Oleh: Elang
Sebelumnya, saya menemui surat terbuka untuk kita semua. Dengan judul “Take a sad song and make it better”. Di hari yang lain, saya juga sedang menggarap surat terbuka, ditujukan pada tiap petinggi negara. Mereka ini lah yang bertanggung secara nstansi atas demokrasi dan dinamisasi negara, setiap instansi kenegaraan bertanggung jawab atas hal tersebut. Namun, untuk mempermudah, saya mempersempitnya kepada Rektor bersama pengampuh perguruantinggi-nya, juga kepada Kepolisian yang seringkali bertindak bodoh di lapangan.
Setelahnya, saya memilih melayangkan surat ini di udara. Menanggapi surat yang tempo hari ditujukan kepada kita semua.
Di surat terbuka, saya tidak menemukan identitas penulis surat. Maka dari itu, izinkan saya menyebut penulis surat tersebut dengan sebutan “Kawan”. Ini juga mempertegas posisi kita setara, tidak sebagai tuan dan budak, tidak sebagai tuhan dan hamba, bukan pula dalam posisi berlawanan seperti Rektor (baca: Jamaluddin Jompa dan Hamdan Juhanis) dan demokrasi, atau seperti aparat keamanan (baca: Polisi) dan martabat manusia.
Di surat tersebut, saya menemukan “Hey Jude” yang dicipta oleh Lennon McCartney. Tahun 1968, John Lennon dan Cynthia Lennon bercerai akibat perselingkuhan. Kita bisa menafsirkan lagu Hey Jude diciptakan untuk menenangkan Cyntia Lennon dan putranya, Julian. Surat ini, sebagai pertentangan saya dengan McCartney untuk menghadapi masalah yang ada. Kita tidak “begin to make it better (memulai untuk menjadi lebih baik),” tapi kita sedang berada padakekacauan, pada kehancuran, dan pada kediktatoran.
Kampus yang Diktator
Kau tau kawan? Kita sedang diperhadapkan pada perayaan kemerdekaan. Kemerdekaan yang gurumu kisahkan di sekolah yang kau ceritakan lewat suratmu, kemerdekaan yang dibanggakan Hasanuddin seperti nama kampusmu.
Tapi, bagaimana denganmu Kawan? Apakah kau merayakan kemerdekaan? Bukan perayaan simbolik pada hari senin yang kau ceritakan tempo hari di suratmu. Yang saya maksud adalahmerdeka.
Saya menemui kata merdeka serupa dengan Mahardika dari bahasa sansekerta. Semaknadengan kaya atau sejahtera atau kuat. Kawan, apakah kau telah tiba dengan kondisi itu?
Kawan, mereka memaknai merdeka dalam keadaan bebas dari penindasan, penjajahan,penghambaan, dan berbagai tekanan yang mengancam.
Saya tidak menemukan kau, saya, kita atau kami dalam keadaan itu kawan. Tempo hari saat hujan dan gelap tiba pada Jumat 29 November 2024, saya mendengar bagian dari kalian (mahasiswa Unhas) ditangkap secara membabi buta oleh polisi. 32 mahasiswa Unhas ditangkap oleh Polisi. Penangkapan itu akibat demonstrasi yang tempo hari kalian lakukan,demonstrasi itu dipicu oleh sikap tidak adil kampus yang masih membiarkan pelaku kekerasan seksual berada diantara kalian.
Bukankah itu sebagai ancaman?
Kawan, taukah kau? Di tempat lain, 27 orang mahasiswa UIN Alauddin ditangkap oleh kepolisian pada 5 Agustus 2024 lalu. Mereka ditangkap karena melakukan demonstrasi, bukan sekedar ditangkap, mereka dipukul dengan benda tumpul, disekap dalam ruang Polrestabes.
Setelahnya, 31 mahasiswa dihukum dengan dipotong masa pendidikannya. Mereka hanya menuntut dicabutnya Surat Edaran 2591, sebuah surat aneh dari Rektor. Tiada hujan, tiada badai, tiada perang, tiada wabah penyakit. Tanpa alasan yang jelas, Rektor mengeluarkan surat edaran membatasi demonstrasi. Surat tersebut mereka (mahasiswa UIN) anggap sebagaiancaman terhadap demokrasi.
Mereka memastikan lewat hukum hak menyampaikan pendapat lewat konstitusinya kawan. Lewat Pasal 28E ayat (3) UUD ;
“Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkanpendapat”
Hari ini, itu yang kita sepakati sebagai sebuah demokrasi. Tapi sepertinya, bagi mereka (Rektor Unhas beserta jajarannya) hal tersebut hanya guyonan belaka. Mereka bahkan memecat seorang dari kalian yang tempo hari ber-puisi mengkritik kebijakan kampus.
Bukankah itu ancaman terhadap demokrasi?
Situasi ini, saya membayangkan sosok Hitler.
Kawan, kau tau persamaan dua Rektor tersebut? Rektor menjelma diktator, biarlah kali ini saya mengambil contoh diktator Hitler. Kediktatoran Adolf Hitler di Jerman (1933–1945) adalah salah satu contoh rezim otoriter paling terkenal dalam sejarah modern. Hitler memimpin dengan cara yang sangat terpusat dan represif, menekankan kontrol total terhadap negara dan masyarakat melalui ideologi Nazi. Setelah menjadi kanselir, Hitler dengan cepat membubarkan oposisi politik dan melarang semua ideologi selain ideologi Nazi.
Hitler adalah seorang pembicara yang lihai, Hitler memiliki kemampuan agigator membakar semangat pengikutnya. Saya menemukan watak itu di beberapa pimpinan kampus.
Mereka (Rektor) bukanlah Hitler, tapi tidak menutup kemungkinan mereka bersikap selayaknya Hitler. Kawan, kita tidak akan tenang dengan keadaan itu. Mereka membungkam, kemudian menjadikan kita musuh utama masyarakat akibat kritik yang kita lontarkan.
Aparat Keamanan Sebagai Penjaga Kekuasaan
Dalam sistem kekuasaan (termasuk yang diktator) mereka mengerahkan alat pengamanan. Fungsinya untuk melayani dan melindungi kepentingan penguasa. Meminjam pemikiran Marx, negara termasuk militer adalah instrumen yang diciptakan oleh kelas penguasa untuk menegakkan kekuasaan mereka atas kelas tertindas.
Pada konteks Makassar, jika melihat fenomena demonstrasi yang dilakukan. Maka, hal tersebut berkepentingan dengan dua Rektor (baca: penguasa) pada kasus UINAM kita bisa mengklaim surat anti-kritik (SE 2591 beserta surat skorsing) untuk melanggenkan kekuasaan Hamdan Juhanis. Hamdan menolak untuk dikrtik.
Di tempat lain, surat pemecatan yang diterima oleh mahasiswa Unhas juga bentuk anti-kritik Jamaluddin Jompa. Mahasiswa yang berpuisi menyinggung sikap kampus merasa diganggu kekuasaannya.
Tindakan yang sama mereka lakukan, menggunakan kekuatan kepolisian untuk meredam demonstrasi kritik tersebut.
Tindakan kepolisian sama saja, mereka merendahkan martabat kita. Mereka dengan arogan melakukan penangkapan, seakan kalian adalah bersalah. Mereka juga merundung tim bantuan hukum yang tempo hari ingin mendampingi. Tanpa alasan jelas, mereka menuduh kalian bersalah. Mereka (baca Polisi) adalah alat penjaga kekuasaan.
Hari ini, dua unsur yang sedang merusak demokrasi terkhusus di Makassar adalah Rektor di dua perguruan tinggi di Makassar. UIN dan Unhas, mereka secara jelas mempertontonkan rusaknya demokrasi, padahal kita tau bersama. Dalam statuta perguruan mengusung Pendidikan Ilmiah dan Demokratis.
Saya yang bertanggung jawab atas surat ini. Niat hati, saya ingin menyurat secara resmi, kepada tiap Rektor atau penanggung jawab perguruan tinggi, kepada Kapolri beserta jajarannya, juga kepada tiap insan yang merasa punya tanggung jawab kepada demokrasi dan hak asasi manusia.
Bila mana Rektor atau penanggung jawab perguruan tinggi, atau Kapolri, atau Kapolda, atau Kapolres marah atas surat saya. Silah cari saya, nama saya ada di surat surat yang tempo hari saya masukkan, namun tidak ditanggapi dan diselesaikan oleh kalian. Tidak usah membredeli kawan kawan yang menyebar surat ini. Saya juga berani memastikan, tidak ada yang akan dirugikan dari surat ini. Saya juga berani memastikan, tidak ada tindak pidana yang saya lakukan. Surat saya dilindungi oleh undang undang maupun KUHP yang berlaku, saya yakin kalian sudah membaca aturan dan KUHP yang ada. Jika tidak punya KUHP atau sejenisnya, saya bersedia memberikan salinan aturan yang ada.
Kepada setiap Kawan, saya dan yang lain memilih bersama kalian. Kami tidak ingin berada pada posisi berlawanan, kami tidak akan memilih memihak kepada mereka yang rakus terhadap kekuasaan (baca Jamaluddin Jompa dan Hamdan Juhanis). Kami juga tidak akan memilih posisi yang sama dengan kepolisian, mereka tidak mengamankan ketertiban danhukum. Mereka lebih memilih menjadi alat kekuasaan. Kami siap membantu kawan yang berada di jalur kebenaran, jalur yang jauh dari penindasan.
Saya sedikit banyaknya sepakat dengan McCartney pada “Hey Jude, dont be afraid (Hey Jude, jangan takut)”. Silah bernyanyi, berdansa, tapi kita tidak mengamini keadaan yang dingin. Kita akan menemani bernyanyi dan berdansa bersama dengan api.
*Penulis merupakan alumni UIN Alauddin Makassar dan pernah mendaki gunung Bawakaraeng