Washilah – Peralihan sistem Lembaga Kemahasiswaan (LK) UIN Alauddin Makassar dari Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) ke Dewan Mahasiswa (Dema) pada tahun 2015 jadi babak baru demokrasi kampus. Pasalnya, hal itu turut memberi dampak bagi berubahnya sistem Pemilihan Mahasiswa (Pemilma).
Perubahan pemilu raya ke sistem keterwakilan sebelumnya telah diatur dalam Buku Pedoman Mahasiswa UIN Alauddin Makassar. Berlandas pada Keputusan Direktur Jenderal Pendidikan Islam (Dirjen Pendis) Nomor 4961 Tahun 2016 Tentang Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan pada Perguruan Tinggi Keagamaan Islam.
Wakil Rektor III Bidang Kemahasiswaan dan Alumni UIN Alauddin Makassar, Prof Darussalam, menjelaskan peralihan sistem pemilma tersebut juga buntut konflik yang terjadi saat pemilu raya silam hingga berakibat pada pembekuan Dema.
Sekarang, kata Prof Darussalam, mekanisme pemilma jelas dari berbagai aspek.
“Jika pemilu raya siapa yang bisa menjamin pemilih bisa hadir 15 ribu lebih. Karena harus 50 persen plus satu,” imbuh Mantan Dekan Fakultas Syariah dan Hukum itu.
Lebih lanjut, Guru Besar Politik Islam ini, mengatakan pemilihan tingkat Himpunan Mahasiswa Jurusan (HMJ) dipilih Ketua dan Sekretaris kelas.HMJ terpilih lanjut Darusalam, memilih Dema tingkat fakultas. Dema fakultas inilah nantinya memilih Dema Universitas
“Sistem pemilihan ini sifatnya demokratis berdasarkan perwakilan. Ada SK rektornya. Demokrasi itu harus berjalan dengan aturan, kalau tanpa aturan itu bukan demokrasi tapi otokrasi,” tambahnya.
Meski begitu, banyak pihak menilai sistem pemilihan keterwakilan ini kurang representatif. Ketua tingkat dan sekretaris kelas sebagai pemilik suara yang sah dalam memilih kandidat Ketua HMJ tidak mewakili suara satu kelas.
Kata salah satu Ketua Tingkat Fakultas Ushuluddin, Filsafat, dan Politik, Ria Mentari, saat pemilihan HMJ ia tak melakukan musyawarah dengan teman kelasnya.
“Saat itu masih tidak tauka saya apa-apa. Saya ikuti apa yang nabilang senior,” kata Mahasiswi semester tiga itu.
Sekretaris HMJ Ilmu Falak, Rahmat Ady Ullang, menilai pemilihan keterwakilan ini tidak cukup mewakili semua mahasiswa. Meski kata dia, Ilmu Falak sudah ada kultur Musyawarah Besar (Mubes). Pelaksanaannya tiap tahun, pemilihan ketua baru dilakukan di forum itu.
“Tapi pemilihan (periode 2022) kemarin terjadi perbedaan hasil Mubes dengan hasil LPP Lembaga Penyelenggara Pemilihan. Perbedaan itu terjadi, karena adanya intervensi harus memilih bakal calon di luar kesepakatan Mubes,” terang Mahasiswa semester tujuh tersebut.
”Lawan kandidat saya saat itu sebenarnya dia tidak siap maju. Tapi dia dipaksa pimpinan saja untuk maju jadi calon,” tutur Rahmat.
Berbeda di Ilmu Falak, lain halnya di Lembaga Kemahasiswaan (LK) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI). Semua HMJ menetapkan satu nama di Mubes, kata Ketua Senat Mahasiswa FEBI, Aswar, untuk dibawah mendaftar ke LPP sebagai calon tunggal dalam pemilma nantinya.
“Pemilihan teman-teman secara demokratis di Mubes, ” tutur Mahasiswa Jurusan Manajemen itu.
Dia beranggapan, sistem keterwakilan kurang representasi dan mudah diintervensi dari pihak yang tak bertanggung jawab.
“Cukup ideal ketika semua mahasiswa himpunan yang memilih karena bukan hanya ketua tingkat dan sekretaris kelas yang dipimpin tapi himpunan. Jadi, perlu semua terlibat dalam pemilihan,” kata dia.
Senada dengan itu, kata Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Chandra Langit Putri, pemilihan dengan sistem keterwakilan masih jauh dari kata demokratis.
Seharusnya kata dia, kampus kembali memberlakukan sistem pemilu raya sebagaimana negara saat melakukan pemilu. Mengingat dari tahun ke tahun, lanjut dia, pemilma selalu menghadirkan konflik karena sistem keterwakilan.
“Kalau melihat dari sisi demokratisnya, sistem keterwakilan adalah satu hal yang harus kita tolak bersama,”tegas Mahasiswa semester sembilan tersebut.
Meski sama-sama kampus Islam, sistem pemilihan di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta memakai sistem pemilu raya berbeda dengan UIN Alauddin Makassar yang masih memakai sistem keterwakilan.
Demisioner Ketua Komisi Pemilihan Umum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2022, Muhammad Sabilul Aslam, menyayangkan sistem pemilihan yang masih keterwakilan. Menurutnya, berada di negara yang menganut sistem demokrasi, seharusnya kampus menjadi tempat belajar berdemokrasi.
“Sistemnya masih keterwakilankan menyalahi demokrasi. Seharusnya, pemilu raya bisa menjangkau semua mahasiswa untuk memilih,” pungkas Aslam saat menjadi narasumber diskusi umum yang diadakan Washilah melalui Google meet, Kamis ( 22/09/2022).
*Tulisan ini sebelumnya telah terbit pada Tabloid Washilah Edisi 120
Penulis: Irham Sari dan Asrianto
Editor: Nur Afni Aripin