Mendaras Omnibus Law Cipta Kerja

Facebook
Twitter
WhatsApp
Sumber : Kompas.com

Washilah – Dewasa ini Rancangan Omnibus Law Cipta Kerja kian riuh diperdebatkan dimana-mana, mulai dari ruang-ruang kelas kuliah, perbincangan talk show di televisi, hingga obrolan santai di warung kopi. Beberapa kalangan mendukung rancangan Omnibus Law ini, dengan alasan salah satunya untuk membuka lebar-lebar keran investasi yang selanjutnya akan berdampak pada terbukanya lapangan kerja yang luas bagi masyarakat, namun di sisi lain tidak sedikit pula yang menolak, mengecam dan menuntut agar rancangan Omnibus Law Cipta Kerja ini segera berhenti dibahas.

Demonstrasi penolakan muncul hampir seluruh kota di Indonesia, bukan hanya mahasiswa, dari sekalangan akademisi hingga buruh pun turut menolak Omnibus Law Cipta Kerja ini. Lalu, apa sebenarnya Omnibus Law Cipta Kerja ini?

Salah satu dosen Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar (UINAM), Dr Rahman Syamsuddin menjelaskan bahwa Omnibus Law yaitu aturan hukum yang menyatukan beberapa aturan hukum, tersebar menjadi satu peraturan perundang-undangan yang memiliki substansi yang berbeda seperti aturan ketenagakerjaan yang disatukan dengan aturan terkait. Konsekuensinya akan ada aturan yang disatukan yang menyebabkan batalnya aturan tersebut. Omnis berarti banyak, Law artinya hukum.

Ketua Jurusan Ilmu Hukum ini juga mengungkapkan bahwa Rancangan Omnibus law ini terdiri dari beberapa Rancangan Undang Undang (RUU), yaitu RUU Kefarmasian, RUU Perpajakan, RUU Ibu Kota Negara, dan RUU Cipta Kerja. RUU Cipta kerja inilah yang banyak diperdebatkan, karena cenderung merugikan pekerja.

“RUU Cipta Kerja ini adalah RUU yang akan merevisi UU Ketenaga Kerjaan yang lalu, yang cenderung merugikan pekerja, hal ini kemudian terulang di RUU Cipta Kerja karena banyak menghilangkan hak hak pekerja,” ungkapnya.

Lebih lanjut penulis buku Merajut Hukum di Indonesia ini juga menjelaskan bahwa selain merugikan pekerja, Omnibus Law Cipta Kerja ini bertentangan dengan asas hukum kejelasan pembentuk undang-undang.

“Pada awal munculnya RUU ini sama sekali tidak diketahui dari mana asal RUU ini, kementrian mana yang membuat, tim ahli mana atau siapa tim ahli yang bertanggung jawab terkait perumusan Naskah Akademis dan RUU Cipta Kerja ini. Kemudian RUU yang seharusnya melalui masa sosialisasi dan uji publik itu tidak dilakukan, makanya ada beberapa pasal yang menjadi masalah sekarang. Ini mirip kasus revisi UU TIPIKOR yang lalu, tiba-tiba diumumkan kemudian disahkan,” jelasnya.

Di sisi lain Ketua Umum Gabungan Serikat Buruh Nusantara (GSBN) Asniati menyatakan bahwa sikap GSBN terhadap Omnibus Law Cipta Kerja adalah menolak dengan tegas Omnibus Law karena akan membuat buruh semakin jauh dari hidup sejahtera.

“Omnibus Law Cipta Kerja jelas merugikam pekerja, dalam pasal 59 UU. NO. 13 tahun 2003 mengatur soal pekerjaan yang bisa dikontrak adalah jenis pekerjaan yang bersifat musiman atau pekerjaan yang sifatnya sementara, atau pekerjaan yang hanya batas waktu paling lama tiga tahun, di Omnibus Law cipta kerja, semua jenis pekerjaan itu bisa di kontrak, tidak ada lagi batasan jenis pekerjaan yang mana bisa di kontrak dan yang mana tidak. Bukan hanya itu, RUU Cipta Kerja yang akan merevisi UU ketenaga kerjaan ini juga menghapus pasal yang mengatur soal pesangon yang jelas merugikan pekerja,” tegasnya.

Asniati juga menambahkan bahwa perempuan khususnya sangat dirugikan dengan RUU Cipta Kerja ini.

“Dihapusnya cuti haid, cuti hamil, cuti melahirkan pada RUU Cipta Kerja ini membuktikan bahwa Omnibus Law ini tidak memberikan jaminan perlindungan terhadap buruh perempuan,” tutupnya.

Penulis : Arya Pria Nugraha
Editor : Rahma Indah

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami