Menuju Hari HAM Internasional

Facebook
Twitter
WhatsApp
Foto: Dok. pribadi M Ardan Hidayat

Oleh: M Ardan Hidayat

Indonesia memiliki posisi yang sangat strategis di lembaga perdamaian dunia, dalam hal ini Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai anggota dewan Hak Asasi Manusia (HAM) dengan isu prioritas peningkatan perlindungan HAM global itu bisa kita lihat dari pengajuan proposal gencatan senjata antara Ukraina dan Rusia yang sudah saling serang sejak Februari 2022 lalu sampai hari ini namun itu di tolak oleh kedua belapihak, bahkan yang terbaru pengajuan gencatan senjata antara zionis Israel dengan kelompok militan palestina yang sudah berlangsung lebih kurang dua bulan sejak 7 Oktober 2023 sampai sekarang. Upaya ini menunjukan keseriusan Indonesia dalam menegakan hak asasi manusia dan penghapusan penjajahan di atas muka bumi di kancah global, sesuai amat undang-undang dasar 45 bahwa penjajahan di atas muka bumi harus segera dihapuskan karena tidak sesuai dengan prikeadilan dan prikemanusiaan.

Berbeda halnya dalam penegakan HAM dalam negeri sendiri, Indonesia terkesan menyepelekan hak asasi manusia, lihat saja dalam catatan terbaru dari Komnas HAM RI pada bulan september 2023 Indonesia masih memiliki 17 PR besar kasus pelanggaran HAM berat sampai hari ini yg belum terselesaikan oleh negara. Sama halnya yang tercatat oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban kekerasan (KontraS) bahwa Indonesia belum memiliki tindakan lebih lanjut dalam upaya penyelesaian pelanggaran HAM dengan konkrit selain pada permintaan maaf tak berarti mulai dari pelanggaran ringan sampai pelanggaran HAM berat, yang terbaru adalah upaya kriminalisasi terhadap pegiat dan aktivis HAM diduga institusi kejaksaan berkolaborasi dengan pejabat publik untuk merenggut kebebasan ekspresi dan menyampaikan pendapat di muka umum terhadap Fatia-Haris lewat undang-undang informasi dan transaksi elektronik (UU ITE). Mundur ke belakang ada keluarga Presma UI Melki Sedek Huang yang diintimidasi oleh aparat karena terlibat aktif dalam mengkritik dan memblejeti pemerintah Jokowi-Amin dalam kurun waktu setahun terakhir, mundur kebelakang ada Samsul Rizal mahasiswa STIE Bima yang diDrop Out sepihak karena membuat flayer aksi berisikan tuntutan stop penahanan beasiswa PIP dengan alasan tidak jelas, mundur lagi ada upaya penggusuran masyarakat di pulau Rempang Kepulauan Riau, mundur lagi ada penggusuran Dago elos di Bandung, Bara-baraya di Makassar, kampung Bayam di Jakarta, perampasan tanah petani Pakel Banyuwangi, Wadas di Jawa tengah, Kanjuruhan di Malang, konflik tambang di Lambu NTB, penghilangan secara paksa aktivitas 98 dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya yang sampai hari ini belum juga terselesaikan.

Februari 2024 rakyat Indonesia akan diperhadapkan dengan situasi yang amat sulit sebab Indonesia akan tiba pada momentum pemilihan umum yang kesekian kalinya dimana calon penguasa yang tentunya nanti akan menguasai sumberdaya alam dan sumberdaya manusia (SDA & SDM) di Indonesia selama lima tahun kedepannya, artinya mereka yang akan berkuasa nanti hanya akan menjadi boneka bagi kapitalisme internasional atau kapitalisme-imperialisme. Berbicara tentang HAM dari ketiga calon presiden Indonesia ini sama-sama diduga terlibat pada isu pelanggaran HAM berat yang telah kami sebutkan di atas, artinya kalau kita tarik dari trek-recordnya masing-masing tidak ada yang memiliki catatan positif dalam penegakan HAM bahkan diduga kuat bahwa mereka sebagai penanggungjawab atas kasus-kasus yang dimaksud.

Terus apalah manfaat pemilu ini untuk kaum tani, pemuda, mahasiswa, buruh, miskin perkotaan dan kaum rentan lainnya? Kami cuman mau bilang bahwa pemilu borjuasi ini tidak akan menolong rakyat Indonesia dari ketertindasan, tidak akan membuat pendidikan itu jadi gratis, demokratis dan bervisi kerakyatan, tidak akan membuka lapangan pekerjaan seluas-luasnya, tidak akan membuat upah buruh jadi layak dengan porsi kerjanya, tidak akan terhindar dari penggusuran, tidak akan menjamin harga panen stabil dan jaminan-jaminan untuk kesejahteraan rakyat secara sosial, adil secara ekonomi, demokratis secara politik, dan partisipatif secara budaya, itu semua hanyalah ilusi belaka dan terkesan utopis karena visi-misinya tidak realistis.

Salam hangat dari ruang kerja SMI Makassar untuk para pembaca.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Sejarah Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami