Washilah – “Di antara mereka yang tertangkap, harus memilih antara mati dibunuh atau memilih masuk Islam dan menjadi manusia normal (laki-laki atau perempuan),” tulis Halilintar Lathief dalam bukunya yang berjudul Bissu.
Selain bissu, Suku Bugis mengenal empat gender lainnya. Jika lazimnya kita mengenal dua gender, yakni laki-laki dengan kemaskulinannya dan perempuan dengan feminitasnya.
Maka, masyarakat Bugis mengenal lima gender dengan perannya yang berbeda-beda, yaitu; Oroane (laki-laki), makkunrai (perempuan), calalai (perempuan dengan peran dan fungsi laki-laki), calabai (laki-laki dengan peran dan fungsi perempuan), sementara bissu (perpaduan dua gender yaitu perempuan dan laki-laki).
Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Dr Syamsul Rijal, menjelaskan kelima gender tersebut tidak berkaitan dengan seksualitas. Tapi berdasar pada pembagian hasil dari konstruk sosial masyarakat tentang peran-peran dan karakter mereka di dalam kehidupan bermasyarakat di Bugis Makassar.
“Karena itu jelas, kelima entitas itu adalah pembagian yang berbasis gender, bukan berbasis seksualitas,” ungkap laki-laki kelahiran 1976 ini.
Lanjut, Demisioner Ketua Riset, Budaya Lokal, dan Wacana Alternatif Lembaga Advokasi dan Pendidikan Anak Rakyat (LAPAR) Makassar menambahkan, status gender dalam Bugis Makassar ini, dianggap sebagai sesuatu yang tidak dibuat-buat, “ada yang dibilang calabai tongkonalino. Diyakini ke- calabaiannya itu merupakan kodrat alam atau ketentuan dari Tuhan,” tambahnya.
Hal tersebut juga dibenarkan penulis buku Calabai, Saprillah, ia mengungkapkan orientasi seksual merupakan takdir Tuhan yang tidak bisa dihadirkan sendiri, “artian orientasi seksual seseorang tidak bisa dihakimi, yang bisa dihukumi ketika seseorang itu mengekspresikan orientasi seksualnya menjadi praktik,” tuturnya.
Meskipun calalai, calabai, dan bissu memiliki populasi yang rendah. Tapi tidak menjadi penghalang bagi mereka untuk memutuskan memilih menjadi bissu, calalai, atau calabai. Mengenai hal ini, Saprillah menggambarkan tak ada penolakan atasnya. Masyarakat Bugis sudah menganggapnya sebagai tradisi kebudayaan dari para leluhur, sebelum Islam masuk ke tanah Bugis, “yang kita inginkan bagaimana membangun ruang kultur bersama, kita tidak boleh menghakimi,” tambah penulis buku Sejarah Sosial Masyarakat, Rongkong ini.
Kini, beberapa komunitas bissu dapat dijumpai di wilayah administratif Kabupaten Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Pinrang, Sidrap, Makassar dan Pare-pare.
Menilik Peran Bissu
Ada yang menarik dari salah satu kelima gender ini, yakni bissu, yang dilabelkan sebagai manusia suci. Dikarenakan, mereka terhindar dari segala hal yang kotor seperti kegiatan seksual, haid, dan tidak memiliki hasrat seksual.
Itulah mengapa bissu hanya berasal dari kalangan calabai. Dulunya, para bissu berperan sebagai penasihat, pengabdi, dan penjaga arajang yang merupakan benda pusaka keramat.
Tugas mereka diyakini sebagai kehendak penguasa gaib. Pusaka yang berupa tombak suci, keris, peti, dan benda-benda lainnya. Benda pusaka yang disebut arajang ini ditemukan di Posik Tana umumnya berupa buah-buahan, sebilah senjata, batu-batu, alat pertanian yang berbentuk aneh.
Biasanya, arajang disimpan di rumah Arajang yang disiapkan di dalam istana dengan satu kamar khusus yang disediakan. “Ada rumah khusus arajang yang disiapkan kerajaan dan bissu tinggal di rumah Arajang itu,” kata Ilham Mahasiswa Sejarah Kebudayaan Islam UIN Alauddin Makassar.
Pekerjaan utama bissu adalah melaksanakan beberapa upacara ritual keluarga. Baik yang bersifat kenegaraan, rumah tangga, maupun yang bersifat keagamaan. Di daerah Bugis lainnya, di mana para bissu berperan pada upacara kerajaan yang dilaksanakan untuk pusaka-pusaka kerajaan.
Upacara ini, mereka melebur ke dalam upacara untuk memanjatkan doa-doa, menjadi penyambung ke leluhur nenek moyang mereka. Meskipun, peran di masa lalu tidak sama dengan masa sekarang.
Seiring dengan berkembangnya zaman, eksistensi keberadaan bissu mengalami kemunduran. Apalagi semenjak Islam masuk dan penganutnya sebagian besar masyarakat Sulawesi-selatan.
Terlebih pada masa peralihan kekuasaan, bissu menjadi sasaran genosida dan diskriminasi karena dianggap musyrik. Pada periode awal setelah kemerdekaan, banyak pembantaian bissu yang dilakukan oleh kelompok DI/TII yang dipimpin Kahar Muzakkar dikenal dengan operasi Toba pada tahun 1966.
“Masa itu, rakyat takut pada gerombolan dan tentara. Karena tentara membakar semua padi penduduk pedalaman agar tidak diambil oleh gerombolan. Sedang gerombolan membunuh orang yang kedapatan melakukan upacara atau menyembah berhala,” Kata Angkong Petta Rala, dikutip dari buku Bissu.
Bahkan ketika orde lama ditumbangkan oleh rezim orde baru. Keributan yang menyoroti arajang dan pelaksanaan upacara mappalili terjadi di Segeri. Arajang bahkan hampir diganyang oleh salah satu ormas pemuda yang berkuasa saat itu.
Para bissu dan mereka yang dipercaya akan kesaktian satu dituduh penganut komunis atau anggota Partai Komunis Indonesia (PKI). Mereka dianggap tidak beragama, melakukan perbuatan syirik, dianggap penganut ajaran animisme.
Upaya Merawat Kultur
Dewasa kini, degradasi bissu juga dipengaruhi terhadap Stigma. Yah, stigma terhadap identitas gender di luar laki-laki dan perempuan masing-masing kerap mendapatkan stigma yang buruk di kalangan masyarakat, termasuk gender calabai dan calalai yang ada di Bugis Makassar. Stigma yang biasanya diberikan kepada mereka ucap Rijal, adalah manusia pembawa sial dan pembawa dosa.
“Status mereka dianggap status yang tidak jelas, bahkan juga dalam masyarakat, seperti yang dialami para bissu dan sering diceritakan oleh mereka. Mereka sering dikata-katai sebagai pembawa sial dan pembawa dosa,” kata Peneliti madya di bidang agama dan masyarakat itu.
Tetapi, para calabai dan calalai serta beberapa gender lainnya merespon dengan cara menunjukkan bahwa mereka adalah manusia biasa yang sama dengan manusia pada umumnya.
“Banyak bissu yang menjalankan haji, untuk menunjukkan bahwa mereka juga sebenarnya orang-orang yang saleh. Itu demi menghadapi stigma-stigma yang ada di masyarakat tentang mereka,” lanjutnya.
Seiring dengan berkembangnya zaman, istilah-istilah terkait transgender semakin banyak. Istilah yang populer sekarang adalah Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT).
Dengan hadirnya hal itu kata Rijal, masyarakat akan mengasumsikan bahwa kelompok gender ini ingin diakui keberadaan dan haknya, untuk melakukan perkawinan sesama jenis dan itu harus diakui.
“Hal itu muncul dalam asumsi masyarakat sehingga mereka semakin ditolak dengan isu itu,” katanya.
Sambung Rijal, para transgender perlu untuk memilah istilah untuk melabelkan diri mereka. Merefleksikan ulang strategi-strategi mereka untuk mendapatkan hak-haknya dengan tidak terlalu memakai istilah-istilah bahwa gerakan mereka berbau liberal. Cara-cara yang dilakukan mereka justru sebagai bentuk menghargai heteroseksual.
Meski demikian, Rijal menegaskan kelima gender ini haruslah dihargai keberadaannya, “karena pertama-tama adalah sesuatu yang ada sejak dahulu kala, identitasnya merupakan bagian dari masyarakat Bugis,” ungkapnya.
Perbedaan orientasi seksual kata Rijal, tidak melegitimasi untuk berhenti memandang manusia sebagai manusia. Mereka layak mendapatkan pendidikan, pekerjaan yang layak tanpa diskriminasi. Apalagi budaya Bugis memegang prinsip sipakatau, yang dimaknai sebagai memanusiakan manusia.
*Tulisan ini sebelumnya telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 118.
Penulis: Astiti Nuryanti/Nurul Annisatul Aina (Magang)
Editor: Nur Afni Aripin