Tragedi hingga Pergeseran Makna Panai

Facebook
Twitter
WhatsApp

Washilah – Uang panai dulunya dikenal dengan istilah uang belanja. Uang belanja hadir dari kesepakatan kedua bela pihak antara mempelai pria dan perempuan setelah prosesi lamaran. Namun di kemudian hari terjadi pergeseran nilai, peran, dan posisi uang panai melampaui mahar.

Salah satu warga Kabupaten Gowa, Dg Siriwa mengatakan uang panai dapat mempersulit kedua pihak mempelai. Jika laki-lakinya tidak mampu memenuhi uang panai maka berpotensi mengambil jalan lain.

“Kalau dia saling mencintai dan diberatkan dengan uang panai, bisa saja mereka kabur. Istilah orang Makassar silariang (kawin lari),” ujarnya.

Dg Siriwa menambahkan, melakukan pinjaman uang sebagai jalan pintas untuk penuhi panai akan menyusahkan setelah menikah bahkan rentan timbulkan perceraian.

“Harus membayar hutang, inilah yang menjadi salah satu penyebab rumah tangga tidak bertahan lama karena gajinya itu hanya untuk bayar hutang,” lanjutnya.

Berkaitan dengan itu, terdapat kasus silariang dan bunuh diri akibat uang panai yang ditolak keluarga. Ramli dan Isa adalah pasangan asal Jeneponto, Sulawesi Selatan yang memilih untuk silariang. Itu dikarenakan Ramli hanya mampu memberikan Rp 10 juta dari patokan Rp 15 juta sebagai syarat memperistri sang kekasih.

Calon mempelai pria, Ramli mengatakan ia nekat mengajak Isa kawin lari, karena mereka saling menginginkan. Lanjut, ia membeberkan pernah meminta kepada keluarga Isa untuk rujuk, tetapi kembali ditolak dikarenakan mahar yang ia bawa tidak cukup.

Akibat dari lamaran Ramli yang kembali ditolak, Isa memutuskan untuk mengakhiri hidupnya dengan meminum racun rumput. Kasus yang lain terjadi di Kabupaten Paser, Kalimantan Timur. Seorang pria dengan inisial MM nekad menyebarkan video syurnya bersama calon istri AE. Hal tersebut dengan sengaja MM lakukan, karena pernikahannya dibatalkan oleh keluarga calon mempelai wanita. Nominal uang panai yang tidak sesuai permintaan, menjadi alasan gagalnya MM memperistri AE yang telah ia pacari selama satu tahun.

Direktur Metologi Bumi Sulawesi, Ihwal Achmady, menuturkan nikah bukan hanya soal budaya atau adat.

“Dalam agama secara jelas dan tertulis tidak ada aturan uang panai, yang ada hanya syarat dalam sebuah pernikahan itu mahar,” tuturnya.

Uang panai, kata Ichwal, berbeda dengan mahar. Mahar adalah kewajiban agama yang menjadi mutlak dalam prosesi nikah. Menurutnya, uang panai bukan tidak ada dalam agama, tetapi hal tersebut menjadi bagian dari rangkaian acara pernikahan.

“Dijadikan sebuah kewajiban dan syarat mutlak untuk menikah, padahal sebenarnya peran dan posisinya itu hanya bagian dari rangkaian dalam pernikahan. Berdasarkan penjelasan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mengacu pada hadits menyampaikan bahwa uang panai itu dijabarkan sebagai biaya untuk memeriahkan acara pernikahan,” lanjut pria kelahiran Sungguminasa itu.

Dilihat dari perspektif adat budaya, Ihwal menjelaskan tidak ada bedanya dengan agama. Syarat mutlak dalam sebuah pernikahan itu mahar (passikko) emas atau benda-benda yang nilainya penting atau besar.

“Tidak ada secara spesifik yang dijelaskan berapa nilainya. Dalam adat Bugis-Makassar cincin passikko menjadi syarat mutlak sebuah pernikahan. Setelah cincin passikko ini dirangkaian dengan prosesi panai leko caddi. Panai leko caddi inilah ada beberapa bagian yakni ada uang, ada perhiasan (bisa baju), dan erang-erang. Dia memang semacam sebuah pemberian khusus untuk perempuannya dalam ritual panai leko caddi, situ ada uang tapi tidak dinyatakan uang panai,” jelasnya.

Uang panai merupakan pemberian uang dan materi lainnya yang bersumber dari pihak mempelai laki-laki kepada calon mempelai wanita sebagai bentuk penghargaan untuk prosesi pesta pernikahannya.

“Di panai leko caddi ini yang jadi nilai materil paling besar, jadi di kemudian hari uang ini menjadi fungsi mewujudkan bahwa lebih bagus kal uang saja. Uang ini menjadi sebuah tolak ukur bahwa seberapa matang lelaki, seberapa mampu dia, bahkan menjadi ajang prestise padahal kita harus memahami bahwa kedudukan uang panai hanya sebagai rangkaian dari proses pernikahan,”tutupnya.

Sebelumnya, MUI mengeluarkan fatwa uang panai sebagai adat yang hukumnya mubah (boleh) selama tidak menyalahi prinsip syariah. Ketentuan ini ditetapkan di Makassar pada tanggal 1 Dzulhijjah 1443 H / 1 Juli 2022.

Adapun prinsip syari’ah yang dimaksud dalam fatwa MUI yakni, mempermudah pernikahan dan tidak memberatkan bagi laki-laki, memuliakan wanita, jujur dan tidak dilakukan secara manipulatif, jumlahnya dikondisikan secara wajar dan sesuai dengan kesepakatan oleh kedua belah pihak, bentuk komitmen dan tanggung jawab serta kesungguhan calon suami, sebagai bentuk tolong-menolong (ta’awun) dalam rangka menyambung silaturahmi.

*Tulisan ini sebelumnya telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 120

Penulis : Male’bi Salsabila (Magang)

Editor: Nadia Hamrawati Hamzah

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami