Cerpen Oleh Nur Afni Aripin
Aku mengalah pada takdir, pada kebetulan-kebetulan yang kerap berakhir mengecewakan
Aku menyerah pada keadaan, pada situasi yang kerap membuatku terpuruk
Aku mengalah pada waktu, pada tiap-tiap detik yang membuatku tertinggal terlalu jauh
Aku mengalah pada dunia, pada manusia-manusia keparat yang membuatku tumbuh menjadi bajingan, (Juni 2021).
Sabtu sore, di pertengahan bulan Juni yang amat terkutuk. Disusul suara auman petir menggelegar saling bersahut-sahutan. Gemercik hujan membentur atap, turut menciptakan suasana mencekam.
Sudah beberapa hari sejak memasuki bulan Juni, Kota Makassar yang semula hangat kini tidak lagi. Tiap harinya, matahari tampak buram. Sementara sewaktu-waktu semilir angin mengenyahkan segala sesuatu yang tak segan menantangnya.
Di balik rinai hujan yang menarinari merintangi jarak pandang. Samarsamar dari arah kejauhan tampak seorang gadis tengah terisak pilu. Langkah kakinya berjalan gontai.
Berkali-kali Ia memukul dadanya. Berusaha menumpahkan segala rasa sesak yang tak lagi bisa dipendamnya. Ia tak tahu menahu harus melakukan apa atas kejadian yang menimpanya beberapa jam yang lalu. Pikirannya buntu.
Andin memang sudah berusaha sekuat tenaga menggeliat memberontak. Namun, apa daya tenaganya tak bisa melawan pria yang dua kali lipat besar melebihi tubuhnya sendiri. Ketika satu-persatu pakaiannya ditanggalkan, suaranya bagai tertahan di tenggorokan.
“Bajingan,” pekiknya dengan isak tangis pilu.
Embus napas dingin, darahnya seolah berhenti mengalir. Detak jantungnya tak lagi beraturan. Berkali-kali perempuan dengan bibir ranum itu menggeleng. Pertanda memohon agar pria yang sudah dikuasai nafsu birahi itu menghentikan aksinya. Namun apa dikata, sang pria hanya menyeringai bangga, sementara Andin hanya bisa menangis pasrah. Tubuhnya seolah hendak meledak.
Separuh masa depannya, kini telah direnggut paksa oleh laki-laki yang barang tentu bukan baru Ia kenali. Sosok laki-laki yang menjadi cinta pertamanya. Laki-laki yang seharusnya melindungi dirinya dari getirnya hidup.
Sialnya, mahkota yang Ia jaga setengah mati dihancur leburkan oleh Ayahnya sendiri dengan keadaan setengah sadar. Kejadian yang sungguh sulit diterima oleh akal sehat.
Anehnya, takdir kerap menyuguhkan kebetulan-kebetulan yang berakhir mengecewakan.
Tak ada tempat mengadu, perlahan Ia merasa diasingkan oleh realitas. Ibunya bahkan hanya bisa menunduk lemas ketika mendengar pengakuan Andin, atas apa yang telah dilakukan suaminya terhadap anak kandungnya sendiri.
Bukan tak ada niat untuk membalas. Hati Ibu mana yang tak perih ketika mengetahui anaknya menjadi korban pelecehan seksual. Perempuan yang kini memasuki usia senja itu,rasanya ingin mencabik-cabik wajah pria yang telah Ia nikahi selama 40 tahun.
Namun apa mau dikata, ia mengenal suaminya sebagai sosok bajingan dengan temperamen kasar. Meski melapor ke polisi menjadi pilihan yang barang tentu menjadi solusi terbaik, namun Ibu Andin teralu takut, pikirannya kalut terbayang dengan sosok suaminya yang tak segan bermain tangan, seolah mencekal keinginannya. Baginya, hal itu akan menjadi bom waktu yang sewaktu-waktu bisa meledak kapan saja.
Apa kata orang jika mereka tahu anak semata wayangnya adalah korban pelecehan seksual. Tak akan ada dukungan yang ia peroleh. Sebaliknya, keluarganya hanya akan dipandang aib. Dan hal itu sama saja melukai harga dirinya.
”Andin, sabar yah, nggak usah lapor polisi, nanti jadi omongan tetangga,” tutur Ibu Andin berusaha meyakinkan anaknya untuk mengalah pada keadaan. Andin hanya bisa terperangah mendengar penuturan Ibunya. Lengkap sudah penderitaannya.
Ia benar-benar tak percaya pada apa yang dikatakan Ibunya sekarang. Dengan langkah getir, Andin berlari keluar rumah.Membawa segala rasa kekecewaan yang melebur dengan rasa amarah.
Ia memilih menjadi perempuan bebas seutuhnya, tanpa perlu berada dibawah kendali pengaruh orang lain untuk sekedar melakukan apa pun yang disukainya.
Ironi memang, sebagai mahasiswa tahun ketiga di salah satu kampus Negeri di Makassar. Andin dengan pengalaman seksual yang memilukan dipaksa untuk pulih dengan puzzlepuzzle cerita yang Ia rengkuh sendiri untuk dipendam.
Hampir tiga hari hidupnya terluntang-lantung di jalan. Sebelum takdir mempertemukannya dengan Aqil yang membuatnya berani mengambil keputusan di luar nalar, bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK).
Konsekuensi dari pilihannya membuatnya lebih banyak menghabiskan waktunya di trotoar jalan. Polesan makeup tebal kontras dengan baju minim yang selalu diseragamkan dengan warna bibirnya. Seolah memberi warna baru dalam hidupnya. Meski sewaktu-waktu semilir angin malam bahkan kerap menyeruak menyusup hingga ke sum-sum tulangnya.
Mulanya, Ia menggeluti pekerjaannya hanyalah untuk uang. Lambat laun Andin menikmatinya. Setiap tubuhya disentuh oleh puluhan pria yang tak dikenalinya, membuatnya semakin hancur lebur dan menjadi candu baginya.
Sementara belaian jemari yang melenggang manja menikmati tubuhnya seolah meruntuhkan rasa malu dan rasa hina yang meranggas dan bersarang dihatinya selama ini. Ia seolah menemukan cara baru memaafkan luka lama yang diciptakan Ayahnya sendiri.
***
Siang itu, setelah hujan reda, Andin berpapasan dengan Syanah di Koridor Kos. Seperti biasa, Andin melemparkan senyum manis pada sahabatnya. Perempuan yang baru dikenalinya beberapa bulan belakangan ini. Gadis lugu yang kerap membuat tawa Andin merekah. Menjadi obat penenang kala dirinya merasa kecewa.
Namun kini, entah kerasukan setan apa, kepribadian Syanah mulai berubah. Menjadi sosok gadis menyebalkan yang membuat Andin kewalahan menghadapinya. Senyumnya seolah luntur dan tergantikan oleh wajah ketus dengan sorot mata tajam yang selalu disuguhkan Syanah terhadapnya.
“Malukah Ia mengetahui bahwa sahabatnya adalah seorang pelacur?” tanya Andin pada dirinya sendiri, berusaha menerka. Dengan perasaan cemas dan ragu, Andin bertanya untuk sekedar memastikan.
“Kau membenciku karena aku pelacur?” suaranya lantang, setelah mendapatkan keberaniannya. Suara itu memecah belah keramaian di Kos, sementara Syanah hanya mendengus kesal dan melewatinya.
Sorot matanya tajam menatap Andin, seolah tersemat kalimat umpatan yang siap menerkamnya kapan saja.Sungguh, Ia benci tatapan itu. Bukan tatapan rasa belas kasih.
Tapi, tatapan seolah direndahkan. Hal itu melukai harga dirinya sebagai manusia. Raganya seolah dihina, sungguh.Ia tak suka diperlakukan layaknya binatang jalang.
Sudah hampir seminggu sahabatnya tak menyapanya lagi, Ia merindukan sosok Syanah yang dikenalinya sebagai gadis ceria dan ramah.
Barangkali dikatai sebagai perempuan murahan, lonte atau bahkan wanita jadi-jadian. Sudah beberapa kali diterimanya. Dan tak ada masalah apapun untuk itu, toh Andin tak peduli pada apa yang dikatakan oleh orang lain tentang dirinya sendiri.
Biarkan manusia berasumsi dan berperang dengan pikirannya sendiri. Beban hidupnya sudah lebih dulu menguras emosi, pikiran, dan tubuhnya.
Barang tentu tak mungkin meladeni satu persatu puluhan pasang mata yang menatapnya sinis setiap harinya. Ia bahkan tak punya kuasa untuk menyumpal satu persatu mulut yang kerap menghajarnya dengan kata-kata sarkas mengenai pekerjaannya.
Baginya juga percuma, Ia punya sepasang telinga yang selalu siap diajak berkompromi. Menyaring makian untuk hal-hal yang memang tak perlu didengar. Ini negara demokrasi, semua orang punya hak untuk mengeluarkan pendapat, kita juga punya hak untuk menutup kuping rapat-rapat sekadar menyelamatkan diri, layaknya pemerintah bukan?
Sialnya saat Syanah, sahabatnya sendiri mengatai hal serupa. Entah mengapa hal itu menyinggung perasaannya. Hatinya turut tercabik. Bukankah acapkali luka yang menancap sempurna menggerogoti tubuhmu, selalu saja berasal dari orang terdekatmu? Seolah setiap luka lebam membiru adalah produk yang berasal dari orang yang kita sayangi, bahkan tak disangkasangka. Sakitnya bukan main dan selalu saja membekas. Air matanya perlahan jatuh.
“Hinahkah menjadi seorang pelacur?” tanya Andin dengan suara lemah nyaris tak terdengar.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?” Aqil bertanya balik, sementara Andin menggeleng . Ia menyesali apa yang baru dilontarkannya kurang semenit yang lalu.
“Tak ada hal yang paling buruk ketika kau tak ingin menjadi dirimu sendiri, Din,” timpal Aqil kembali yang sukses membuat Andin tersentak.
***
Jarum jam sudah menunjukkan pukul 03:00 dini hari. Namun entah mengapa kedua pelupuk mata Andin tak juga terpejam. Bayangan sorot mata tajam Syanah dan ucapan Aqil layaknya berkolaborasi sukses memporak-porandakan isi kepalanya.
Betulkah kini pelacur adalah bagian dari dirinya sendiri? Bukankah Ia menggelutinya hanya sebagai profesi saja dan dijadikan sebagai jembatan untuk meraih kesenangannya. Pekerjaannya kerap membuatnya tertawa lepas. Dan tak akan Ia temukan ditempat lain termasuk diorang lain.
Setidaknya dia masih tetap menjadi dirinya sendiri. Meskigadis anggun yang kerap dilabeli orang-orang terhadapnya, kini sudah tidak lagi. Semuanya berubah, setelah kejadian yang merusak mahkotanya terjadi.
“Ahhkk,” keluh Andin.
“Siapa yang menginginkan menjadi pelacur selain dirinya sendiri,” ucapnya dalam hati.
Perlahan ingatan suram tentang kejadian silam kembali menyeruak menjangkau memori otaknya. Kontras menciptakan luka lebam baru. Dunianya seolah menjelma menjadi hamparan tanah yang mengeringkerontang. Ia berusaha menafikan, bahwa rentetan kejadian yang merenggut paksa masa depannya adalah kenyataan pahit yang harus diterimanya. Berkali-kali tamparan tangannya mendarat dipipinya sendiri. Tubuhnya bahkan Ia benturkan kedinding kamar kosnya,dinding yang tampak mulai usang termakan usia. Ia berusaha menyadarkan dirinya sendiri.
”Brukkk” tubuhnya jatuh terkulai lemas, terpental tepat di lantai kamarnya.
Seperkian detik, Andin kemudian membuang nafasnya dengan kasar. Benarkah menjadi pelacur murni keinginannya sendiri? Atau hanya sekadar tuntutan dendam yang perlu dibayar tuntas? Dengan menggadaikan moral beringas yang dilampiaskannya melalui gairah seks.
Bukankah kini dirinya adalah korban dari beringasnya dunia. Namun mengapa melukai dirinya sendiri menjadi candu baginya. Kini
Ia bahkan tak tahu harus melakukan apa. Tak ibakah dia dengan dirinya sendiri.
Sampai kapan Ia harus hidup dibalik bayang-bayang karut-marut hidup. Terpenjara sepi dalam kungkungan penderitaan, menganggap dunianya baik-baik saja. Sementara tubuhnya kian rimpuh menerima luka yang sama setiap harinya.
Kehidupannya suram dan dipenuhi dusta, Ia lelah menyimpan rahasia besar yang membuat batinnya kian terguncang. Terlebih kini Ia tengah berbadan dua, sementara tak ada siapa-siapa disampingnya.
”Tuhan, izinkan aku beristirahat dengan damai,” lirih Andin. Tangan kanannya kemudian meraih sebilah pisau, kemudian dipakainya menikam lehernya sendiri. Kini Ia bersimbah darah yang perlahan menjalar merengkuh tubuhnya. Bau amis berpendar ke penjuru memenuhi ruang kamar. Ia memilih berdamai dengan dirinya sendiri dengan jalan yang tak disangkasangka pula.