Oleh: Abab
Memang benar, UIN Alauddin Makassar, Kampus Peradaban, kampus kita semua, tidak pernah mengajarkan sesuatu yang buruk kepada kita—selama kita mengartikan kampus sebagai gedung dan hanya sebatas fasilitas. Mereka benda mati, tak pula dapat berbicara, apalagi untuk mengarahkan kita pada nilai-nilai yang luhur.
Gedung atau fasilitas kampus pastilah jujur. Mereka tak akan berkata baik, jika memang atapnya bocor, catnya rusak, atau teramat panas untuk membiarkan mahasiswa berkuliah di dalamnya. Benda mati pastilah mengajarkan kejujuran.
Demikian kah yang kita artikan sebagai kampus?
Atau beserta orang-orangnya?
Jika yang dimaksud adalah yang kedua, maka pimpinan kampus yang terlibat dalam kasus kriminal dan pelecehan juga merupakan bagian dari Kampus Peradaban.
Merekalah yang dijadikan teladan bagi mahasiswa. Mereka adalah orang tua bagi seorang anak yang datang dari kampung untuk menimbah ilmu di sebuah kampus yang katanya masyhur juga gandrung akan kejujuran dan keadilan.
Tak sekalipun ada yang menginginkan kampus kita menjadi terbelakang dan rusak nama baiknya. Tak sekalipun.
Namun, sebagai sesama mahasiswa yang mempunyai hati nurani, sungguh menyakitkan saat mendengar seorang kawan telah dilecehkan oleh dosen dan hanya berdiam diri membiarkan korban digerogoti traumanya. Sebab kampus seringkali hanya mementingkan nama baik institusi ketimbang kondisi mental korban. Demikiankah kampus yang mengajarkan kejujuran?
Teramat bodoh untuk sekadar diam saat melihat 31 kawan diberikan skorsing oleh pimpinan hanya karena berdemonstrasi. Apalah arti kebebasan berekspresi yang dilindungi konstitusi saat menyampaikan aspirasi membutuhkan izin dari pimpinan?
Apalagi saat mendapati seorang pejabat kampus melakukan kasus kriminal, mencetak uang palsu di dalam perpustakaan. Soal ini, tak risau lagi kita menyibukkan diri untuk mengungkapnya. Satu negara telah mengetahuinya. Viral di mana-mana.
Lantas apakah kita senang, apabila kampus kita, kampus peradaban terkenal karena kejadian-kejadian yang memalukan dan sangat tidak mencerminkan nilai-nilai yang luhur? Tentu tidak! Kita, atau barangkali hanya saya, sungguh tidak senang dengan apa yang terjadi.
Persis dengan yang disampaikan Hamdan Juhannis beberapa hari lalu, “saya marah, saya malu.” Juga kesal. Sungguh menyebalkan mendapati semua kegilaan ini. Dan menjadi sangat menyebalkan ketika hal-hal gila itu hanya dibiarkan menguap dan terlupakan. Membiarkan pelaku pelecehan berkeliaran dengan bebas. Sedang korban, tak digubris. Malah dianggap halusinasi karena tak punya bukti.
Apakah nama baik kampus lebih penting dari semua kegilaan itu?
Lalu bagaimana agar kampus kita tercinta dapat menjadi lebih baik ke depannya? Apakah dengan memperbanyak medali dari perlombaan ilmiah atau semacamnya? Memberikan beasiswa? Tidak!
Pelaku harus diadili. Korban harus dilindungi. Mahasiswa perlu bersimpati dan beraksi. Pimpinan harus menyikapi dengan waras. Tanpa mementingkan nama baik institusi, yang apalah-apalah itu.
Perubahan menuju kampus yang aman dan nyaman, menuju arah yang lebih maju, ada pada diri kita. Semuanya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Fakultas Adab dan Humaniora UIN Alauddin Makassar