Washilah – Kasus pelecehan seksual berbasis online memasuki babak baru. Korban tak kunjung dapat pemulihan psikologi dari kampus, selain itu korban laporkan kasus kekerasan seksual ke Polda Sulsel tanpa dampingan pihak kampus.
Minggu 27 September 2020, dua orang perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (APIK) Sulawesi Selatan selaku kuasa hukum dampingi para korban melakukan pelaporan atas kiriman video dan video call cabul yang mereka dapatkan dari orang yang tidak mereka kenal ke Polisi Daerah ( Polda) Sulsel.
Setelah sampai di Polda Sulsel Nurhikmah sebagai wakil LBH APIK, dua orang korban, pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dan pengurus Dewan Mahasiswa di UIN Alauddin memasukkan berkas jejak kekerasan online yang dilakukan oleh pelaku.
Pengurus Himpunan Mahasiswa Jurusan berusaha menghubungi salah satu korban berinisal IT yang juga dikirimi oleh pelaku video pelaku sedang beronani. TA salah satu korban yang di video call pelaku mengatakan saat itu kawannya IT sedang mengalami trauma “Iyee trauma sekaliki dia, jadi susah sekali diajak datang melapor,” ucapnya.
Karena trauma, IT takut untuk melakukan pelaporan, Nurhikmah juga berusaha meyakinkan IT untuk hadir dan melakukan aduan dan ahirnya IT bersedia melakukan aduan bersama korban lainnya termasuk TA, lalu aduan ditindak lanjuti ke satuan Ciber Crime Polda Sulsel.
Nurhikmah membenarkan kedatangan mereka belum bisa diterima sebagai pelaporan oleh polisi, karena kurangnya bukti dan korban yang datang melapor.
“Untuk sementara statusnya masih pengaduan di Polda. Kita masih menunggu hasilnya, untuk ditingkatkan ke laporan polisi,” ucapnya.
Saat ditanya mengenai apakah sebelumnya korban pernah diberikan pendampingan psikologi oleh kampus, perempuan yang akrab disapa Ime tersebut mengatakan korban belum pernah mendapatkan pendampingan.
“Sebelum mereka datang ke LBH APIK, mereka belum mendapatkan pendampingan secara hukum terkait kasus yang mereka alami oleh pihak manapun. Sehingga mereka berinisiatif untuk melalukan pengaduan pada lembaga kami, yaitu LBH APIK Sulsel,” ucapnya
Nur Hikmah atau Ime juga menambahkan secara psikologis para korban masih dalam trauma pasca pelecehan menimpa.
“Secara psikologis, para korban mengalami traumatik. Ada ketakutan saat nomor kontak baru yang menghubungi, mereka mengaku takut untuk menjawab panggilan pasca adanya video call seksual tersebut,” tutupnya.
TA, korban pelecehan video call mengaku dirinya masih trauma pasca kejadian tersebut karena lingkungan yang belum mampu mendukungnya.
“Saya masih trauma dengan kejadian ini, orang-orang di sekitar belum bisa dukungka. Bahkan ada juga yang bilang hal-hal yang seharusnya tidak mereka tanyakan ke saya seperti: jadi sudah mako liat ini? tertuju pada alat kelamin pelaku saat melakukan video call,” ucap TA.
Merujuk Keputusan Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Nomor 5494 Tahun 2019, keputusan tersebut merupakan Pedoman Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan Seksual di lingkup Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Dalam Keputusannya Dirjen Pendis membahas Prinsip dan Standar Penanganan Korban kekerasan seksual, antaranya: kampus menyediakan layanan pengaduan, tempat tinggal sementara, layanan medis dasar, bantuan hukum, layanan psikologi, penguatan spiritual, penguatan keluarga dan masyarakat (reintegrasi sosial) bagi para korban. Kemudian kampus menyediakan SDM atau petugas yang mendampingi korban dalam mengikuti proses yang diperlukan.
Kampus menyediakan sarana prasarana seperti kantor, ruang pengaduan, dan transporstasi dalam pelayanan korban. Juga kampus harus menyediakan anggaran yang memadai untuk penanganan korban.
Selain membahas mekanisme pelayanan korban, Dirjen Pendis juga memberikan tanggung jawab Monitoring dan Evaluasi Kasus pelecehan seksual kepada Dewan Etik, Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA), Pusat Studi Gender (PSG), Pusat Studi Wanita (PSW) dan dibantu Wadek III dan Vocal Point Gender pada tiap-tiap Fakultas.
RA salah satu saksi kasus pelecehan yang juga dihubungi oleh pelaku mengaku tindak lanjut yang dilakukan oleh Pusat Studi Gender dan Anak (PSGA) pasca trauma menimpa mereka hanya membuat grup WhatsApp untuk para korban dan pimpinan PSGA bersama Wakil Dekan III FDK. Dalam grup whats app para korban hanya mendapat pertanyaan mengenai kasus pelaporan mereka ke Polda Sulsel.
“Iya ada dibuat grup WhatsApp, pembahasan di grup diarahkan ke Wadek III dulu melapor sebelum ke LBH APIK sebagai korban, cuman nda melapor karena Ketua HMJ ku pergi melapor. Setelahnya bertanyami lagi pas melapor ke Polda didampingi sama LBH APIK atau tidak. Hanya begitu saja ndak ada lagi pembicaraan lain dari ibu,” ucapnya.
Selain itu pasca kasus Kekerasan seksual berbasis online menimpa mahasiswanya pada 18 september 2020 , Prof Darussalam Wakil Rektor bagian Kemahasiswaan dan Alumni dalam konfrensi pers yang dilakukan oleh pihak UIN Alauddin Makassar pada hari Rabu 29 September 2020 mengatakan telah membuat tim investigasi untuk kasus pelecehan online tersebut.
“Baru-baru ini kampus sudah membentuk Tim investigasi, guna mengumpulkan fakta dan data terkait kasus tersebut, tim ini diketuai langsung oleh Wakil Dekan III Fakultas Dakwah dan Komunikasi,” tuturnya.
WR III juga mengatakan jika kemudian hari terbukti pelaku KGBO dalam bentuk teror VCX tersebut bagian dari Civitas Akademika UIN Alauddin, maka akan dikenakan sanksi sebagaimana mestinya.
“Jika terbukti pelakunya Civitas Akademika UIN maka akan ada dua sanksi yang diberikan. Yang pertama sanksi dari pihak kampus, dan yang ke dua dipidanakan,” ungkapnya.
Penulis : M Shoalihin
Editor : Rahma Indah