Oleh: Rahmat Rizki
Kenapa semua hal perlu dibenahi? Kata Saldi, karena semua hal ada “kita” di dalamnya, terbungkus rapi, meringkuk dan sesekali meledak bagai api dalam sekam.
Saya benar-benar tidak paham apa yang dia maksud. Boleh jadi dia hanya naif. Menganggap setiap hal bisa ia sembuhkan. Atau barangkali ia adalah malaikat yang jatuh dari bintang ke tujuh.
Jika saya ingat-ingat kembali, kawan bernama lengkap Saldi Adrian itu tak pernah ada dalam bayanganku sebagai kawan yang akan saya akrabi. Sebagaimana pertemuan pertama saya dengannya. Ia nampak ingin menerkam. Perkenalan kami diwarnai debat seperti perang dingin antara Uni Soviet dan Amerika, pasca perang dunia II.
“Tidak perlu ditanggapi pertanyaan itu (pertanyaan yang saya ajukan) pimpinan sidang!” Ucap Saldi lantang, kala itu.
Saldi menghentak setelah saya melontarkan satu pertanyaan dalam forum Screening, In House Training Journalistic (IHTJ) yang dilaksanakan UKM LIMA Washilah pada 4 Juni 2022 lalu.
Singkatnya, dia menang dalam perang yang hanya berlangsung beberapa menit itu. Genjatan senjata nampak saya terbarkan kepadanya. Tak perlu diperpanjang hal yang memang tidak penting. Begitu pula yang dipahami para calon peserta IHTJ yang memenuhi Aula lantai II, Pusat Kegiatan Mahasiswa (PKM). Steering pun ikut sepakat. Habis sudah saya tercabik olehnya.
Alih-alih memendam amarah, saya menghampirinya setelah debat mendebat itu usai. Tujuannya tiada lain untuk berkawan. Sebab di antara banyaknya calon peserta IHTJ, dia jadi salah satu yang nampak kepribadiannya. Kalau tak berlebihan, saya menyebutnya sebagai matahari di antara bintang-bintang kerdil.
Dalam bayanganku, tangan kecilku ini akan ia acuhkan begitu saja. Sialnya saya salah. Bahkan, tanganku belum juga memberi sinyal ingin berjabat damai, senyumnya sudah lebih dulu merekah. Sial betul, ia jelas berbeda dari sebelumnya. Di wajahnya hanya ada kehangatan.
Tahu apa yang terjadi saat disenyumi oleh orang yang tadinya dianggap tak bersahabat? Malu! Analisisku membaca karakter orang jadi buyar bukan kepalang. Memang saya tak begitu pandai dalam hal itu, namun sepengalamanku, tiada yang meleset. Baru kali ini gagal total, di hadapan orang bernama Saldi Adrian.
Setelahnya, kami berkawan. Setelahnya lagi, kami lebih sering kemana-mana bersama, terutama ke Rujab (nama sekre Washilah), selama menjalani masa pemagangan di Washilah. Juga ke kostanku, ke kediamannya, dan ke tempat kawan kami yang satunya lagi—Saleh. Kami bertiga adalah paket lengkap. Jika satu tak ada, jadilah sayur tanpa garam.
Karena keseringan menghabiskan waktu bersama, Saldi dan perangainya pelan-pelan terbaca. Ternyata dia adalah manusia jangkung yang takut sendirian. Badannya bongsor, namun selalu ingin ditemani. Kalaupun saya berlebihan menyebutnya, paling tidak dapat dikonfirmasi ke beberapa kawan lainnya.
Bukan berarti Saldi adalah seorang pengecut yang takut setan. Tidak sama sekali. Sifatnya yang takut kesepian malah lebih tepat diartikan sebagai seorang sosialis romantis. Dia tidak ingin menikmati sesuatu yang indah sendirian. Dan hal tersebut melekat di namanya, yang apabila dipanjangkan akan begini: Saldi tak suka senang, sendirian, maka disingkatlah menjadi Saldi Adrian.
Terdengar dipaksakan. Namun tidak juga terlalu dipaksakan jika saya mengingat kembali hari-hari yang lalu. Dia begitu ingin merangkul semua kawan-kawannya. Satu hal yang bahkan bisa diingat oleh semua kawan angkatan sepemagangan adalah ia sering mengatakan, “kalianlah yang membuat saya bertahan di Washilah.”
Saldi berulangkali berkata demikian. Alasannya bertahan di Washilah adalah karena teman seangkatan. Tidak ada yang lain. Bahkan ia sering bertaruh, jika saya minggat, ia juga akan minggat. Ini juga berlaku kepada beberapa kawan lainnya.
Sejak berkuliah di UIN Alauddin Makassar, Fakultas Ushluhuddin, Jurusan Sosiologi Agama, angkatan 2021, Saldi tidak pernah membayangkan akan bertualang di Washilah. Ia pernah bilang, hanya kebetulan diajak teman, penasaran pun tak punya. Namun siapa sangka karena alasan tak kuat itu, ia menjelma seperti akar yang kuat mencengkram tanah dan merambat ke tangan kawan-kawannya.
Selain seorang kawan yang romantis, Saldi juga adalah sahabat yang arif, terbukti dengan karya-karyanya selama di Washilah, termasuk saat menjadi reporter magang pada medio 2022-2023. Analisisnya tajam seperti belati yang diasah oleh Tuhan.
Beberapa karyanya mengguncang para pimpinan kampus. Sewaktu magang, ia menuliskan ruang kuliahnya yang tidak layak. Karya-karya setelahnya pun hampir serupa tujuannya, meminta haknya sebagai mahasiswa. Hak sebagai seorang terpelajar, yang bukan hanya berbentuk fasilitas, melainkan dalam praktik pengajaran di kelas.
Maka selain Saldi yang tak suka senang, sendirian, juga tepat disematkan kata berani padanya: Saldi yang berani. Tak ada yang ia takuti selama menjadi reporter magang Washilah.
Apalagi saat ia diamanahkan sebagai Pimpinan Redaksi pada 2024 lalu. Selama menurutnya benar, ia akan maju sampai membuat musuhnya terkapar.
Kejadian-kejadian mendebarkan sekaligus menyenangkan satu persatu terjadi. Kesewenangan pimpinan kampus menjadi bahan bakar yang membikin amarah tidak lagi dapat ditahan di kerongkongan. Haruslah diberi pelajaran, selantang-lantangnya. Tujuannya tentu bukan karena ingin unjuk keberanian atau menjadi sok jagoan, melainkan untuk menghapus penindasan.
Cita-cita itu ditelan bulat-bulat dan menjadi kompas dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pengurus UKM LIMA Washilah periode 2024.
Sekali waktu, saat teror pimpinan membabi buta menyerang kami karena suatu pemberitaan, saya bertanya kepada Saldi, “siap jko temani ka, dengan segala resikonya, bahkan diDO karena berita?”
“Saldi ini boy,” katanya singkat, senyumnya persis saat saya pertama kali berkenalan dengannya. Ia hampir serupa harimau yang mendapatkan buruan sedap yang pantang dilepaskan.
Dialah kepribadian seorang revolusioner dan penggerak menumpas penindasan. Saldi tahu betul, berani saja tak cukup untuk mencapai keadilan. Ia butuh kawan. Maka jadilah Saldi yang tak suka senang, sendirian dan Saldi yang berani. Merangkul erat untuk bertempur bersama. Saldi bukanlah pahlawan dengan kekuatan sakti mandra guna, ia hanyalah musuh bagi penindasan.
****
Pada 15 Januari 2025 kemarin, beberapa hari setelah Musyawarah Anggota—forum musyawarah UKM LIMA Washilah. Saya dan beberapa kawan berangkat dari Samata menuju Barru. Rencananya kami akan berziarah ke makam kawan sekaligus senior kami di Washilah, bernama Afni, yang berlokasi di Pinrang.
Saldi tidak ada di antara beberapa kawan yang berangkat sejak awal. Sebab sehari sebelumnya, Saldi telah mengonfirmasi, dia tidak bisa ikut karena sedang mengikuti sebuah pelatihan jurnalistik CNN Academy di Hotel Aston, Makassar.
Kami pun berangkat tanpa Saldi. Kami sampai di Barru pada malam hari. Perjalanan menuju Pinrang akan dilanjutkan esok hari, setelah istirahat.
Mata belum juga tertutup, suara knalpot motor Yamaha Viksion yang telah akrab di telinga, menggema di luar rumah. Tak ada yang menyangka. Saldi datang sendirian dengan motornya. Katanya, besok ia akan kembali ke Makassar, untuk mengikuti pelatihannya pada pukul 9 pagi. Tidak ikut ke Pinrang.
Kupersilahkan ia masuk ke rumah, lalu kami melewati malam bersama-sama. Esok pagi, setelah menyantap jalangkote, taripang dan putu khas Barru yang saya banggakan sebagai tuan rumah, Saldi pun bergegas untuk kembali ke Makassar.
Tidak ada yang dapat menahan Saldi. Bahkan bujukan Desvi dan Malebbi tak mampu menahannya. Saya, apalagi.
Saldi naik ke motornya, lalu pelan-pelan hilang dari pandangan. Hanya bising knalpotnya yang masih terdengar dari kejauhan.
Belum lama ia pergi dari rumah, kabar duka berentetan datang sebelum kami siap memulai perjalanan ke Pinrang. Sebuah pertemuan dan perjamuan terakhir untuk Saldi.
Tepat pada tanggal 16 Januari, ia meregang nyawa setelah ditabrak sebuah truk bermuatan berat di jalan poros Ammaro, Barru.
Saldi sungguh orang berani yang tak suka senang, sendirian. Dan tak ada yang membiarkanmu sendiri. Kami menemanimu, namun tidak dengan kesenangan—dengan dengung sirine yang tiada hentinya, dengan air dari langit dan mata yang jatuh, dengan doa-doa yang bertabrakan berburu menuju langit—kami menemanimu sampai ke rumah terakhirmu, Bulukumba.
*Penulis merupakan Pimpinan Umum UKM LIMA Washilah Periode 2024.