Gagak dan Angsa

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Pinterest.com

Oleh: Hulwana Ahsyani

Pernah mendengar cerita Gagak yang ingin menyerupai Angsa? Iri hati Gagak membuatnya meniru segala tingkah laku yang dilakukan oleh Angsa. Mengelilingi danau dan memakan makanan yang Angsa makan, itu semua Gagak lakukan agar dapat mencapai hal yang ia inginkan. Namun apakah Gagak berhasil? Tidak. Gagak tetaplah Gagak begitu juga dengan Angsa. Tapi, seorang perempuan bernama Anita Gabriella memiliki harapan lain. Perempuan dengan rambut yang sedikit kusut itu tetap berharap Gagak dapat menjadi Angsa, bagaimanan pun caranya.

Anita Gabriella, perempuan kurus dengan rambut yang tak pernah rapi. Perempuan yang selalu memakai baju kusut dan sepatu yang kusam tak terawat. Ia sedang berdiri dengan pandangan menatap kearah lantai bawah dimana adiknya berada. Di sana terdapat ayah dan ibunya. Mereka tampaknya sedang merayakan sesuatu, dari raut wajah mereka kebahagiaan sedang terpancar di sana. Gabriella segera turun, lalu mendekat. Adiknya yang beranama Anatasya sedang memeluk boneka angsa putih. Senyuman merekah di wajah cantik miliknya. Gabriella tersenyum melihat itu, sang Angsa benar-benar memainkan perannya dengan baik.

“Ayah, Ibu Aku pamit mau keluar sebentar” Gabriella membuka suara. Sontak mereka segera beralih dan menatap Gabriella yang berada di belakang.

“Loh, kamu ada di rumah Ela? Kenapa nggak turun?” Itu suara ibunya, Gabriella memang dipanggil Ela di rumah. Itu panggilan kasih sayang dari orang tuanya, katanya.

“Nggak apa-apa Ibu, Aku pergi dulu ya. Oh iya selamat Tasya atas juara yang Kamu dapat,” Tasya segera mendekat ke arah Gabriella saat mendengar itu.

“Kak, kok buru-buru sih? Ayo lah kita kumpul dulu sama Ayah dan Ibu. Kapan lagi kan bisa rayain acara bareng kayak gini?” Tasya memegang lengan Gabriella. Perempuan itu memberikan senyuman teduhnya. Namun Gabriella semakin ingin meninggalkan tempat itu, melihat Tasya seperti itu membuatnya semakin ingin pergi jauh. Ia tak suka jika Tasya bersikap baik kepadanya.

“Bakal sering kok, Kamu juara aja terus pasti bakal dirayain sama Ayah dan Ibu,” Gabriella melepas tangan Tasya. “Aku pamit ya. Assalamualaikum,” setelah mengucapkan itu, Gabriella segera beranjak dari sana tanpa menunggu balasan atas ucapannya.

*

Anatasya Gabriella Ia duduk di bangku kelas 2 SMA. Umurnya akan mencapai 17 tahun pada bulan depan. Tak ada yang menarik pada Gabriella. Satu satunya yang menarik adalah ia merupakan kakak dari seorang Anatasya. Perempuan dengan segudang bakat dan paras yang menawan. Tasya dapat dikatakan primadona di sekolahnya. Kepribadiannya begitu berbanding terbalik dengan Gabriella. Gabriella sendiri menyadari hal itu, tak hanya di sekolah bahkan di rumah ia juga kerap merasakan bagaimana perlakuan orang tuanya yang berbeda terhadap Ia dan Tasya. Harapan Gabriella hanya satu yaitu Ia bisa mendapatkan posisi yang sama dengan Tasya, tanpa dibandingkan satu sama lain.

*

“Ela.. Ela… Kamu itu gimana sih? Lihat nilai kamu merosot semua! Kamu satu semester ini ngapain aja?!,” bentakan dari ayahnya membuat Gabriella yang sedang memegang map biru tersentak. Ia semakin erat memegang map tersebut. Kepalanya semakin ia tundukkan, tak berani menatap ke depan.

“Ela! Kalo Ayah nanya itu jawab. Kenapa nilai kamu bisa turun begini?!” Kali ini suara Ayahnya semakin meninggi.

“Maaf Ayah, Ela udah berusaha semampu Ela,” Gabriella menjawab dengan suara lirih. Ia telah siap apapun yang akan dilakukan oleh Ayahnya kepada dirinya.

“Semampu kamu? Terus kenapa Tasya bisa dapat nilai yang lebih dari kamu?! Kenapa kamu masih mendapat peringkat dibawah Tasya?!” Gabriella menghela nafas, hal ini sudah tertebak. Pasti Tasya, setiap kesalahan yang diperbuat Gabriella pasti akan disandingkan dengan prestasi Tasya. Hal ini sudah menjadi makanan sehari-hari Gabriella.

“Kamu nggak bisa ya sekali aja buat Ayah bangga sama prestasi kamu? Kamu lihat Tasya, juara olimpiade, juara karya tulis ilmiah, sedangkan kamu? Apa yang Ayah bisa banggakan dari kamu Ela?” Gabriella diam, tak menjawab. Semakin ia menjawab, semakin panjang perkara ini. Perempuan itu hanya diam menelan mentah – mentah semua perkataan yang diberikan Ayahnya.

*

Setelah kejadian tadi, Gabriella mengurung diri didalam kamarnya. Saat sedang duduk menatap jendela kamarnya, tiba-tiba setetes darah jatuh dari hidungnya. Ia mimisan lagi. Gabriella segera beranjak ke arah meja belajar dan mengambil tissue disana. Ia segera membersihkan tetesan darah yang terdapat di baju miliknya dan lantai kamarnya.

Bukan hal baru bagi Gabriella mengalami hal ini, sejak memaksakan diri untuk belajar ia mulai sering mimisan. Gabriella tak akan tidur saat tugas-tugasnya belum ia selesaikan, sekalipun waktu telah menunjukkan tengah malam. Tak sekali-kali Gabriella tak makan satu hari karena sibuk dengan tugas sekolahnya. Gabriella bukan murid yang pandai, jadi untuk menjadi Tasya, ia harus lebih mengeluarkan tenaga ekstra. Namun usahanya masih sama, Tasya masih berada di atasnya.

Gabriella berbaring di atas ranjang miliknya, arah pandangnya kembali menatap jendela. Ia masih menahan tissue di sekitaran hidungnya, mimisannya belum berhenti. Apakah Gagak masih pantas berharap menjadi Angsa?

*

“Kak, Kamu nggak apa-apa? Kemarin Ayah nggak marah kan?” Tasya menghampiri Gabriella saat perempuan itu baru keluar dari kamarnya. Gabriella tak menjawab pertanyaan Tasya.

“Kak, Kamu baik-baik aja kan?” Tasya menahan Gabriella, hingga langkah perempuan itu terhenti. Gabriella berbalik dan menatap Tasya yang masih menggenggam tangannya.

“Nggak usah peduli Tasya, urus aja hidup Kamu. Ada atau nggak ada Aku nggak bakal ada yang berubah dari kehidupan Kamu.” Gabriella melepas genggaman tangan Tasya. “Jangan sering peduli Tasya, semakin Kamu peduli semakin Aku nggak suka,” setelah mengucapkan itu Gabriella beranjak turun ke bawah.

“Maaf kak, aku nggak bisa buat apa-apa” Tasya menatap sendu Gabriella. Sebenarnya Tasya tahu apa yang Gabriella rasakan, tapi ia tak dapat berbuat banyak.

*

Gabriella memperbaiki posisi headseat yang sedang ia pakai. Langkahnya seirama dengan nada lagu yang sedang ia dengarkan. Namun langkahnya terhenti saat ia melihat beberapa murid tergesa-gesa berjalan menuju parkiran. Gabriella awalnya tak acuh, namun ia segera berbalik saat mendengar nama Tasya disebut.

Di sana sudah banyak murid yang berdiri mengerumuni sesuatu, lalu tak lama seorang siswa berteriak dengan lantang.

“TASYA JUARA SATU OLIMPIADE NASIONAL!” lalu sorakan dari murid lain saling bersahutan membuat suasana semakin ramai.

Di tengah kerumunan itu Gabriella dapat melihat adiknya yang sedang memegang beberapa bunga di tangannya. Senyuman bahagia juga terpancar dari wajahnya. Dalam diam, Gabriella ikut tersenyum melihat adiknya dapat meraih penghargaan itu. Lalu perempuan itu segera berbalik dan melanjutkan langkahnya.

*

Gabriella masuk ke dalam rumah dengan keadaan yang lesuh. Saat melangkah ke ruang makan di sana ada keluarganya yang sedang duduk dengan kue di tengah mereka.

“Pasti untuk Tasya,” Gabriella membatin. Lalu melanjutkan langkahnya ke arah tangga.

“Assalamualaikum, Ayah, Ibu Aku naik ke atas dulu, kurang enak badan hari ini,” Gabriella segera berjalan menaiki tangga.

“Ela, kamu ikut gabung dong. Sebagai kakak kamu kok nggak support adik kamu sendiri. Dia dapat juara nasioanal loh” Suara Ayahnya membuat langkah Gabriella terhenti. Selain malas perempuan itu benar-benar tak baik hari ini. Mungkin akibat mimisan kemarin hingga kondisi kesehatan Gabriella sedikit terganggu.

“Iya ayah, Aku mau istirahat aja dari tadi kepala Aku pening, mau tidur,” Gabriella berbalik menatap ke arah ruang makan.

“Nggak apa-apa Ayah kalo kak Ela nggak bisa. Kak, ke kamar aja istirahat nggak apa-apa kok,” Tasya tersenyum menatap Gabriealla.

“Kamu bukan kali ini loh nggak mau ikut acara adik kamu, setiap kita buat acara kamu selalu punya alasan untuk nggak ikut,” Ayahnya mulai berdiri. “Kamu kenapa Ela? Kamu iri dengan Tasya? Kamu nggak suka lihat prestasi adik kamu?” pertanyaan Ayahnya membuat Gabriella mengangkat wajahnya.

“Ayah, udah biarin Ela istirahat. Nak, kamu ke kamar aja setelah ini nanti Ibu antarkan obat ya,” Itu sahutan dari Ibunya. Gabriella tersenyum kecil mendengarnya. Setelah ini, sebegitu tidak pentingnya sehingga untuk obat harus mengantri dengan hal seperti ini.

“Nggak usah Ibu, makasi. Besok Aku udah baikan kok,” Gabriella menjawab pelan, lalu tersenyum kecil menatap Ibunya.

“Gabriella! Ayah dari tadi tanya kamu! Punya telinga atau nggak?!” Setelah mengatakan ini Ayahnya segera beranjak mendekati Gabriealla. Lalu lelaki itu melayangkan tamparan pada pipi putri sulungnya. Sehingga membuat Gabriella menoleh ke samping dengan terpaksa.

“Kamu makin kurang ajar ya! Selama ini Ayah diam, tapi kali ini Kamu udah kelewatan batas!” bentakan Ayahnya tak dapat didengar jelas oleh Gabriella. Yang pasti suara nyaring masih menggema di telinganya.

“Ayah! Kenapa tampar kak Ela?” Itu suara Tasya. Perempuan itu segera berlari menghampiri Gabriella. Ia meraih tangan Gabriella yang sudah dingin lalu menggenggamnya.

“Ayah, Kamu kenapa sampai begini? Ela tadi bilang dia sedang sakit, apa yang Kamu perbuat?!” Ibunya pun ikut mendekat. Gabriella mendengar itu semua.

“Aku nggak apa apa,” Gabriella berkata lirih, tangannya ia tarik dari genggaman Tasya. “Aku memang nggak suka setiap perayaan yang diberikan untuk Tasya. Aku benci kalo Tasya selalu disanjung setiap orang. Di rumah atau di sekolah tak ada tempat untuk Aku, seolah-olah semuanya memang hanya untuk Tasya,” Gabriella berucap dengan pandangan lurus kedepan.

“Dulu, Aku mengira Aku dapat membuktikan bahwa Aku bisa sama seperti Tasya. Tapi ternyata salah, Tasya dan Aku berbeda. Kita tak mungkin sama, sekalipun aku berusaha semampuku Aku memang akan selalu berada di bawah Tasya,” Saat sedang berbicara, setetes darah kembali keluar dari hidung Gabriella. Perempuan itu tersenyum singkat melihat darah tersebut.

“Ini hasil dari jerih payah yang telah aku lakukan, memang bukan hasil seperti yang Tasya dapatkan tapi ini pembuktian bahwa Aku juga berusaha untuk menjadi seperti yang Ayah dan Ibu inginkan,” Gabriella menghentikan ucapannya, tangisan yang tak pernah ia keluarkan selama ini akhirnya keluar juga. Setelah hampir 4 bulan mengalami mimisan tanpa memberitahu siapa pun, malam itu akhirnya mereka mengetahui apa yang diderita oleh Gabriella. Ibunya menangis di tempat. Melihat Gabriella yang bercucuran darah.

“Nak, kenapa nggak ngomong? Ayo sini Ibu berhentikan darahnya,” Ibunya akan mendekat, namun Gabriella mundur.

“Nggak usah Ibu, Aku bisa sendiri. Selama ini juga kan selalu sendiri,” Setelah mengucapkan itu, Gabriella merasakan sakit yang luar biasa pada kepalanya. Hingga akhirnya ia terduduk lemas.

“Nak, Ela? Kamu nggak apa-apa?” Kali ini suara Ayahnya. Pria itu sudah itu tidak marah, raut wajahnya berganti menjadi raut wajah khawatir. Ia duduk disamping Gabriella, membawa badan putrinya itu untuk bersandar padanya.

“Kak! Kak Ela?!” Suara panik Tasya juga ikut bersahutan menghiasi suasana malam itu. Yang pasti malam itu Gabriella bahagia, walaupun harus merasakan rasa yang begitu menyakitkan tapi malam itu menjadi malam terindah bagi dirinya. Bukan lagi Tasya yang menjadi bintang utamanya, melainkan dirinya. Setelah tersenyum teduh, Gabriella menutup matanya dan tak sadarkan diri.

*

“Kak Ela? Ini kakak beneran?” Tasya berlari menghampiri Gabriella yang sedang duduk di sebuah kursi.

“Kak Ela! Aku kangen banget sama kakak!” Tasya segera memeluk Gabriella.

“Iya Tasya, sekolah kamu lancar? Ayah Ibu gimana?” Gabriella bertanya dengan senyuman di wajahnya.

“Kakak jadi sering senyum ya, Ayah dan Ibu nggak begitu baik, kalo sekolah.. begitu begitu aja,” Tasya menjawab dengan kepala yang tertunduk.

“Tasya, Kakak nggak pernah iri sama prestasi yang kamu dapatkan. Kakak ikut bahagia dan bangga punya adik seperti kamu. Terkadang kakak hanya ingin merasakan bagaimana menjadi Kamu yang disanjung banyak orang, disayang Ayah dan Ibu. Walaupun itu mustahil tapi kakak selalu berharap nggak dibandingin lagi sama Kamu,” Gabriella berbicara dengan pandangan lurus kedepan.

“Mungki itu salah, Kamu tetap Kamu dan Kakak tetap akan menjadi Kakak. Andaikan bintang dan matahari Kamu adalah matahari yang dapat diakui bersinar hanya dengan diri Kamu sendiri sedangkan Kakak bintang yang butuh begitu banyak hal untuk mendapat pengakuan bersinar oleh orang lain, namun nyatanya Kakak menjadi bintang yang gagal,” Gabriella menoleh menatap Tasya.

“Rajin belajar ya Tasya, ingat kata kata ini Kakak nggak pernah benci sama Kamu tetap jadi matahari dan Angsa yang selalu bersinar,” Tasya menitikkan air mata mendengar itu.

Tasya membuka matanya. Ia merasakan dirinya menangis didalam tidurnya. Perempuan itu segera duduk, lalu melihat jam disamping ranjangnya, pukul 02:39. Saat mengingat mimpi dalam tidurnya tadi, Tasya kembali menitikkan air mata. Perempuan itu menangis tersedu-sedu, ia merindukan Kakaknya.

**Penulis merupakan mahasiswi Jurusan Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami