MBKM: Karpet Merah Komersialisasi Pendidikan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Washilah - Kardiman Aksah.

Washilah – Program MBKM yang diprakarsai Kemendikbud Ristek, Nadiem Makarim, ternyata berpotensi menjadi karpet merah untuk mengubah haluan Pergurun Tinggi Negeri (PTN) Bebadan Layanan Umum (BLU) menuju Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Berbadan Hukum (BH) yang melanggengkan komersialisasi pendidikan.

Dalam buku panduan MBKM yang diterbitkan Kemendikbud Ristek, menjelaskan tujuan program ini mendorong kebebasan dan otonomi kepada lembaga pendidikan.

Hal tersebut selaras dengan tujuan perubahan PTN BLU ke PTN BH yang diatur dalam peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayan Nomor 88 Tahun 2014, guna memberikan otonomi sebebas-bebasnya terhadap PTN melalui PTN BH.

MBKM sendiri mencanangkan empat bentuk metode pembelajaran. Kesemuanya mendorong pemenuhan akreditasi kampus serta membuktikan pengimplementasian tridharma perguruan tinggi. Hal itu sebagai prasyarat mengubah haluan PTN BLU menjadi PTN BH.

Ketua Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Abd Rafiq, “persyaratan yang harus dipenuhi untuk menjadi PTN BH tertera pada Permendikbud No 4 Tahun 2020, dalam pasal 2 yakni prinsip tata kelola yang baik, memenuhi standar kelayakan finansial, menjalankan tanggung jawab sosial, berperan dalam pertumbuhan ekonomi,” kata Mahasiswa angkatan 2018 tersebut.

Senada dengan itu, Demisioner Dema UIN Alauddin periode 2018, Askar Nur, mengatakan diterapkannya MBKM bagi setiap kampus mengajukan diri menjadi PTN BH. Tanpa adanya persyaratan yang sulit. Serta dapat mengajukan permohonan untuk berbadan hukum jika telah siap.

Dalam UU No 2014 menyebutkan persyaratan PTN menuju PTN BH, yakni; Status terakreditasi dan peringkat terakreditasi unggul, baik perguruan tinggi maupun 80% dari program studi yang diselenggarakan. Prestasi PTN dalam turut serta di kegiatan-kegiatan dunia usaha dan industri. Keikutsertaan PTN dalam kegiatan pemerintah maupun pemerintah daerah.

Komersialisasi Pendidikan di Balik MBKM

Ketua Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademis (KIKA), Dhia Ul-uyun berpendapat bahwa yang cacat ialah PTN BHnya. “MBKM dan PTN BH itu berbeda, yang cacat dari awal itu adalah PTN BH, karena tujuannya bukan memajukan pendidikan namun menyiapkan tenaga kerja,” katanya.

Sependapat dengan Dhia, Askar menuturkan jika PTNBH dengan MBKM merupakan dua hal yang berbeda, tetapi memiliki tujuan yang hampir sama. Dapat menimbulkan adanya komersialisasi yang mengantarkan pendidikan sebagai alat untuk melahirkan tenaga kerja sektor industri, bukan lagi sebagai proses pencerdasan. Hal ini menggambarkan keadaan pendidikan layaknya lembaga penghasil mesin yang siap memasok pasar industri.

“Kampus akan menjelma menjadi arena utama pertumbuhan ekonomi. Padahal ruangnya bukanlah sektor pendidikan, karena sektor pendidikan merupakan tameng peran terakhir dalam pengembangan intelektual generasi muda yang akan menjadi penerus bangsa ini,” ucap Alumni mahasiswa FAH itu.

Ia menambahkan, jika mahasiswa diperkenalkan dengan hal yang bersifat pragmatis maka gagasan yang subur akan terhambat. Menurutnya, mahasiswa akan terus berpikir bahwa kesuksesan harus dilihat dari tingkat ekonomi yang diperoleh.

“Dengan adanya komersialisasi pendidikan tersebut, pendidikan akan menjadi hal yang eksklusif serta jauh dari masyarakat umum. Bahkan hanya bisa dinikmati oleh kalangan tertentu,” pungkasnya.

Selain itu, Rafiq, menyampaikan PTN akan menghalalkan segala cara untuk mencapai keuntungan tanpa mempertimbangkan aspek kepentingan mutu pendidikan yang sebenarnya. Mahasiswa semester VIII itu, mengatakan dalam konsep PTN BH, negara akan lepas tangan dalam soal pembiayaan pendidikan.

“Kampus mempunyai otonomi dalam pengelolaan keuangan. Kampus akan seenaknya dalam menaikkan Uang Kuliah Tunggal (UKT) mahasiswa, serta menentukan pembiayaan lainnya demi mencapai kepentingan profit dari PTN tersebut,” tutur Mahasiswa Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam ini.

Dampak PTN BH terlihat dari Universitas Andalas (Unand) pada Tabloid “Manuver Unand pasca PTN BH” edisi LXXX Maret-April yang diterbitkan LPM Genta Andalas.

Diketahui Unand belum mengalami perubahan dan peningkatan dalam hal akademik ataupun kualitas mahasiswa, tetapi terlalu sibuk mencari pemasukan baru untuk menutupi dana pengeluaran, meski telah berubah haluan menjadi PTN BH pada 31 Agustus 2021.

“Kampus yang statusnya PTN BH harus dapat mencari dana sendiri layaknya BUMN, pengeluaran juga bertambah karena subsidi dari pemerintah berkurang,” ungkap Warek II Unand, Wirsma Arfi Harahap.

Pendapatan selain APBN berasal dari biaya pendidikan mahasiswa berupa UKT dan SPP, yang kurang lebih sebesar 100 miliar. Dampaknya kenaikan UKT dari 2018 sampai 2022 naik secara signifikan. Bahkan di beberapa fakultas Unand kenaikannya mencapai lima juta MBKM: Karpet Merah Komersialisasi Pendidikan rupiah pertahunnya yang seharusnya beriringan dengan kualitas pendidikan dan sarana prasana.

Apa yang dialami Unand, juga dialami Universitas Hasanuddin yang lebih dulu beralih menjadi PTNBH di tahun 2014 silam. Calon mahasiswa yang dinyatakan lulus dijalur ujian mandiri akan dibebankan dengan Dana Pembinaan Pendidikan (DPP) yang menyentuh angka 50 juta permahasiswa dilampiran UKT/ BKT UNHAS pada tahun 2017.

“Bahkan untuk Fakultas Kedokteran yang dulunya tidak ada uang pangkal, kini 200 juta,” ungkap Presiden Mahasiwa Unhas, Imam Mobilingo.

Menanggapi polemik tersebut, Dhia menuturkan seharusnya jika akreditasi meningkat, maka dana dari pemerintah akan bertambah.

“Ketika Badan Hukum Pendidikan (BHP) dikeluarkan, UKT mahasiswa dibeberapa Universitas naik. Akhirnya mahasiswa menjadi korban,” tutur perempuan yang menjabat sebagai Dosen Fakultas Hukum Univeristas Brawijaya ini.

Di lain sisi, revisi UU sistem pendidikan nomor 20 tahun 2003, mendorong seluruh PTKIN segera bertransformasi menjadi PTN BH. Hal tersebut disampaikan Nizar Ali selaku Sekretaris Jenderal Kementrian Agama yang dilansir melalui Medcom.id, (18/2/2022).

Askar menambahkan bahwa kampus akan siap, namun PTKIN akan dipersulit dengan dasar yang berbeda. pasalnya PTKIN condong kepada keagamaan dan persoalan PTN BH sedikit kontradiktif dengan polemik keagamaan. Sampai saat ini belum ada produk tersendiri sebagai bentuk interpretasi dari Kemendikbudristek mengenai MBKM kepada PTKIN karena PTN dan PTKIN memiliki kebijakan yang berbeda.

“Misal antara Universitas Negeri Makassar (UNM) dan Universitas Islam Negeri (UIN). Walaupun sama-sama status negerinya tetapi secara sosio historis persoalan sumber dayanya berbeda.

Oleh karena itu dibutuhkan persoalan adaptasi terkait kebijakan dengan kondisi kampus, atau pun mempertimbangkan aspek kesiapan dari masing-masing kampus harus mempertimbangkan aspek sosiologisnya ataupun aspek manusia dan budaya dalam semua kampus,” katanya.

Terakhir, Askar mengatakan tidak semua kampus mempunyai kultur yang sama, jika PTKIN belum siap ke arah MBKM dan dipaksakan, maka kebijakan itu tidak akan membawa pengaruh positif terhadap yang merasakan.

Wakil Rektor IV Bidang Kerjasama dan Pengembangan Lembaga UIN Alauddin Makassar, Kamaluddin Abu Nawas, mengungkapkan sampai saat ini tidak ada upaya UIN Alauddin menuju PTNBH.

Tidak mudah sebenarnya. Bahkan sekarang yang menjadi BLU di bawah naungan Kemenag. Jangan sampai kita mau menuju PTNBH, tapi kita tidak mampu,” katanya.

Kendati demikian, ia tidak menampik bahwa UIN Alauddin Makassar merupakan satu-satunya universitas bagian timur yang berpotensi untuk menjadi PTN BH jika ditinjau dari penghasilannya, “karena UIN mungkin masuk lima besar pendapatannya pada tataran universitas di Indonesia,”pungkasnya.

Kamaluddin menambahkan sebanyak 20 BUMN penempatan pemagangan sedang dalam proses penandatanganan MoU.

“Perusahaan seperti semen indonesia, Telkom, dan Perbankan. Semua dalam tahap proses. Meski diakui, sempat terhenti karena pandemi,” tutupnya.

Liputan ini telah terbit pada Tabloid Edisi 118 spesial magang

Penulis: Firda dan Astiti Nuryanti

Editor: Nur Afni Aripin

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami