Pasang Surut Hubungan Kerajaan Bone dan Gowa dalam Tinjauan Historis

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi: Istimewa.

Oleh : Muh. Zulkifli

Kronik Kerajaan Bone dimulai dengan hadirnya Tomanurung yang bergelar Matasilompoé Manurungngé ri Matajang. Kekuasaan yang ada sebelum Tomanurung berada di bawah Pimpinan Matoa (tetua) yang terdiri dari tujuh wilayah.

 Setelah kehadiran Tomanurung, mereka bersatu dan mengangkat Tomanurung sebagai Arung Mangkau (Raja yang berdaulat) kemudian bergabung membentuk Kerajaan Bone. 

Sebelum kehadiran Manurungngé, negeri Bone mengalami masa kelam. Tidak ada yang namanya hukum dan yang kuatlah yang berkuasa. 

Di dalam lontara disebut sianre bale (saling memangsa). Karena manusia pada saat itu bagaikan ikan yang saling memangsa satu dengan yang lainnya.

Serupa dengan Kerajaan Bone, Kerajaan Gowa pada awalnya terdiri dari sembilan wilayah dengan nama Bate Salapang (Sembilan Bendera). Setelah kehadiran Tumanurung Bainea, sembilan wilayah tersebut bergabung untuk membentuk Kerajaan Gowa.

Perdamaian dan Peperangan

Kerajaan Bone dan Gowa menjadi dua dari tiga kerajaan utama yang ada di Sulawesi- Selatan disebut Tellu Bocco Cappagala.

 Ketika Bone melakukan perluasan wilayah ke arah selatan, sedangkan Gowa melakukan perluasan wilayah ke arah utara.

Dua kerajaan ini  sering terlibat pergulatan, baik secara diplomasi maupun secara militer. 

Pada awalnya, penyelesaian perluasan wilayah tersebut diselesaikan dengan damai dan terciptanya perjanjian. Peristiwa ini terjadi pada masa pemerintahan Raja Bone ke-6, La Ulio Boté’é dengan Raja Gowa ke-9, Daeng Matanre Tumapa’risi Kallonna.

Perjanjian ini dinamakan Sitettongenna Sudangngé Latéariduni ri Tamalate (Bersandingnya Sudang dan Latéariduni di Tamalate).

 Intinya, jika salah satu dari kedua kerajaan tersebut menghadapi masalah, maka yang lain harus ikut membantu menyelesaikan masalah kerajaan tersebut. 

Setelah puluhan tahun tercipta kedamaian di antara kedua belah pihak. Salah satu pihak kerajaan melanggar perjanjian tersebut, sehingga sering terjadi pergesekan.

 Pada masa Raja Bone ke-7, La Tenrirawé Bongkangngé (1560-1564), ia melakukan ekspansi ke wilayah Attasalo (selatan sungai) lalu menuju Tellu Limpo’e (wilayah Sinjai sekarang).  Bertemu dengan pasukan Kerajaan Gowa pada waktu itu dipimpin oleh Raja Gowa ke -11 Karaeng Data’ Tunibatta (1546-1565).

Mereka bertemu di sebuah bukit atau gunung. Pada saait itu, Raja Bone berkata, bulukumopa (gunung ini masih milik saya) yang kemudian hari menjadi Kabupaten Bulukumba. 

Pada masa Raja Bone inilah, Bone, Wajo, dan Soppeng, membentuk persaudaraan  yang disebut Tellumpocco’e (Tiga Puncak). Dalam rangka menghadapi kekuatan Gowa yang mulai mendominasi wilayah Sulawesi-Selatan pada masa itu.

Islamisasi dan Hegemoni Gowa

Proses masuknya Islam di Sulawesi-Selatan yang populer yang di bawah tiga datuk dari Minangkabau. Dimulai ketika Islamnya Raja Tallo Karaeng Matoaya, lalu mengajak keponakannya Raja Gowa, Daeng Manrabia, untuk memeluk agama Islam.

Setelah masuk Islam, Karaeng Matoaya diberi nama Sultan Abdullah Awwallul Islam dan Daeng Manrabia dengan nama Sultan Alauddin Awwallul Islam. 

Pada waktu itu, Sultan Alauddin ingin Islam tersebar ke kerajaan sekitarnya termasuk Kerajaan Bone. Sultan Alauddin mengajak Kerajaan Tellumpocco’e untuk memeluk Islam, tetapi mereka beranggapan ini hanyalah siasat politik Gowa dan menolak ajakan tersebut.

 Sehingga, Kerajaan Gowa memerangi ketiga kerajaan ini yang dikenal dengan istilah Musu Selléng (Perang Pengislaman). Soppeng berhasil dikalahkan dan diislamkan pada 1609 M.

Raja Bone ke-11, La Tenriruwa, sebenarnya menerima Islam. Tapi Ade’ Pitué (Dewan Adat Tujuh) dan rakyat Bone menolak Islam. Sehingga, La Tenriruwa dilengserkan dan digantikan oleh sepupunya, La Tenripale To Akkapéang.

 Pada masa La Tenripale, Bone dikalahkan oleh Gowa dan kemudian memeluk Islam dan menjadikan agama resmi kerajaan.

 Pada tahun 1640 M, yaitu pada masa pemerintahan Raja Bone ke-13, La Maddaremmeng yang menggantikan pamannya La Tenripale.

Beliau menekankan versi Islam yang lebih ketat di Kerajaan Bone. Ia mengeluarkan kebijakan yang melarang siapa saja dalam Kerajaan Bone untuk menyimpan dan menggunakan budak yang sejatinya tidak lahir untuk diperbudak.

 Seluruh budak yang orang tuanya bukan budak dilepaskan atau diberi imbalan pekerjaan. 

Namun, terjadi perlawanan karena kebijakan ini yang dipimpin oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri, We Tenrisoloreng.

 Beliau secara terang-terangan menolak jenis Islam yang diterapkan putranya dikarenakan terlalu sulit dan kaku. 

 Merujuk bahwa jenis Islam yang disukainya adalah yang diterapkan Kerajaan Gowa yang beraliran mistik Sufi. 

Gowa yang notabene adalah penyebar Islam ke kerajaan lainnya merasa tertandingi. Memang pada awalnya, penguasa Gowa hanya mengikuti perkembangan pergerakan La Maddaremmeng. Tetapi ketika La Maddaremmeng berusaha menyebarkan aliran Islamnya dengan memaksa Wajo, Soppeng, Massepe, Sawitto, dan Bacukiki, Gowa memandang ini bukan hanya persoalan agama tetapi hegemoni politik. 

Waktu itu, Gowa di bawah pimpinan Raja Gowa ke-15, Sultan Malikussaid. Kerajaan Gowa lalu menyerang Bone pada Tahun 1643 M dengan bantuan Wajo dan Soppeng. Perang berakhir dengan kekalahan Bone, La Maddaremmeng lalu ditawan. 

Pada tahun 1644 M perang kembali pecah antara Bone dan Gowa. Kali ini, Bone dipimpin adik La Maddaremmeng, La Tenriaji To Senrima. 

Hasilnya tetap sama, Bone berhasil dikalahkan. Akhirnya,Gowa  menurunkan status Bone dari palili (daerah bawahan) menjadi ata (budak) Gowa. 

Kerajaan Bone yang sering menjadi lawan berat Gowa, berhasil disingkirkan dan Gowa menjadi kekuatan utama di Sulawesi- Selatan.

Proses Membebaskan Diri

Setelah kalah dan menjadi budak dari Gowa, banyak bangsawan Bone diasingkan ke Gowa, salah satunya Arung Palakka yang menyertai kedua orang tuanya yang tawanan perang.

 Ibunya We Tenrisui menjadi pelayan di dalam istana yang mengurus dapur untuk menyiapkan makanan sehari-hari sang Karaeng. 

Arung Palakka kerap kali membawakan tombak pembesar Gowa ketika sedang melakukan perjalanan atau ketika berburu.

 Karaeng Pattingalloang mengangkat Arung Palakka sebagai pendamping serta mengajarkan pengetahuan adat-istiadat Istana Gowa. 

Setelah kematian Karaeng Pattingalloang, jabatan Tumabbicara Butta diemban oleh saudaranya, Karaeng Karunrung. 

Dialah yang mengeluarkan permintaan kepada Raja Gowa agar memerintahkan To Bala sebagai jennang (perwakilan) mengerahkan 10.000 orang Bugis, terdiri orang Bone dan Soppeng untuk melakukan kerja paksa dengan menggali kanal yang memisahkan Benteng Panakkukang yang dikuasai oleh Belanda.

Selain itu, mereka juga menggali parit di sepanjang benteng paling selatan Barombong, hingga ke benteng paling utara Ujung Tana.

 To Bala dan beberapa pembesar lainnya menolak melakukan pekerjaan tersebut dan melarikan diri kembali ke kampung mereka. Karena banyaknya pekerja yang melarikan diri, sehingga para bangsawan pun diserahkan tanggung jawab untuk menggantikan pekerja yang melarikan diri. 

Ini merupakan pelecehan siri’ yang berlipat ganda karena tuannya harus melakukan pekerjaan kasar yang setara dengan apa yang mereka lakukan. Membengkaknya perasaan pésse di antara pekerja Bugis, membuat mereka menyambut gembira kehadiran para pemimpin ini di tengah mereka dan mengubah situasi sulit menjadi kemarahan yang tak tertahan. 

Di antara orang Bugis yang melakukan pekerjaan ini, salah satunya adalah Arung Palakka. Dia menyaksikan kekejaman penjaga atau mandor terhadap rakyatnya.

 Hingga pada suatu ketika seorang pekerja mencoba melarikan diri namun tertangkap dan dipukuli di depan Arung Palakka. Kejadian ini merupakan titik balik. Arung Palakka kemudian merencanakan pelarian dan perlawanan ke tanah Bugis. 

Hari pelarian pun ditetapkan, yaitu pada pesta tahunan kerajaan yang dilakukan sekali dalam setahun dan berlokasi di Tallo. Lokasinya berpusat di arena perburuan rusa (ongko jonga) milik Karaeng Gowa. Kebanyakan rakyat dan penjaga pergi ke Tallo untuk berpesta.

Dengan tanda yang telah ditetapkan oleh Arung Palakka, orang-orang Bugis pun berhasil mengatasi beberapa penjaga yang tersisa dan melarikan diri dengan aman ke tanah Bugis. 

Ketika para pembesar Gowa mendengar hal tersebut, mereka mengejar orang-orang Bugis yang kabur dari kerja paksa. Pembesar Gowa menimpakan tanggung jawab ini kepada To Bala karena dia diangkat oleh Gowa menjadi perwakilan dan telah gagal menjalankan tugasnya. 

Arung Palakka bersama To Bala dan Pemimpin Bugis lainnya mengadakan pertemuan di Mampu, membahas kemungkinan persekutuan antara Bone dan Soppeng.

 Setelah kedua kerajaan bersepakat pada tahun 1660 M untuk bersekutu yang dikenal dengan Pincara Lopié ri Attapang (Perjanjian Rakit di Attapang). 

Bone dan Soppeng kemudian ingin menegakkan kembali persekutuan Tellumpocco’e yang dulu mereka sepakati di Timurung, dengan mengajak Wajo sebagai salah satu anggota persekutuan, tetapi Wajo menolak ajakan tersebut.

 Walaupun tanpa Wajo, persekutuan ini tetap berlangsung dan bertekad melawan kedigdayaan Gowa. 

Pasukan Bone dan Soppeng di bawah Pimpinan Arung Palakka bertempur dengan gagah berani melawan pasukan Gowa di bawah Pimpinan Karaeng Sumanna. Gowa berhasil mengalahkan pasukan Bone dan Soppeng. Kemudian sisa pasukan Bone dan Soppeng mundur ke daerah Cempalagi. 

Arung Palakka melihat bahwasanya tidak ada tempat baginya di negeri Bugis. Selain itu, Bone dan Soppeng telah dikalahkan sehingga tidak mampu lagi melanjutkan peperangan. Arung Palakka ingin mencari sekutu yang kuat untuk memperbaiki keadaan Bone dan Soppeng. 

Bersama pemimpin lainnya, mereka sepakat untuk berlayar ke arah timur di Tanah Wolio, negeri Buton. Harapannya, semoga saja ia dapat menemukan kawan yang mau bersama-sama berperang melawan Gowa.

 Sebelum berlayar ke timur, Arung Palakka bersumpah di gunung Cempalagi, bahwa ia tidak akan memotong rambutnya kecuali kalau ia telah menegakkan kembali kehormatan Bone dan melepaskan cengkraman Kerajaan Gowa. 

Prajurit Gowa yang mengetahui Arung Palakka bersama pasukannya bertolak ke negeri Buton, segera melaporkan hal tersebut kepada Raja Gowa ke-16 Sultan Hasanuddin, dengan mengatakan, “La Tenri Tatta sudah tidak ada lagi di atas daratan Bugis, bersama rombongannya kemungkinan besar menyeberang ke Buton di tanah Wolio.” 

Dengan sigap Sultan Hasanuddin memerintahkan pasukannya mengejar Arung Palakka ke tanah Wolio. Setelah kapalnya bersandar di negeri Buton, kemudian Arung Palakka menemui Raja Buton ke-14, La Awu Sultan Malik Sirullah. Meminta suaka dan Raja Buton menyambut dengan persahabatan dan memberi ucapan selamat datang kepada Arung Palakka dan pasukannya. 

Tak berselang lama, pasukan Gowa yang mencari Arung Palakka pun tiba di Buton. Penguasa Buton memerintahkan agar Arung Palakka bersembunyi di sebuah sumur yang kering. Setelah pasukan Gowa tak dapat menemukan Arung Palakka mereka pun pulang ke negerinya. 

Sultan Buton menyarankan agar Arung Palakka bersama pasukannya meminta bantuan kepada Belanda untuk melawan kekuasaan Gowa.

 Pada suatu ketika, kapal Belanda sandar di pelabuhan Buton. Arung Palakka segera menemui kapten kapal untuk mengutarakan maksudnya. Kapten kapal menyetujui hal tersebut, tetapi kapal tersebut harus berlayar ke Maluku untuk menyelesaikan suatu perkara di negeri Ambon, setelah menyelesaikan masalah tersebut barulah mereka singgah ke Buton untuk bersama-sama berlayar menuju ke Batavia. 

Penguasa Gowa, Sultan Hasanuddin, mendengar adanya desas-desus tentang gabungan kekuatan Belanda-Bugis-Ternate yang ingin menyerang Somba Opu. Gowa dengan sigap memperkuat pertahanannya untuk mengantisipasi terjadinya hal itu.

 Sampai di Batavia, Arung Palakka bertemu dengan Tomarajaé (Gubernur VOC). Ia kemudian bersama pasukannya diberi sebidang tanah di tepi sungai Angke sebagai tempat tinggal sekaligus sumber penghidupan sambil menghimpun kekuatan untuk melawan Gowa.

Renaisans Kerajaan Bone

Tahun 1666 M, kapal VOC yang terdiri atas orang Belanda menuju kawasan Makassar berlayar di bawah komando Laksamana Cornelis Janszoon Speelman. Ambon di bawah pimpinan Kapten Joncker, sementara Bugis di bawah pimpinan Arung Palakka. 

Tahun 1666 M, ratusan kapal VOC berlayar menuju kawasan Makassar untuk menyerang kerajaan Gowa. Pasukan besar itu dibagi menjadi tiga komando yaitu, Komando Laksamana Cornelis Janszoon Speelman untuk orang Belanda, Kapten Joncker mengomandoi pasukan dari Ambon, dan orang-orang Bugis yang dipimpin oleh Arung Palakka.

Mengetahui hal tersebut, Karaeng Gowa Sultan Hasanuddin memulangkan Raja Bone yang ditawan La Maddaremmeng kembali berkuasa di Bone. Namun, Bone hanya berstatus negeri bagian (palili) dari Gowa, hal tersebut bermaksud agar orang Bone berbaik hati kepada Gowa atau agar orang Bone tidak memposisikan Gowa sebagai lawan. 

Akan tetapi, situasi sudah sangat sulit dikendalikan, sebab Bone tidak tergoda dengan hal tersebut. Untung tak dapat diraih, kemalangan tak bisa dicegah, perang pun tak mungkin dihentikan. 

Pasukan Bugis dibagi tiga, pasukan Soppeng yang menyerang dari arah utara (Barru) dipimpin oleh Arung Bila, Arung Belo dan Arung Appanang. Pasukan Bone dari selatan (Bantaeng) yang dipimpin Arung Palakka. Sebagian pasukan menuju ke Bulo-Bulo dan Lamatti, kerajaan bawahan Bone, yang memihak Gowa. 

Sementara Pasukan Belanda dan Ambon melebur ke pasukan Bugis, dan sebagian menggempur Somba Opu dari lautan.

 Perang berlangsung dengan sengitnya, Gowa yang berperang tidak sendirian. Gowa bersekutu dengan Wajo, Bulo-Bulo dan Mandar, sedangkan di kubu Bone, mereka bersekutu dengan Soppeng, Belanda, Ambon, dan Buton. 

Perjanjian Bongaya sebagai tanda berakhirnya Perang Makassar dengan kekalahan di kubu Gowa, yang terdiri dari 30 pasal. Adapun pasal khusus di luar dari 30 pasal tersebut Arung Palakka hanya ingin melepaskan negeri dari kekuasaan Gowa. 

Setelah perang usai hubungan Arung Palakka dengan Gowa membaik dengan terjadinya pernikahan keponakan Arung Palakka, La Patau dengan I Mariyama, anak dari Sultan Abdul Jalil Raja Gowa ke-19.

 Arung Palakka dilantik menjadi Raja Bone ke-15 pada tahun 1672 M menggantikan pamannya La Maddaremmeng. 

Pada masa pemerintahan Arung Palakka di dalam lontara disebut dengan tepu ketenangan Bone (masa kejayaan). Ia menjadi penguasa paling berpengaruh di Sulawesi-Selatan pada masa itu. Arung Palakka mangkat pada tahun 1696 M dan digantikan oleh keponakannya, La Patau untuk menjadi Raja Bone ke-16.

Kedamaian dan Kemerdekaan

Taktik Arung Palakka menyatukan wilayah jazirah Sulawesi bagian selatan melalui banyak cara, salah satunya dengan perkawinan. 

Dengan mengawinkan keponakannya, La Patau, dengan anak penguasa Luwu dan Gowa. Sehingga nantinya penguasa-penguasa yang ada di Sulawesi- Selatan memiliki suatu ikatan kekeluargaan untuk mengurangi timbulnya konflik diantara mereka. 

Contohnya pada tahun 1709 M, La Pareppa To Sappewali dilantik menjadi Raja Gowa mewarisi kekuasaan dari kakeknya Sultan Abdul Jalil.

 Lalu beberapa tahun kemudian diangkat menjadi Raja Bone menggantikan saudaranya La Padassajati.  La Pareppa sendiri, merupakan anak sulung dari pernikahan La Patau dengan I Mariyama, yang kemudian menjadi Raja di dua kerajaan utama di Sulawesi-Selatan.

Pada abad ke-20, Belanda yang melihat kerajaan-kerajaan di Sulawesi-Selatan masih berkuasa dan berdaulat penuh segera melakukan penyerangan yang berfokus pada kerajaan Bone dan Gowa.

 Paling menonjol di antara kerajaan-kerajaan yang ada, dengan menundukkan kedua kerajaan tersebut, maka sama saja menguasai Sulawesi – Selatan. 

Tahun 1905-1906 M Bone dan Gowa berhasil ditaklukkan dan terjadi kekosongan kekuasaan di kedua kerajaan tersebut. 

Selama terjadi kekosongan kekuasaan, pemerintahan dijalankan oleh Ade’ Pitue bersama Tomarilaleng.

Tahun 1931 M Andi Mappanyukki diangkat menjadi Raja Bone ke-32 oleh Ade’ Pitué untuk mengisi kekosongan tersebut. Andi Mappanyukki sendiri merupakan anak dari I Makkulawu Raja Gowa ke-34 dengan We Tenripaddanreng yang merupakan anak Raja Bone ke-27 dan 28. 

Pada 17 Agustus 1945 terjadi proklamasi kemerdekaan bangsa Indonesia, Andi Mappanyukki, Raja Bone pada saat itu merasa bahwa Bone dan kerajaan-kerajaan Sulawesi-Selatan merupakan bagian dari Indonesia dan kemudian mereka meleburkan diri ke dalam Republik Indonesia.

*Penulis merupakan Mahasiswa Semester V Jurusan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) UIN Alauddin Makassar.

 

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami