Tradisi Hari Raya Kecil “Lebaran Ketupat” di Sulbar

Facebook
Twitter
WhatsApp
Kumparan

Washilah – Sebelum dinamakan Polewali Mandar (Polman), daerah ini bernama Polewali Mamasa (Polmas) yang secara administratif berada dalam wilayah provinsi Sulawesi Selatan. Setelah daerah ini dimekarkan dengan berdirinya kabupaten Mamasa sebagai kabupaten tersendiri, maka nama Polewali Mamasa pun diganti menjadi Polman. Nama kabupaten ini resmi digunakan dalam proses administrasi pemerintahan sejak tanggal 1 Januari 2006 setelah ditetapkan dalam bentuk PP No. 74 Tahun 2005, tanggal 27 Desember 2005 tentang perubahan nama Kabupaten Polmas menjadi Kabupaten Polman.

Di Polman terdapat 16 kecamatan, salah satunya adalah kecamatan Wonomulyo yang kerkenal dengan kampung Jawa, karena sebagian besar Desanya dihuni oleh masyarakat Jawa yang bertransmigran ke Sulawesi-selatan yang pada saat itu didatangkan oleh Belanda pada tahun 1934. Wonomulyo awalnya bernama Distrik Colonie dan kemudian namanya diganti dengan Wonomulyo yang memiliki arti “Hutan Mulia”. Seperti halnya di pulau Jawa di kampung ini juga tidak bisa terlepas dari adat yang dilakukan secara turun-temurun seperti “Lebaran Ketupat” harus dilakukan setiap tahun yaitu tujuh hari setelah Hari Raya Idul Fitri.

Asal mula lebaran ketupat atau Bodho kupat atau kupatan atau syawalan di Jawa sejak jaman pemerintahan Sultan Paku Boewono IV. Dilaksanakan padan hari ke-7 bulan Syawal. Masyarakat Jawa biasanya menghidangkan ketupat bersama dengan opor ayam, sambal goreng dan sebagainya. Ketupat sendiri telah berkembang akibat kreatifitas kuliner di beberapa daerah.

Tradisi lebaran ketupat menyebar ke luar tanah Jawa dibawa oleh orang-orang Jawa yang merantau ke luar pulau, bahkan ke luar negeri. Tradisi lebaran ketupat hingga akhirnya dikenal oleh masyarakat di luar Jawa dan menjadi tradisi yang menasional, hampir di tiap daerah terdapat tradisi yang sejenis dengan tradisi lebaran ketupat tak terkecuali di luar negeri yang juga terdapat orang Jawanya.

Lebaran Ketupat dilaksanakan seminggu setelah lebaran Idul Fitri yaitu 8 syawal yang juga dikenal dengan Hari Raya Kecil, karena pelaksaannya setelah melakukan puasa syawal 6 hari. Sebagaimana sunnah rasul setelah merayakan Hari Raya Idul Fitri, satu hari setelahnya disunnahkan berpuasa sampai 6 hari, sehingga pada hari ke-7 itu disebut sebagai Hari Raya Kecil (Lebaran Ketupat).

Banyak makna filosofis yang terkandung dalam makanan ketupat. Bungkus yang dibuat dari janur kuning melambangkan penolakan bala bagi orang Jawa. Janur artinya sejatinya nur (cahaya) yang melambangkan kondisi manusia dalam keadaan suci setelah mendapat pencerahan (cahaya) selama bulan Ramadhan.

Ketupat yang berbentuk belah ketupat juga memiliki filosofi kuat bagi masyarakat di jawa. Bentuk ketupat ini dilambangkan sebagai perwujudan kiblat papat limo pancer. Maksudnya adalah sebagai keseimbangan alam dalam empat arah mata angin utama yaitu utara, barat, selatan, timur. Meskipun memiliki empat arah, namun hanya ada satu kiblat atau pusat.

Keempat sisi ketupat ini diasumsikan sebagai empat macam nafsu yang dimiliki manusia yang dikalahkan dengan berpuasa. Oleh karenanya, jika makan ketupat sendiri bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengalahkan nafsu ini.

Makna tradisi lebaran ketupat sangat dalam bagi masyarakat Jawa serta mengandung filosofi kehidupan yang berharga. Makna dari lebaran ketupat adalah kesucian lahir batin yang dimanifestasikan dalam tujuan hidup yang esensial. Tujuannya sebenarnya sama dengan melaksanakan Hari Raya Idul Fitri yakni saling memaafkan serta bersilahturahmi yang biasa disebut “Halal Bihalal”.

Acara silahturahim ini umumnya dilakukan oleh masyarakat Jawa dimana yang muda mengunjungi yang lebih tua. Hal ini mencerminkan pandangan hidup orang Jawa, bahwa orang hidup harus tepa selire, unggah-unggah (Tahu tata krama dan sopan santun).

Penulis: Irmayanti (Magang)

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami