Dosa Jariah Pengurus Lembaga Kemahasiswaan Terhadap Kondisi Sosial

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dosa Pengurus Lembaga Mahasiswa | Ilustrasi: Istimewa

Oleh: Andi Muhammad Iqbal

Belakangan ini, banyak teman-teman yang bergerak menjadi aktivis sosial yang mempertanyakan kondisi mahasiswa dan lembaga mahasiswa saat ini. Berbagai kritikan serta kekhawatiran mereka terhadap mahasiswa yang sudah cenderung apatis terhadap kepekaan kondisi sosial. Ada apa dengan mahasiswa dan lembaga mahasiswa saat ini? Padahal kita menganggap itu baik-baik saja tanpa ada perubahan.

Saya akan menuliskan beberapa kekhawatiran yang senantiasa menghantui dalam pemikiran saat ini. Perubahan ini bukan bersifat alamiah, namun ada faktor sebab-akibat yang mengharuskan mereka menjaga kultur yang kolot.

Saya teringat beberapa orang memberikan pesan ke teman-teman yang lain, bahwa orang yang lahir dari kultur intelektual pasti akan merawat kultur itu juga, namun apabila ada orang yang lahir pada struktural pasti akan merawat dan berambisi untuk menjaga kekuasaan itu. Akan tetapi, apabila ada orang yang tidak paham mengenai kultur dan struktural, dan akan merebut kekuasaan itu, pasti akan berdampak pada pengkaderan dan menghilangkan kultur budaya literasi serta kepekaan sosial.

Paradigma yang terbangun di lembaga mahasiswa hari ini, sebagaimana keuntungan mereka dia dapatkan dari hasil jarahannya dibeberapa kegiatan. bukan pada persoalan, sebagaimana mereka membantu masyarakat dalam memperjuangkan hak-haknya yang dirampas oleh negara. Prinsip-prinsip moralitas dan nilai-nilai kemanusiaan sudah dikesampingkan oleh kepentingan isi perut mereka.

Ini berkaitan dengan sistem kaderisasi dan doktrinisasi yang diterapkan oleh beberapa kelompok lainnya. Mengapa hal ini terjadi? Dikarenakan perbedaan kepentingan dan sudut pandang, sehingga mengharuskan untuk membentuk kelompok-kelompok kecil didalamnya. Banyak orang mengabaikan hal ini, sehingga melahirkan kultur-kultur yang semakin mundur dari kata kritis dan intelektual.

Saya teringat kembali ketika saya masih mahasiswa baru, banyak teman-teman yang berkecimpung soal literasi di bawah pohon mangga dibelakang fakultas syariah dan berbagai tempat lainnya, sehingga menghiasi nuansa pertarungan gagasan dan kajian analisis sosial. Hal ini tidak terlepas dari peranan para ketua lembaga kemahasiswaan yang peka terhadap kondisi sosial dan merawat kultur budaya literasi.

Pola perubahan zaman serta perkembangan pesat teknologi, yang mengharuskan para mahasiswa saat ini hanya berfokus pada dunia maya. Kita tidak bisa menuntut mereka untuk mengikuti rekam jejak para pendahulunya. Akan tetapi, kita harus paham tentang peranan lembaga kemahasiswaan dalam menjaga kultur dan mengembalikan budaya terdahulu sangatlah penting.

Namun sayangnya, para pemegang lembaga kemahasiswaan sekarang buta akan hal itu, disertai dengan minimnya gagasan untuk membaca ulang tentang sejarah. Sebenarnya Ini tergantung siapa yang mentoring dalam tampuk kekuasaan itu, apabila orangnya tidak paham dengan sejarah, maka tidak heran jika kemunduran lembaga kemahasiswaan terhadap tanggungjawab sosial sudah hilang.

Dan ini akan menjadi turun-menurun dalam pengkaderan, yang menjadikan mahasiswa akan apatis atas tanggungjawab moralitas terhadap kepekaan sosial baik di kampus maupun di masyarakat. Padahal inti dari pemegang lembaga kemahasiswaan untuk mewujudkan nawacita dan menciptakan gerakan terhadap tantangan setiap zamannya.

Disisi lain, maraknya gerakan-gerakan taktis yang bersifat tidak mewakili penderitaan masyarakat. Dan banyaknya konflik sosial terstruktur yang dihadapi oleh warga, misalnya penggusuran rumah di bara-baraya, penggusuran rumah di beroangin, reklamasi, dan aksi solidaritas lainnya. Sehingga mahasiswa sekarang akan jauh dari kata kemanusiaan, sehingga ketidakpedulian mereka terhadap masyarakat yang berdampak.

Faktor gerakan taktis yang sering dianggap aksi 86, tidak lain dengan kepentingan perut mereka. Gerakan pragmatis lahir disebabkan oleh orang-orang yang memanfaatkan nama lembaga mahasiswa. Tidak heran, kalo saat ini kebanyakan mahasiswa cenderung lebih memilih diam dan apatis, dikarenakan seorang ketua lembaga menciptakan pola seperti itu.

Kita bisa menghitung jari orang-orang yang berkecimpung pada dunia literasi dan sadar atas kondisi dikampus, hal ini disebabkan oleh para pemegang kekuasaan yang tidak menciptakan ruang gerakan kreativitas untuk mengembalikan marwah dunia kultur, ini disebabkan dan membiarkan orang-orang tak paham dengan isu sosial terkini di lembaga kemahasiswaan.

*Penulis merupakan mahasiswa UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami