku sekolah melainkan sebuah ketaatan yang memungkinkan kita untuk tunduk, patuh, dan berserah pada hal-hal yang menjadi obyek.
Dan Islam, yang berasal dari huruf sin, lam, dan mim dimaknai sebagai sebuah kepasrahan. Bila dikembalikan dalam ayat yang utuh maka akan menjadi “Sesungguhnya ketaatan kita kepada Allah adalah kepasrahan”. Sebagai sebuah penekanan, Prof Qasim menegaskan bahwa semua orang yang memasrahkan diri pada Allah adalah Islam dan kata muslim bukan hanya milik penganut agama Islam.
Di sisi yang cukup sejalan, Dr Mohd Sabri AR  MA menggambarkan ketidaksetujuannya untuk pemahaman yang berkembang di masyarakat yang meyakini bahwa seluruh nabi dan rasul dalam Islam merupakan keturunan Arab (Babilonia).
Dia memaparkan bahwa suatu hari para sahabat bertanya pada Nabi Muhammad SAW akan keistimewaan pohon tin hingga dijadikan sebagai nama surah padahal pohon tersebut tidak terdapat di jazirah Arab. Nabi pun menjawab bahwa dibawah pohon tersebutlah Nabi Dzulkifli lahir dan mendapat wahyu, sesuatu yang kemudian menjadi pertanyaan perihal tempat berdomisili Nabi Dzulkifli yang tentunya bukan di jazirah Arab melainkan di wilayah lain yang memungkinkan tumbuhnya pohon tersebut.
Melalui penelusuran sejarah maka ditemukan bahwa kata kifli tidak ditemukan dalam kosa kata bahasa Arab lama, dan merupakan kata yang merujuk pada suatu tempat di daerah India. Sedangkan kata Dzul adalah sebuah julukan yang diberikan kepada orang yang memiliki pengaruh yang cukup besar di wilayah tertentu.
Maka gabungan kata Dzul dan Kifli merujuk pada orang berpengaruh di daerah Kifli. Dan diyakini secara penuh oleh para penganut paham Pluralisme bahwa daerah Kifli tersebut terletak di daerah India dan orang yang paling berpengaruh di wilayah tersebut adalah Sidharta Gautama yang selama ini terkenal dengan pertapaannya di bawah pohon Bodhi. Hal ini kemudian menimbulkan persepsi bahwa Pohon Tin = Pohon Bodhi, dan Nabi Dzulkifli AS = Sidharta Gautama. Pernyataan tersebut disetujui oleh Prof. Qasim.
Dalam paham Taoisme, penganut paham tersebut mengakui besarnya pengaruh Lao Tseyang memperkenalkan paham Tao yang bermakna yang Maha Tinggi. Hal yang cukup menarik dari pemaparan ini adalah keyakinan yang dituturkannya bahwa Lao Tse merupakan nabi Nuh AS yang mengikuti pamannya, Nabi Ibrahim AS, dan menyebar ketauhidan dalam konsep Rabi’ul A’la yang dalam keyakinan Islam pertama kali dipaparkan oleh Nabi Luth AS.
Pernyataan ini semakin diperkuat oleh fakta bahwa Lao Tsedijuluki sebagai orang berhidung besar yang dikemudian hari merupakan karakteristik orang Arab dalam pandangan orang Cina.
Pluralismeadalah keberhakan untuk saling menerima bukan sekadar upaya menjustifikasi Islam konservatif.
Paparan materi diatas disampaikan dalam seminar pluralisme yang diadakan oleh jurusan Manejemen Pendidikan Islam Fakultas Tarbiyah dan keguruan (FTK), Universitas Islam Negeri (UIN), Samata, Gowa bekerja sama dengan Lembaga Kebijakan Pembangunan Sosial Ekonomi dan Politik yang mengangkat tema pluralismedalam perspektif agama, sosiologi, serta politik dan demokrasi di Lecturess Theater (LT) universitas, Senin (19/03/2012) lalu. Prof Qasim Mattar sebagai salah satu pemateri membuka acara tersebut dengan pernyataan “ Agama yang tak rela kawin dengan budaya tempatnya di langit bukan di bumi”.
Selain Qasim Mattar , hadir pula Dr Mohd Sabri AR  MA, dan Prof Hamdan Juhannis MA sebagai pemateri. (Tenris)

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami