Washilah – “Panggilan daeng adalah doa, harapan, impian dan cita-cita orang tua kepada anaknya. Nama tersebut akan selalu mengingatkan, bahwa nama besar tidak akan hilang dalam perjalanan sejarah Makassar, apalagi Gowa,” kata Direktur Utama Perusahaan Daerah Gowa, Dr Rahmansyah Daeng Sijaya.
Bagi Rahman, ada rasa bangga tersendiri memiliki gelar daeng. Ia menjelaskan, Daeng merupakan sapaan bagi kalangan bangsawan, hal itu dijelaskan di salah satu Lontara Latoa yaitu kitab yang ditulis oleh H M Mattulada dengan membahas mengenai strata kepemimpinan.
Seiring waktu, Daeng dalam perkembangannya masuk dalam tau maradeca tau deceng, atau kalangan menengah.
Sejak tahun 1990-an, dalam realitas sosial di Kota Makassar, Sejak tahun 1990-an, panggilan daeng mulai banyak dipakai sebagai sapaan terhadap tukang becak, pedagang sayur keliling, supir angkot dan sebagainya. Panggilan daeng khususnya di Kota Makassar, kini terjadi pergeseran makna, hal serupa yang terjadi pada panggilan mas atau bang untuk pelaku ekonomi ke bawah secara umum di Indonesia.
Dosen Jurusan Sejarah Peradaban Islam, Mustanning M Hum mengatakan, gelar daeng ini bersifat fleksibel, yang berarti siapa saja dapat memakainya, itu dikarenakan panggilan tersebut merupakan penghormatan kepada orang yang dituakan, “namun seiring berkembangnya zaman, mengenai siapa berhak diberikan gelar Daeng terjadi perkembangan, di mana penggunaannya tidak lagi kaku dan tidak ada hukum kebudayaan yang membatasi bahwa daeng itu hanya kalangan bangsawan saja.”
Berdasar pada hal tersebut, kini panggilan daeng tidak lagi memiliki batasan-batasan penggunaan pada kehidupan sosial masyarakat, karena sistem kebudayaan suku Makassar tidak cukup kuat mempertahankan penggunaan panggilan daeng yang semestinya. Pada akhirnya panggilan daeng kini menjadi ikonik sebagai sapaan dengan nilai-nilai kesopanan dan tata krama berkomunikasi yang menjadi ciri khas masyarakat di Kota Makassar.
Pemaknaan Panggilan Daeng
Setiap suku pada beberapa daerah memiliki budaya yang beragam sesuai dengan keunikannya, namun karena ada interaksi antar suku bangsa dapat mempengaruhi kebudayaan lainnya. Pada daerah Sulawesi Selatan, dengan berbagai suku bangsa seperti Suku Makassar, Suku Bugis, Suku Mandar dan Suku Toraja terikat oleh kesatuan budaya dan mempunyai sejarah kebudaan yang saling berhubungan satu sama lain.
Salah satu kebudayaan yang menjadi pembeda antar suku tersebut yakni panggilan yang telah menjadi kebiasaan. Khususnya pada daerah Gowa, Takalar, Bantaeng dan Makassar bahkan sampai pada daerah Maros dan Pangkep.
Daeng memiliki pemaknaan yang beragam. Jika menelisik sejarahnya, hal ini merupakan sebutan atau gelar bagi kalangan bangsawan, orang-orang yang dihormati dan orang-orang dituakan dalam sosial masyarakat suku Makassar.
Kemudian daeng juga bisa berupa nama yang diberikan kepada orang tua kepada anaknya, sebagai penghambaan nama Allah SWT, perwujudan dari doa dan pengharapan anak tersebut nantinya dapat menjadi anak yang baik.
“Seperti teman saya daeng Fuji, dia sering dipanggil dengan nama daeng-nya karena itu adalah doa dan harus dilestarikan, makanya di keluarganya itu selalu dipanggil dengan nama daeng-nya hanya kami (temannya) saja yang memanggil dengan nama aslinya,” kata Mustanning menyambung.
Pada makna lainnya, daeng menjadi julukan atau penghargaan terhadap seseorang yang memiliki ciri khas atau kelebihan yang dia tunjukkan sehari-harinya. “Intinya adalah sapaan penghormatan kepada Allah adapun diikuti kata sifat atau fisik. Contohnya Daeng Matanre dari gambaran fisiknya orangnya tinggi dan bersifat kepemimpinan yang asal usulnya diberikan dari keluarganya.” paparnya.
Pemberian Gelar Daeng
Abdul Majid Daeng Rewa, salah satu masyarakat yang memiliki gelar daeng bercerita pada masa Kerajaan Gowa, gelar daeng hanya dipakai untuk anggota kerajaan dan juga anak-anak dari selir raja.
Tetapi, sekarang telah digunakan masyarakat umum meski tidak memiliki garis keturunan bangsawan
Anggota Kerajaan Gowa, Aswin Daeng Gassing yang masih tercatat sampai saat ini mengatakan, cara lain orang bisa menggunakan gelar daeng yaitu dengan menggunakan gelar leluhurnya di mana memiliki ciri khas yang mirip.
”Gelar daeng sekarang sudah dapat digunakan saat mulai akil baliq, kalau sudah umur 17 tahun digunakan. Itu pun tidak lepas dari nama-nama leluhurnya karena harapan nama leluhur yang baik tentunya,” tutur Aswin Daeng Gassing.
Begitu pula pada masyarakat yang bukan merupakan asli Makassar-Gowa juga dapat menggunakan gelar daeng dengan cara menikah dengan orang asli Makassar atau Gowa, “Misalnya suaminya orang sini (Gowa) kemudian anda orang luar (Enrekang), itu adalah sebuah penghormatan untuk kita dan sebagai nama panggilan di lingkungan baru,” pungkasnya.
*Tulisan ini sebelumnya telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 117.
Penulis: Heni Handayani/Fikri Mauluddin
Editor: Nur Afni Aripin