Surat Terbuka untuk Warga UIN Alauddin ; Kalian adalah Korban dari Sistem Culas dan Anti-Kritik

Facebook
Twitter
WhatsApp
Foto: Arsip Washilah

Oleh: Elang

Di tengah mimbar-mibar keagamaan, di masa orang-orang melakukan budaya puasa bulan ramadan. Kabar buruk datang dari sebuah kampus peradaban. Belakangan, saya kembali mendengar kabar buruk dari kampus UIN Alauddin. Sebuah perguruan tinggi di Makassar, yang menjunjung nilai Islam sebagai dasar ajaran.

Penyebabnya, seperti biasa. Birokrasi culas yang membentuk sikap anti kritik. Korban langsungnya adalah seorang mahasiswa, sebut saja Kawan A. Kawan A merupakan mahasiswa UIN Alauddin Makassar, tempo hari secara beramai ramai melakukan demonstrasi. Demonstrasi itu lahir akibat tindakan sewenang wenang kampus yang abai terhadap hak mahasiswa.

Ingatan kita mungkin sudah usang, hampir setengah tahun yang lalu. Rektor UIN Alauddin menghasilkan produk anti-demokrasi lewat SE 2591. SE 2591 inilah yang menjadi alasan 31
orang mahasiswa dikenakan skorsing.

Kawan A, bersama mahasiswa melakukan demonstrasi melakukan penolakan terhadap SE 2591 tersebut. Ironisnya, mereka mendapat sanksi skorsing.

Kepada Warga UIN Alauddin, kalian benar-benar menjadi korban sistem birokrasi yang culas tersebut. Izinkan saya menggunakan diksi culas dalam surat ini. Tindakan culas, jika
diterjamahkan dari Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) dapat berarti ; curang ; tidak jujur ; tidak lurus hati.

Kawan kawan, mari kita runut bersama agar kita bisa sepakat bahwa birokrasi UIN Alauddin itu culas.

Pertama, kita mulai dari penerbitan SE 2591. Pada pokoknya, SE 2591 produk kebijakan Rektor yang membatasi aktifitas demonstrasi atau kebebasan berpendapat. Saya sepakat, dalam hal tertentu perlu pembatasan terhadap kebebasan berpendapat. Pembatasan tersebut, diatur dalam prinsip siracusa. Prinsip siracusa adalah seperangkat pedoman yang dirancang untuk membatasi dan membenarkan pembatasan hak asasi manusia (HAM) dalam keadaan darurat atau demi kepentingan umum. Ada dua situasi pembatasan dibenarkan, ketika ada wabah penyakit dan perang. Tidak dibenarkan demonstrasi pada dua keadaan tersebut.

Masalahnya, dalam konteks UIN Alauddin, Rektor tidak pernah mendeklarasikan bahwa ada perang atau wabah penyakit terjadi di UIN Alauddin Makassar. Benar, kalian warga UIN Alauddin sering melempar gedung dan berkelahi secara berkelompok sesama kalian. Hal tersebut yang lazim kalian sebut sebagai perang.Walaupun saya tidak sepakat dengan budaya bodoh kalian itu. Tapi ketahuilah, bukan perang seperti itu yang dimaksud dalam prinsip siracausa. Perang yang dimaksud adalah perebutan kekuasaan menggunakan militer yang membunuh banyak orang, tidak dibenarkan situasi tersebut untuk melakukan demonstrasi.

Benar pula, warga UIN Alauddin seringkali terjangkit penyakit iri hati dan dengki yang menjadi sebab kalian melakukan perang antar sesama itu. Namun, wabah penyakit yang dimaksud adalah penyakit yang terukur dengan medis dan sains. Bukan sekedar penyakit hati yang seringkali kalian dengar di mimbar-mimbar untuk meredam kemarahan kalian atau untuk mengadu domba antar sesama kalian. Tidak dibenarkan demonstrasi saat terjadi wabah penyakit. Rektor UIN Alauddin secara sewenang-wenang dan tanpa kepastian, tanpa menyebutkan alasan yang masuk akal, membatasi hak kalian untuk menyampaikan pendapat dan berpartisipasi dalam produk kebijakan UIN Alauddin.

Kedua, SK Skorsing terhadap mahasiswa adalah pembungkaman yang dilakukan secara terstruktur. Teruntuk Rektor UIN Alauddin, Hamdan Juhanis. Anda tidak berdiri sendiri, dosa anda dilakukan secara terstruktur. Jika menggunakan pemikiran Mahfud MD, kejahatan struktural dilakukan oleh pimpinan dan mempengaruhi bawahannya untuk mendukung tindakannya. Hal ini yang terjadi di UIN Alauddin, mari kita petakan.

Rektor Hamdan mengeluarkan produk SE 2591 sebagai upaya pembatasan kebebasan berpendapat.

Dewan Kehormatan Universitas, lembaga yang berperan atas sidang etik mahasiswa, memvonis bersalah 31 orang mahasiswa melanggar etik dengan tuduhan yang tidak masuk akal, para mahasiswa tersebut juga tidak bisa membela diri. Karena sejak awal, sidang dilakukan bukan untuk menguji mahasiswa bersalah atau tidak. Namun, lebih kepada memaksa mahasiswa untuk mengakui kesalahnnya. Dewan Kehormatan hanya menjaga kehormatan semu Rektor, di sisi lain merusak kehormatan hukum dan demokrasi.

Dekan tidak lebih baik, mereka serupa manusia tanpa kepala. Bergerak tanpa berpikir, tindakan Rektor yang merusak demonstrasi bukannya ditentang, mereka justru mengeluarkan skorsing kepada mahasiswa. Di UIN Alauddin, 31 mahasiswa diskorsing oleh 7 Dekan. Alih-alih menjadi jabatan akademik, menguji hal dengan ilmiah. Dekan justru menjadi penjaga kekuasaan, melihat mahasiswa sebagai subjek kekuasaan.

Rentetan itu yang disebut Mahfud sebagai tindakan kejahatan yang terstruktur, hal itu benar-benar tindakan curang dan tidak jujur, itu yang disebut culas. Kalian takut kekuasaan kalian runtuh, sehingga menggunakan cara apapun untuk mempertahankan kekuasaan. Tidak peduli itu benar atau salah, baik atau buruk.

Belum lagi tangan-tangan tidak terlihat yang mengintimidasi mahasiswa, orang orang yang menjilat kekuasaan. Mereka yang merasa diri berkuasa, berkuasa karena relasi senior junior. Membentuk kebiasaan serupa jaman feodal, menasbihkan diri sebagai “kakanda” bahkan “yang mulia”. Berhentilah, menghalangi gerakan protes yang dibangun oleh mahasiswa.

Kepada Rektor Hamdan, Dewan Kehormatan Universitas, Dekan peng-skorsing mahasiswa, sampai tangan tangan tidak terlihat. Kalian adalah perusak citra pendidikan tinggi. Ketahuilah, tujuan pendidikan tinggi adalah pendidikan ilmiah dan demokratis. Itu diatur secara jelas dalam Undang Undang No 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi, inilah yang menjadi dasar tindakan kalian. Saya harap anda sekalian membaca undang undang itu kembali dengan jelas.

Tindakan culas kalian itu, yang memunculkan kebiasaan korup. Merusak tatanan masyarakat, menciptakan neraka kekacauan dimana mana. Kalian seharusnya malu.

Kepada warga UIN Alauddin, yang sepakat dan tidak sepakat dengan tindakan Rektor Hamdan dan jajarannya. Kalian adalah korban, Kawan A adalah korban langsung dari tindakan culas itu. Yang lain, mereka adalah korban tidak langsung atas sistem culas yang terstruktur itu. Sistem culas UIN Alauddin menjadi sebab penindasan dinormalisasi. Mereka melakukan tindakan sesuka hati mereka, tanpa memikirkan dampak sosial yang ada. Tidak peduli kalian dirugikan atau tidak.

Para ahli hukum yang berteman dengan Rektor Hamdan menafsirkan hukum sesuka mereka, alih-alih menciptakan keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum. Para ahli hukum itu justru menafsirkan hukum sekonyong-konyong pemikiran kotor mereka, menghukum para mahasiswa demonstran yang memprotes Rektor Hamdan. Para ahli hukum itu juga mengancam Kawan A dengan tindakan pidana, tindakan pidana yang mereka tuduh sembarangan. Tanpa menghormati hak asasi manusia yang dimiliki Kawan A dan seluruh mahasiswa.

Rektor Hamdan juga berkawan dengan para pemikir dan guru besar di UIN Alauddin, sebagai sebuah perguruan tinggi. UIN Alauddin wajar saja menghasilkan pemikir dan guru besar, beberapa mereka berpikir dengan menolak asas metode ilmiah. Para pemikir itu justru menjadi anjing penjaga untuk Rektor Hamdan. Membantah seluruh argumen ilmiah dari mahasiswa dengan sentimen. Mereka membangun sentimen bahwa pemikir, dosen, dan guru besar lebih baik dari mahasiswa. Membanggakan diri dengan berkata “saya ini ahli” tanpa argumentasi yang ilmiah. Saya curiga, mereka menghasilkan ijazah hanya sebagai lambang kebanggaan, tanpa proses ilmiah.

*Penulis tergabung dalam solidaritas peduli demokrasi

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami