Oleh: Arya Kusuma R
“Homo homini lupus,” tiap-tiap individu ialah predator bagi individu lain. Begitu kira-kira gambaran sederhana dari suatu kompleksitas masyarakat. Secara intuitif sejatinya tiap-tiap individu dalam masyarakat memang memiliki jiwa yang individualis. Karena itu tentunya mereka pasti punya kepentingan tersendiri. Hal yang tak seharusnya dipungkiri dan selayaknya untuk kita terima tanpa menafikkannya. Hal yang akan terus dan tetap berlaku hingga suatu kesadaran tertentu muncul, yakni begitu dihadapkan pada pereksekusiannya akan menimbulkan suatu hal lain yang paradoksikal. Bahwa suatu kepentingan yang dimiliki tiap-tiap individu tadi secara sendiri-sendiri, tidak mungkin untuk dilakukan secara sendiri-sendiri. Seolah-olah timbul kemudian semacam kesadaran akan urgensi ikhtiar koperatif. Yakni suatu kesadaran di mana tiap-tiap individu membutuhkan individu lain dalam memenuhi kepentingannya. Suatu kondisi di mana sosok individu yang tadinya individualis, kemudian sadar akan pentingnya kerja sama dalam mencapai kepentingan, yang tentunya juga disadari lebih baik, dibandingkan melakukannya secara sendiri-sendiri. Hal ini oleh Aristoteles disebut sebagai zoon politicon.
Namun, dalam hal pemenuhan kepentingan secara bersama-sama itu, hal yang terpenting ialah adanya consent yang fair. Yah, karena bagaimana mungkin suatu kerja sama layak disebut demikian tanpa adanya persetujuan yang seimbang antara pihak. Meskipun seringkali memang ketika kita melihat realita yang terjadi tak seideal hipotesa tersebut. Tapi begitulah kompleksitas dan dinamisme kemasyarakatan. Bahwa dominasi dan upaya dalam menguasai yang lain akan selalu ada akibat dari berbagai kepentingan yang berbeda-beda pada masing-masing individu egois tadi, yang dengannya kemudian akan tercipta semacam “yang kuat akan memangsa yang lemah.” Penindasan, penjajahan, penaklukan, peperangan, adalah akibat dari hal itu yakni conflict of interest. Untuk itulah memang satu-satunya hal yang bisa mengatasinya ialah lahirnya moralitas pada seminimalnya didobrak oleh salah satu individu tadi sebagai sosok yang kita sebut sebagai Ãœbermensch atau “individu luar biasa.” Sosok individu yang diharapkan, dipercaya, dan dianggap mampu mengagregasi atau menghimpun berbagai kepentingan yang ada sehingga lahirlah suatu masyarakat yang adil dan sejahtera.
Namun, sungguh mengawang kiranya jika kita menunggu hadirnya sosok tersebut tanpa menjadi sosok itu. Kira-kira, mungkinkah kita bisa menjadi sosok tersebut? Suatu pertanyaan yang sejatinya layak untuk kita pertanyakan pada diri masing-masing. Karena bagaimana mungkin suatu konsepsi masyarakat adil dan sejahtera tadi dapat terealisasi jika masing-masing dari kita sekadar mengharapkan lahirnya sesosok pendobrak moralitas tadi tanpa memulai menjadi sosok itu. Akan cukup berbahaya jika kita saling tunggu-menunggu. Sungguh dilematis, namun begitulah adanya. Namun demi mengakhiri tulisan ini yang mungkin jika dibiarkan akan semakin rumit, mengawang-awang, dan mengesalkan maka selayaknya kita tanyakan kembali ke diri kita, bahwa apakah kita menginginkan suatu bentuk masyarakat di mana tiap-tiap kita menjadi predator terhadap yang lain, ataukah kita mengharapkan masyarakat yang saling berkawanan, berlindung di sarang yang kita sebut sebagai himpunan, yakni keadaan yang mampu menghimpun berbagai kepentingan dalam mencapai keadilan dan kesejahteraan? Suatu kondisi “homo homini lupus” ataukah “homo homini socius?”
Dari hipotesa di atas suatu hal yang wajar jika tiap individu mengharapkan perhatian dan kepedulian dari individu lain. Namun itu sepatutnya tidak cukup sampai di situ, karena mesti disadari bahwa individu lain juga mengharapkan hal yang sama. Cukup aneh juga bila kita sekadar mengharapkan perhatian dan kepedulian dari individu lain namun kita justru menjadi sosok pertama yang menafikkan itu. Daripada mengharapkan diri untuk diperhatikan dan dipeduli orang lain, selayaknya kitalah yang memulai untuk peduli dan perhatian pada orang lain, sehingga pada akhirnya lahir kesalingpedulian, perkawanan, dan suatu himpunan masyarakat yang adil dan sejahtera.
Namun ada hal menarik yang sangat bersinggungan dengan kasus di atas, yakni ketika cinta hadir. Cinta begitu menjadi-mencintai-maka hanya ada pemberian tanpa harap diberi. Cinta adalah bantahan terhadap kasus atau hipotesa di atas. Karena cinta adalah surplus yang hanya ingin memberi, memperhatikan, mempedulikan, tanpa adanya kesadaran sebaliknya. Cintalah satu-satunya yang dapat mewujudkan adil dan sejahtera tanpa adanya consent yang fair. Karena cinta adalah surplus yang akan selalu dan terus mengisi kekurangan yang ada. Dia terus bertambah dan bertumbuh tanpa batas. Dunia butuh cinta sebagai asupan nutrisi. Seandainya pada tiap-tiap individu yang egois tadi hadir cinta, maka egoisitas bukan menjadi masalah. Alangkah indahnya suatu tatanan masyarakat yang dipenuhi oleh individu-individu yang mencintai. Suatu kondisi di mana tiap-tiap individu saling berlomba-lomba dalam mencintai. Jadi ketika cinta kita bawa kepada setiap persoalan-persoalan kehidupan, lihatlah hasilnya, masalah justru menjadi solusi. Dengan cinta, kemiskinan akan teratasi, karena tiap-tiap individu akan berupaya untuk berbagi. Dengan cinta kebodohan bukanlah suatu masalah, karena tiap-tiap pembelajar akan saling mengajar. Dengan cinta, konflik tidak akan terjadi, karena tiap-tiap individu yang ada akan saling memaafkan. Alangkah indahnya begitu cinta hadir atau nahkan ketika kitalah yang menjadi cinta itu sendiri.
Untuk itu, sekalipun mungkin mengawang, mari kita tetap menghadirkan cinta dalam keseharian kita, paling tidak kitalah yang menjadi sosok cinta itu. Mari berhimpun atas nama cinta, yakni dengan bersama-sama menjadi penggerak dalam mewujudkan keadilan dan kesejahteraan dengan menghadirkan cinta di antara kita. Mungkin tulisan ini dipantik judul tentang predator, namun setidaknya dijalankan melalui penjelasan-penjelasan yang membawa kita untuk berhimpun yakni jalan socius atau perkawanan, dan paling tidak tulisan ini diakhiri oleh cinta. Olehnya itu, jika cinta tak kita temukan maka carilah, jika tetap tiada, jadilah cinta itu sendiri.
*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Hukum Fakultas Syariah dan Hukum UIN Alauddin Makassar