Washilah – Salah satu pegiat hukum Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Makassar, Ian Hidayat, menyebut bahwa sistem pendidikan di perguruan tinggi yang ada di Makassar, memiliki kondisi yang tidak demokrastis. Seperti UIN Alauddin Makassar, Universitas Hasanuddin (Unhas), Universitas Muslim Indonesia (UMI) dan Universitas Negeri Makassar (UNM).
Hal tersebut disampaikan Ian dalam Dialog yang diadakan oleh Aliansi Pendidikan Gratis (Apatis), bertema “Masa depan pendidikan di Bawah Rezim Prabowo-Gibran,” di Taman PLN UIN Alauddin Makassar, Senin, (18/11/24).
Sebagai pemantik dalam dialog tersebut, Ian menjelaskan, sistem pendidikan mesti dibangun secara demokratis, sebagaimana yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem Pendidikan Nasional.
Namun menurutnya, hal yang tercantum dalam Undang-Undang tersebut tidak benar-benar terjadi, dengan melihat kondisi beberapa kampus yang dianggap tidak demokratis.
“Saat ini, banyak hal yang terjadi di tiap-tiap kampus yang ada di Makassar, dengan pola yang sama, pembatasan kebebasan mahasiswa,” jelasnya.
Kondisi “tidak demokratis” yang disebut Ian, juga diungkapkan oleh Fahri, salah satu mahasiswa UNM yang menjadi pemantik dalam dialog tersebut.
Fahri menjelaskan kondisi “tidak demokratis” itu dapat dilihat saat penyampaian aspirasi tentang kebijakan kampus UNM yang mewajibkan mahasiswa untuk membeli almamater, pada Juli lalu. Aksi yang dilakukan oleh mahasiswa malah dibalas dengan tindakan kekerasan oleh salah seorang anggota birokrasi UNM.
“Yang kami dapatkan hanya represif oleh preman rektorat,” ungkapnya.
Selain Fahri, salah satu pemantik lain yang merupakan mahasiswa UIN Alauddin, Aldi menyampaikan kondisi yang terjadi di kampusnya, dengan Surat Edaran (SE) tentang ketentuan Penyampaian Aspirasi Mahasiswa yang dikeluarkan oleh Rektor Hamdan Juhannis.
Menurutnya, polemik SE yang membuat 31 mahasiswa termasuk dirinya diskorsing karena tidak meminta izin untuk berdemonstrasi, yang sudah melanglang buana dan menjadi pembahasan di mana-mana merupakan fakta bahwa sistem pendidikan sudah tidak demokratis.
“Bagi kami, SE tersebut berdampak buruk bagi demokrasi di UIN Alauddin Makassar,” ucap Aldi.
Mengenai pemberian skorsing terhadap mahasiswa, ternyata juga terjadi di Unhas, sebagaimana yang disampaikan oleh Tegar, salah satu mahasiswa Unhas yang menjadi pemantik dalam dialog tersebut.
Tegar mengungkapkan, terdapat 18 mahasiswa Fakultas Teknik Unhas yang diberikan skorsing karena dianggap melanggar kode etik, terkait aktivitas malam di dalam kampus.
Selain itu, pada Agustus lalu, mahasiswa Unhas pernah melakukan aksi demonstrasi di depan gedung rektorat, yang kemudian direspon aksi penangkapan oleh aparat polisi, yang diduga merupakan suruhan rektor.
“Unhas sendiri sangat sering membangun kerja sama dengan aparat kepolisian. Mahasiswa pun dihantui oleh ancaman sistem otoriter,” ungkap Tegar.
Di sisi lain, Ali, juga sebagai pemantik, menyoalkan problem lain di kampusnya, UMI. Ali mengatakan, di kampusnya, mantan rektor dan rektor terjerat kasus korupsi. Seorang pimpinan kampus malah menjadi pelaku penggelapan uang. Sehingga, Ali merasa kampus tidak lagi menjadi tempat yang adil, sebab pimpinannya saja mencontohkan hal yang buruk.
“Dua orang rektor tersandung kasus korupsi. Padahal mereka sering menyampaikan agar mahasiswa bisa lebih kritis, lebih terdidik, namun nyatanya hanya represif dan penindasan terhadap mahasiswa,” jelasnya.
Penulis: Redaksi