Mendaras Penamaan UPT Perpustakaan Syekh Yusuf

Facebook
Twitter
WhatsApp
Foto Syekh Yusuf, Sumber : Tempo.com

Washilah – Pada 2016 Bupati Gowa Adnan Purita Ichsan meresmikan perpustakaan UIN Alauddin, melalui kesempatan itu pula Muh. Quraisy Mathar yang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan menyematkan nama Syekh Yusuf sebagai nama Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan UIN Alauddin Makassar.

Menurut Quraisy Mathar, penamaan ini terinspirasi dari perpustakaan universitas-universitas lain yang mengambil nama dari tokoh pahlawan nasional atau daerah sebagai nama untuk perpustakaan.

“Saya awalnya melihat kampus-kampus lain yang ada di Makassar sudah menggunakan nama tokoh sebagai nama dari perpustakaannya, seperti UMI yang menggunakan nama Ustman bin Affan dan UNHAS yang menggunakan nama Hasanuddin,” jelas Quraisy Mathar saat diwawancarai pada Rabu (07/07/2021).

Berangkat dari hal itu, sutradara melawan takdir ini memilih nama Syekh Yusuf sebagai nama perpustakaan, dikarenakan Ia adalah Tokoh literasi lokal pada masanya dan pahlawan nasional di beberapa negara.

Mengenal Syekh Yusuf Lebih Dekat

Abad ke XVII (1605 M) kerajaan Gowa-Tallo mulai menerima keberadaan Islam. Peristiwa besar penerimaan Islam tersebut ditandai dengan kedatangan tiga orang datuk (Datuk Tallua) dari Minangkabau ke wilayah kekuasaan Raja Gowa.

Setelah kerajaan Gowa-Tallo resmi memeluk Agama Islam sebagai Agama kerajaan. Kerajaan ini menjadi sentra penyebaran agama Islam di kawasan Indonesia Timur, banyak kerajaan Pasai dan sahabat yang memeluk Agama Islam berkat syiar Agama yang digaungkan kerajaan Gowa-Tallo. Pada pertengahan abad XVII kerajaan Gowa telah menjadi patron dalam mencetak kader ulama di kawasan Indonesia Timur, banyak ulama-ulama penyadur Islam yang berasal dari tanah Gowa, salah satunya adalah Syekh Yusuf Al-Makassari.

Tuanta ri Salama Gowa Syekh Yusuf Al Makassari atau Muhammad Yusuf ini lahir di Moncongloe, Gowa Sulawesi Selatan pada tanggal 3 juli 1627 M atau 8 Syawal 1036 H dari putri Gallarang Moncongloe. Dibesarkan di istana dan diangkat oleh Raja Gowa sebagai Anak angkat setelah Ibunya yang bernama Siti Aminah menikah dengan Raja Gowa Sultan Alauddin.

Di dalam istana, Yusuf kecil bersama putri dari permaisuri Sultan Alauddin mendapatkan pendidikan agama, yaitu belajar mengaji kepada guru kerajaan Daeng Ri Tasammang. Syekh Yusuf juga belajar tentang Fiqih, Tauhid, Tasawuf kepada Sayyid be Alwi bin Abdullah Al – Allamah Al-Athahir. Karena belum puas dengan ilmu yang didapatkannya, Ia melanjutkan perjalanan mencari ilmu ke tempat lain yaitu Cikoang Takalar, dan di Makassar kepada Jalal al- Din al-Ayid.

Setelah itu beliau melanjutkan perjalanan lagi untuk mencari ilmu ke Banten. Di Banten, Ia belajar agama dan menjalin persahabatan dengan Sultan Ageng Tirtayasa. Banten pada saat itu merupakan pusat Islam yang sangat penting di Jawa. Pada masanya, Banten mencapai puncak kejayaan.

Kemudian beliau ke Aceh untuk bertemu Syekh Nuruddin Hasani- al- Raniri. Syekh Yusuf juga melanjutkan pendidikannya ke Timur Tengah, perjalanan mencari ilmu di Timur Tengah Syekh Yusuf memulai di Negeri Yaman. Syekh Yusuf berguru kepada Muhammad bin Abd al-Baqi al-Mizjaji al-Naqsabandi dan mendapatkan ijazah tarekat Naqsabandiyah. Setelah itu, beliau melanjutkan perjalanannya ke Mekkah. Rampung menyelesaikan pendidikannya Syekh yusuf kembali ke tanah air.

Pada tahun 1966 Syekh Yusuf tiba di Banten. Saat itu kerajaan Banten diperintah oleh Sultan Ageng Tirtayasa, sahabatnya. Di Banten, Ia mendengar bahwa Gowa telah luluh lantah dikarenakan perjanjian Bungaya. Keadaan Makassar yang porak-poranda setelah perang Makassar membuat Syekh Yusuf mengambil keputusan untuk tidak kembali ke Makassar dan menetap di Banten. Hal ini disambut baik oleh Sultan Banten yang kemudian mengangkatnya menjadi penasihat kerajaan Banten.

Pada tahun 1672, saat itu Banten tengah gigih melawan VOC Belanda. Permusuhan meruncing sampai akhirnya meletus perlawanan bersenjata antara Sultan Ageng dan Sultan Haji. Syekh Yusuf berada di pihak Sultan Ageng. Karena kekuatannya tidak sebanding, pada tahun 1682 Banteng menyerah kepada Belanda. Setelah itu, Syekh Yusuf menjalani hidup dalam masa pembuangan. Syekh Yusuf ditahan di penjara Batavia selama 6 bulan, beliau dijaga ketat oleh tentara Belanda agar tidak berkomunikasi dengan penduduk karena pengaruhnya yang besar. Namun, pemerintah Belanda masih merasa terancam dengan pengaruhnya sehingga Syekh Yusuf diasingkan ke Sri Lanka pada September 1684.

Selama sembilan tahun Syekh Yusuf di Sri Lanka, selalu saja Belanda mencurigainya, seperti dicurigai menghasut pemberontakan rakyat di Hindia. Belanda berencana mengasingkan kembali Syekh Yusuf lebih jauh ke Cape Town, Afrika Selatan. Salah satu alasan pengasingan Syekh Yusuf adalah karena adanya persekutuan antara pemerintah Minangkabau, Aceh, Sunda, Mataram, Kalimantan, dan Andalas Timur melawan Belanda. Pihak Belanda mengira bahwa biang keladinya adalah Syekh Yusuf, sehingga kemudian diasingkanlah Syekh Yusuf ke Afrika Selatan.

Juli tahun 1693, Syekh Yusuf disertai 49 pengikutnya diasingkan ke Tanjung Harapan Afrika Selatan naik kapal De Voetboog. Mereka ditempatkan di daerah Zandvliet dekat pantai, tempat ini dikemudian hari dinamakan Makassar.

Kedatangan Syekh Yusuf sebagai seorang tahanan politik di Afrika Selatan disambut dengan keramahan oleh Gubernur Willem Adriaan yang menghormatinya, tidak seperti tahanan buangan yang datang pada tahun-tahun sebelumnya. Peranan Syekh Yusuf di Afrika Selatan adalah pertama-tama memantapkan pengajaran agama kepada murid-muridnya.

23 Mei 1699 pada usia 73 tahun, enam tahun setelah pertama kalinya menginjakkan kaki di Afrika Selatan, Syekh Yusuf wafat dan dimakamkan di daerah pertanian Zandvliet, di distrik Stellenbosch. Belanda lalu menyampaikan berita duka itu kepada Sultan Banten dan Raja Gowa.

Kedua pemimpin itu minta agar jenazah Syekh Yusuf dikembalikan dari Afrika Selatan, tetapi pihak Belanda tidak menghiraukannya, baru pada zaman pemerintahan Raja Abdul Jalil tepatnya tahun 1704, pemerintah Belanda mengabulkan permintaan tersebut. Pada tanggal 5 April 1705, kerandanya tiba di Gowa, lalu dimakamkan di Lakiung keesokan harinya. Hingga sekarang Syekh Yusuf tetap dihormati dan dikeramatkan oleh rakyat Indonesia dan Afrika Selatan sebagai seorang ulama besar tasawuf asal Nusantara.

***

Membenarkan pernyataan Quraisy Mathar, Kepala Perpustakaan Syekh Yusuf UIN Alauddin Makassar saat ini, Hildawati Almah mengungkapkan nama perpustakaan Syekh Yusuf disematkan oleh Muh.Quraisy Mathar yang menjabat sebagai Kepala Perpustakaan sebelumnya.

“Sebenarnya perpustakaan UIN Alauddin ini sudah berdiri sejak tahun 1966, sejak masih di kampus I, setelah pusat kampus dipindahkan ke Samata, perpus ini juga berpindah. Digunakan kembali tahun 2010 dan penamaannya diberikan oleh Kepala Perpus sebelum saya, pak Quraisy Mathar,” ungkapnya saat ditemui di ruang kerjanya, Senin (28/06/2020).

Bunda Hilda, sapaan akrabnya, menceritakan, koleksi yang disediakan perpustakaan yang dikepalainya saat ini mencapai 22.954 judul buku dengan 55.815 eksemplar, serta telah merambah dunia digital dengan beragam topik dan genre.

Di sisi lain Quraisy Mathar mengklaim, perpustakaan Syekh Yusuf merupakan perpustakaan pertama yang telah terakreditasi A se-Indonesia Timur pada tahun 2019. Banyak dari mahasiswa terkhusus mahasiswa UIN Alauddin Makassar yang sering membaca dan menjadikan tempat ini sebagai lumbung intelektualitas terkait materi perkuliahan ataupun referensi lainnya.

Saat ini Perpustakaan Syekh Yusuf UIN Alauddin telah berkembang baik dari segi bangunan dan kualitas layanan, demi memberikan kenyamanan kepada para penggunanya dan akan berkembang lagi seiring bertambahnya tahun.

Penulis : Yopi Yolandasari, Ai Syintia

Editor : Ardiansyah

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami