Oleh: Rahmat Rizki
Mereka ahli membual. Logikanya bengkok. Hanya orang t*lol yang percaya dengan kotoran yang keluar dari mulut para b*jing*n itu.
Dahulu kala (anggap saja ini dongeng), saya sangat mengagumi orang-orang yang disebut motivator. Mereka seperti cahaya ilahi. Setiap kali seorang motivator berdansa dengan kata-katanya di atas mimbar, panggung atau apapun itu, mataku akan selalu berbinar seolah melihat seorang mesias turun dari surga, telingaku tunduk pada suara yang keluar dari pengeras suara. Saya terhipnotis tanpa cela. Catatan harianku penuh dengan wejangan para motivator. Bahkan, kiat-kiat menjadi sukses sebelum umur 20 ala motivator pernah jadi kompas hidupku. Tapi itu dulu, sebelum saya bertemu dengan om-om palu arit di akhir bangku SMA.
Sebagai gambaran, para motivator yang saya maksud adalah mereka yang menjadikan materi, kekayaan dan pangkat sebagai indikator kesuksesan. Sederhananya begitu, walau penjelasan ini agaknya bisa lebih keren jika menggunakan istilah dan teori ekonomi serta logika, tapi begini saja, saya masih tolol.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan cara pikir seperti itu, sebab kebenaran yang absolute memang tidak pernah ada. Yang ada hanya kebenaran bodoh dan kebenaran bijak. Kebenaran bodoh yang disuntikan untuk mendapatkan ketenaran. Ayat-ayat Tuhan dijual demi uang dan uang—kepala dibalut sorban dan peci, namun punggung lekat dalam alphard seri terbaru, kaki melayang di atas jet subaru, rumah megah bak istana—sukses jalur agama, ini yang paling banyak.
Selain jalur agama, beberapa yang paling memuakkan dan bikin naik darah juga ada. Salah satunya seperti dalam seminar yang pernah saya ikuti saat masih dungu.
Kala itu, di atas mimbar pengkhotbah, seseorang ber-setelan jas mirip pejabat bilang bahwa, “keberhasilan dalam belajar dan bersekolah adalah menjadi sukses.”
Betul, sukses. Sebagai premis, kata sukses yang ia maksud masih multi interpretasi. Makna sukses memang bukan hanya perkara uang dan kekayaan materi. Tapi nahasnya, setelah kata sukses berhasil menjadi prolog multitafsir yang indah, si bajingan itu melanjutkan khotbahnya, ia menambahkan makna sukses yang sebelumnya menggenang dengan khidmat di kepala:
“Dulu, saya hanya anak petani, tapi karena saya bersekolah dengan baik, sekarang saya sudah bisa membeli rumah dan kendaraan yang alhamdulillah sangat nyaman. Jika saya tidak berpendidikan, mungkin saja saya akan menjadi petani seperti orangtua saya dan tidak bisa menjadi sukses seperti yang teman-teman ketahui,” ucap beliau yang lagaknya layak ditempeleng.
Maksudnya apa? Petani tidak sukses? Tertinggal?
Seketika saya naik darah. Kakiku bergerak sendiri meninggalkan ruang seminar-sukses-terpelajar dari orang biadab yang katanya terpelajar itu. Ia menganggap dirinya tinggi dan pintar, kemudian enggan melebur dengan masyarakat yang bekerja dengan cangkul dan hanya memiliki cita-cita yang sederhana.
Musabab bualan motivator itu, saya teringat kata-kata salah satu om-om palu arit, Tan Malaka, bahwa sebaiknya pendidikan tidak diberikan sama sekali jika lagak dan pemikiran para terpelajar sudah hancur. Dan saya sepakat dengan itu.
Maaf jika tulisan ini mengganggumu yang selalu bersandar pada kata-kata memabukkan para motivator itu. Saya tak punya maksud untuk melarangmu mendengarkan mereka. Barangkali hanya saya saja yang terlewat geram dengan beberapa bajingan yang membual di atas panggung seminar dan panggung-panggung lainnya.
*Penulis meruppakan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar