Washilah – UIN Alauddin Makassar terus mendorong menjadi kampus yang inklusif. Hal itu terlihat dengan diterimanya mahasiswa Katolik, Ketlyn yang berkuliah di Kampus berbasis Islam.
Menjadi minoritas di kampus tidaklah mudah, namun hal itu bukan menjadi hambatan bagi Ketlyn dalam menjalankan studinya di Fakultas Adab dan Humaniora, Prodi Ilmu Perpustakaan.
Lantas, bagaimana keseharian Ketlyn menjalani perkuliahan di UIN Alauddin Makassar? Reporter Washilah berkesempatan melakukan wawancara dengan Ketlyn, Sabtu (21/1/2023).
Mengapa Anda memilih UIN Alauddin Makassar sebagai kampus tempat menuntut ilmu?
Berawal dari kondisi ekonomi yang kurang memadai, akhirnya memutuskan untuk mencari universitas negeri yang terdapat jurusan yang saya bidangi yakni Ilmu Perpustakaan. Saya mengikuti dua seleksi masuk di dua perguruan tinggi negeri di Indonesia dan lolos kedua-duanya. Namun akhirnya memilih masuk UIN karena biaya kampusnya murah dan lebih dekat dengan kampung halaman, jadi kalau liburan bisa pulang kampung. Selain itu, jurusan Ilmu Perpustakaan yang ada di UIN membuat saya tertarik untuk mempelajarinya, agar dapat mengubah cara pandang masyarakat yang menganggap bahwa pustakawan itu kerjanya hanya menyusun buku pada rak buku. Padahal tugas pustakawan lebih luas daripada itu. Di sisi lain, saya juga melihat perpustakaan di daerah pelosok sangat miris sehingga memotivasi saya untuk mengambil program studi tersebut untuk belajar bagaimana cara mengolah perpustakaan, walau harus ditempuh dengan keluar dari zona nyaman dan menjadi minoritas di kalangan mahasiswa muslim.
Bagaimama awal Anda berkuliah di UIN?
Ketika PBAK saya dihadapkan dengan situasi yang cukup menarik, teman-teman mengajak saya salat dan saya menjawab saya tidak salat. Sontak mereka mengatakan oh halangan ya, dan saya iyakan saja tanpa banyak bicara. Setelah itu, ketika jam makan siang, saya membuat tanda salib, mereka terkejut dan heran tetapi pada akhirnya saya jelaskan bahwa saya Katolik. Banyak moment dimana mahasiswa UIN kaget dengan keberadaan saya—namun hal itu menjadi hiburan buat saya.
Apa tanggapan Orang tua ketika kuliah di UIN?
Awalnya penuh pertimbangan dari keluarga besar saya, ada pro kontra. Namun, tidak lama kemudian Mama saya memberi izin kuliah di UIN dan mengatakan bahwa, “menuntut ilmu tidak selamanya kita harus mengikuti agama orang, persoalan agama ya agama, kalau sekolah ya sekolah, intinya kita tahu cara menghargai perbedaan dan selalu mengasihi walau kadang kita dikecewakan,” Keluarga besar saya pun akhirnya menyetujui dan selalu memotivasi ketika saya ingin menyerah.
Bagaimana Anda menyikapi aturan-aturan di kampus, seperti aturan berhijab dan menghafal jus 30 saat ingin pengajuan skripsi?
Perihal berhijab, setahu saya dari pihak kampus tidak mengharuskan, waktu itu sebelum masuk proses perkuliahan saya dipanggil oleh ketua jurusan, di situ mereka kaget saya mengenakan jilbab dan mereka mengatakan bahwa mengapa harus mengenakan jilbab karena belum ada aturan terkait pemakaian jilbab oleh mahasiswi non Islam. Karena selama UIN berdiri katanya belum ada mahasiswi non islam yang masuk di UIN, kecuali mahasiswa. Jadi saya mengatakan bahwa saya sendiri yang berinisiatif untuk memakai jilbab karena awalnya saya merasa asing dan perlu beradaptasi supaya teman-teman tidak merasa risih dengan kehadiran saya. Sedangkan untuk hafalan jus 30 itu saya pernah bertanya kepada dosen, katanya tidak diharuskan dan diberi dispensasi dari pihak kampus, tetapi untuk kejelasan harus mengikuti atau tidak, sejauh ini saya belum tahu pasti.
Apa saja kendala yang Anda alami semasa kuliah di UIN?
Kendala yang saya hadapi bisa dikatakan sedikit, tapi berakibat besar dalam hidup saya. Pertama, di kalangan teman-teman mahasiswa tidak semuanya memiliki jiwa toleransi sehingga kadang kita harus terbiasa ketika iman kita jadi bualan mahasiswa lain. Namun hal itu hanya dilakukan oleh segelintir orang saja. Kedua, ketika mengikuti mata kuliah agama Islam saya sedikit mengalami kendala tentang istilah-istilah dalam agama Islam yang tidak saya pahami, tetapi Puji Tuhan ada teman dekat saya yang menjelaskan secara sederhana sehingga dapat saya pahami dengan mudah. Ketiga, ketika beberapa dosen yang bertanya perihal agama yang saya anut, dimana saya kadang merasa tidak suka karena pertanyaan itu bukan untuk menambah wawasan melainkan merendahkan apa yang saya yakini. Saya kadang merasa sakit hati, tapi kembali lagi bahwa kita tidak bisa mengendalikan apa yang orang lain katakan dan lakukan kepada kita, dan yang mampu kita kendalikan hanya diri kita sendiri. Namun, seiring berjalannya waktu, saya sudah terbiasa menanggapi hal-hal demikian.
Bagamana cara Anda beradaptasi dengan teman anda di kampus yang mayoritas Muslim?
Awal masuk perkuliahan saya termasuk pendiam karena takut memulai pembicaraan, tetapi saya disapa oleh mereka, diajak ngobrol dan jalan sama-sama. Mereka memberi solusi kalau ada masalah, meluruskan cara pandang saya tentang Islam, dan memberi kenyamanan buat saya karena pembahasan kami tidak selamanya tentang agama, melainkan isu-isu sosial yang terjadi di negara kita. Dulu mereka kaget dan selalu mengatakan auratmu Ketlyn—kalau saya memperbaiki jilbab dan rambut saya kelihatan, tapi seiring berjalannya waktu mereka terbiasa dengan tampilan saya tanpa mengenakan jilbab. Saya sangat bersyukur mengenal mereka karena di situ saya mengenal makna sesungguhnya dari toleransi, saya memahami dan terbiasa dengan keberagaman karena tidak semua orang diberi kesempatan seperti saya untuk melanjutkan pendidikan tetapi menjadi kaum minoritas dan lebih serunya bukan hanya minoritas tapi menjadi tunggal di kampus. Kerennya kita tidak perlu bersuara di mana-mana tapi kita dikenal banyak orang, kadang teman-teman selalu mengatakan Ketlyn sudah seperti selebriti di sini karena banyak yang cari orang dan banyak dikenal walau saya tidak mengenalnya.
Bagaimana cara Anda beradaptasi dengan dosen dan tugas yang diberikan, seperti hafalan Quran atau Hadis?
Awalnya para dosen memulai pembelajaran mereka langsung mengetahui bahwa saya non-Islam dan mereka berusaha beradaptasi dengan saya dan menjelaskan sedetail mungkin agar saya bisa memahaminya. Kadang mereka menganalogikan pembelajaran yang sulit dipahami agar mudah dimengerti. Bisa dikatakan dosen-dosen di UIN lumayan seru dengan ciri khasnya mereka. Cara mereka berusaha membentuk karakter mahasiswa kadang membuat saya kagum dan saya paham bahwa mereka ingin melahirkan mahasiswa yang memiliki akhlak baik dan bermutu. Kalau tugas-tugas yang diberikan, saya bisa mengerjakannya karena kadang diberikan dalam bentuk kelompok jadi bisa berdiskusi dengan teman, adapun kalau individu yang terkait dengan pelajaran Islam disamping saya mencari tahu lewat internet ada juga teman yang dengan sukarela menawarkan diri untuk membantu saya, jadi kalau soal tugas puji Tuhan selalu aman. Selain itu, saya tidak diwajibkan menghafal Alqur’an dan Hadits jadi saya hanya mengikuti teman-teman dan mengetahui isi dari bacaan itu ketika dijelaskan oleh teman. Tidak ada dosen yang memaksa saya untuk membaca Alqur’an dan Hadits, mereka hanya menjelaskan maknanya saja dan saya menyimak setiap materi yang mereka berikan, jadi saya punya nilai tambah yaitu dapat mempelajari materi jurusan saya dan mempelajari materi agama lain sehingga menambah wawasan saya tentang keanekaragaman yg ada di Indonesia.
Liputan ini telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 121 spesial Magang.
Penulis: Wafiq Aziza Mahsen/ Arham
Editor: Heni Handayani