Oleh | Miftahul Khaeriyah
Ma,
aku memang ditakdirkan keluar dari rahimmu sebagai generasi Kartini yang harus anggun mengangkat dagu dengan sanggul di kepalaku, yang harus santun bertutur,yang harus lihai mengepulkan asap di dapurku..
Ma, aku memang disuratkan menatap dunia sebagai generasi Kartini, yang harus menghapus peluh didahi suamiku, yang harus menjaga tutur ditiap cakap kepada imamku, yang harus menggantung langkah di ridha pencari nafkah ku.
Tapi Ma, jiwa ku berkobar menatap hitam asap ban terbakar, peluh ku siap untuk nafas-nafas sumbang yang tertindas, kepalaku menghadap langit menyuarakan hak-hak terampas. Tapi Ma, anakmu berdarah panas yang di dalamnya mengalir jiwa juang. Orasi adalah nyanyian merdu yg selalu kurindu, Hak-hak terampas adalah cahaya yang harus dibebaskan dari belenggu iblis bernafas api!
Tapi Ma, kau memandang kebaya sebagai belenggu, kau menilai santun sebagai penjara, kau menatapku tajam dan mengarahkan telunjukmu ke dapur, “disana takdirmu!”
Ma, bukankah Kartini adalah pejuang? yang menjadikanku bebas mengunyah bangku sekolah sebagai bentuk kebebasan?
Ma, bukankah selain bentuk kepatuhan, kebaya juga simbol wanita indonesia harus maju?
Ma, bukankah selain kesantunan, sanggul juga simbol wanita indonesia harus berpandangan luas?
berhenti cemas dan alot Ma, restui anakmu, ku ingin dunia dalam kepalan ku!
(.29 November 2013)