Oleh: Elang
Sore itu di tanggal 11 November 2024 saya tiba di Kampus II UIN Alauddin Makassar. Langit mulai menggelap, hujan sebentar lagi tiba, sesekali motor berlalu lalang, tidak ramai seperti senin lain. Belakangan, kampus diliburkan. Sebabnya, warga UIN sedang berkumpul di auditorium kampus.Tidak main-main, UIN Alauddin Makassar mengundang Nasaruddin Umar dalam dies natalisnya. Nasaruddin Umar, baru baru ini dilantik sebagai Menteri Agama dalam Kabinet Merah Putih yang dipimpin Prabowo-Gibran. Saya cukup senang dengan pemikiran Nasaruddin Umar, di awal kuliah saya bersama kawan-kawan organisasi ekstra kampus sempat berdiskusi membedah karyanya “Argumen Kesetaraan Gender Perspektif al-Qur’an”. Dari diskusi itu, kami menemukan Islam cukup egaliter.
Sayangnya, saya luput bertemu dengan Nasaruddin Umar waktu itu. Jika berkenan, dikemudian hari, saya ingin menceritakan UIN Alauddin masa sekarang kepada Nasaruddin Umar, saya pikir saat ini banyak sekali ketimpangan yang terjadi. Sehingga, melahirkan kampus yang jauh dari egaliter. Sebab itulah, UIN Alauddin Makassar menjadi mimpi buruk demokrasi.
Untuk para pembaca, sebenarnya tulisan ini saya tujukan kepada Rektor UIN Alauddin dan jajarannya. Saya memilih tulisan ini dibaca khalayak umum, sebabnya Rektor tidak pernah membalas dengan baik surat saya. Saya bersama kawan-kawan lain sudah melayangkan 4 surat kepada Rektor dan jajaran, baik melalui lembaga kampus maupun organisasi bantuan hukum. Sialnya, bapak yang mendorong tertib administrasi malah membalas surat saya dengan kata motivasi. Di kemudian hari, kata-kata motivasi hanya omong kosong dan basa-basi. Sebagaimana politisi, yang senang berbasabasi dan mengingkari janji.
Untuk Rektor, pandanglah ini bukan sebagai demonstrasi yang Rektor batasi lewat SE 2591. Ingatkah bapak, sebab SE itu, mahasiswa bapak ditendang oleh satpam. Sebab SE itu, 27 mahasiswa dirundung bahkan sampai dibawa ke kantor polisi sehari semalam. Sebab SE itu, 31 mahasiswa harus berhenti kuliah satu semester. Dan masih banyak sebab lain yang bapak tidak cari. Maka, tidak salah apabila saya menyebut Rektor sebagai “Mimpi Buruk Demokrasi”.
Sebagaimana pesan Rektor dalam acara tersebut “Terus Bergerak Meraih Mimpi”. Saya yakin, mimpi yang Rektor maksud menjadi mimpi buruk demokrasi. Saya pikir, Rektor UIN Alauddin perlu banyak berdiskusi dengan Nasaruddin Umar. Saat ini,saya masih percaya Nasaruddin adalah seorang pengkaji Qur’an walaupun berada dalam lingkaran kekuasaan. Sebelum dibelenggu pemikirannya, Rektor harus menyerap dan mengaji kepada Nasaruddin Umar. Jika Rektor kesulitan mengaji pemikiran Islam, kali ini biarkan saya membantu Rektor untuk mengaji dosa-dosa nya.
Yang perlu Rektor ketahui, dalam Islam pengetahuan tidak terjebak pada masalah transdental. Namun, pemikiran Islam dapat dikembangkan sebagai cara berpikir ilmiah terhadap Qur’an. Ini yang kita sebut sebagai paradigma profetik.
Dalam perjalanannya, Rektor UIN Alauddin dan jajaran sebagai akademisi yang berlandaskan Islam jauh dari itu. Ada beberapa sebab yang bisa kita lihat sehingga UIN Alauddin berpotensi gagal melahirkan pengetahuan berkualitas, dan berkemungkinan untuk membunuh pengetahuan itu.
Cara Pandang Elitisme, Sehingga Menimbulkan Tuhan Baru (Musyrik)
Disini, saya yakin kita punya banyak tafsir soal ketuhanan. Apalagi pada masyarakat UIN Alauddin Makassar. Tulisan kali ini, saya coba menganulir cara pandang Arab dengan menyebut Rabb atau Ilah. Namun, marilah kali ini kita persempit definisi Tuhan berdasar bahasa Melayu. Dalam pembahasan Adolf Heuken Ensiklopedia Populer Gereja, Tuhan ada hubungannya dengan kata Melayu Tuan, berarti atasan atau penguasa.
Pada masa Muhammad, Suku Quraish pada saat itu merupakan suku termasyur. Mereka berjaya di bidang perniagaan, terutama perniagaan budak. Dalam ajaran yang dibawa oleh Muhammad, mendorong Tauhid (Tuhan yang Maha Esa). Ajaran ini dianggap mengganggu status qou Suku Quraish saat itu. Pada dasarnya, Tauhid yang dibawa Muhammad dapat menghilangkan perbudakan.
Konteks sekarang, tauhid perlu dilihat sebagai nilai egaliter (kesetaraan manusia). Setiap manusia memiliki derajat yang sama dengan manusia lain, tanpa membedakan ras, suku, bangsa, agama, dan lain sebagainya.
Yang terjadi di UIN, alih-alih menciptakan lingkungan yang egaliter. Rektor dan jajarannya justru menciptakan lingkungan yang elit untuk pejabat kampus dan menganggap rendah para mahasiswa.
Di UIN Alauddin, saya masih mendengar pimpinan kampus meninggikan dengan menjadi ahli saat berdiskusi. Iya saya sepakat itu merupakan prestasi baginya. Namun, dalam diskusi ilmiah hal tersebut merupakan bias, karena berpotensi menimbulkan pandangan yang subjektif.
Hal tersebut, merupakan contoh kecil para pengajar di UIN Alauddin membuat jarak dengan mahasiswa. Dalam bahasan pendidikan oleh Fierre, itu disebut membentuk kesadaran mistis. Padahal esensi pendidikan adalah kesadaran kritis. Kesadaran mistis, membentuk karakter penakut. Akhirnya, itu membentuk tuan-tuan baru. Dan gagal melahirkan pengetahuan baru.
Menjaga Kekuasaan, Menghindari Pengetahuan
Hari ini, kita bisa sepakati. Perguruan tinggi merupakan tempat produksi pengetahuan, pengetahuan baru atau pengembangan terhadap pengetahuan yang ada. Namun, belakangan itu tidak terjadi di UIN Alauddin. Di UIN Alauddin terdahulu (ini bukan romantisme masa lalu, tapi memperlihatkan degradasi) saya masih sering mendengar ceramah ilmiah dari beberapa guru besar semisal Qasim Mathar atau Basrihannor.
Namun, belakangan. Saya lebih sering mendengar ceramah motivasi yang disampaikan melalui platform tiktok atau instagram Rektor. Saya bahkan kesulitan mencari bahasan ilmiah yang dilakukan Rektor bersama mahasiswa. Hal ini akan berkaitan dengan pembahasan sebelumnya. Untuk menjaga status quo (kekuasaan), para penguasa akan membentuk marwah kepada dirinya. Cara paling efektif dengan kata motivasi, dengan begitu tidak perlu mengeluarkan biaya dan tenaga yang banyak.
Dengan kalimat motivasi tersebut, penguasa akan terlihat bijaksana. Yang dikuasai akan hormat kepada penguasa, tanpa melihat objektif kezaliman yang telah dilakukan. Maka yang terjadi di kemudian hari. Sebagaimana pembahasan Fierre, tidak ada kesadaran kritis. Hanya kesadaran mistis. Perguruan tinggi hanya akan memproduksi kekuasaan, bukan pengetahuan.
Membunuh Demokrasi dengan Memberi Motivasi
Gramsci, seorang pemikir sosial. Mempopulerkan teori hegemoni. Gramsci berpendapat, penindasan dengan hegemoni dapat terjadi ketika penguasa menciptakan persetujuan dari kelompok yang ditindas. Gagasan tentang baik berasal dari kelompok dominan, sehingga kelompok tertindas tidak menyadari bahwa mereka sebenarnya sedang tunduk pada penindasan.
Cara yang paling efektif dapat dilakukan di mimbar-mimbar. Sebagaimana pembahasan sebelumnya, penguasa membentuk marwah melalui mimbar dengan kata-kata motivasi. Sehingga orang-orang tertindas tidak menyadari posisi mereka. Para penguasa seperti itu, cenderung membenci demokrasi. Mereka selalu menjaga jarak dengan orang yang dapat ditindas. Konteks UIN Alauddin, cara menjaga jarak itu dilakukan dengan SE 2591. Hegemoninya, melalui mimbar-mimbar kekuasaan.
Bilamana Rektor marah di kemudian hari. Tak payah menyerang UKM Persma yang menerbitkan tulisan ini. Ini adalah tanggung jawab saya sepenuhnya, Rektor dapat mencari identitas saya dalam surat-surat cinta yang memenuhi meja Rektor.
Bilamana, Rektor dan jajarannya membaca tulisan ini. Saya harap dapat mengevaluasi diri. Rektor dan jajarannya juga harus sadar, tindakan mereka telah merugikan banyak orang. Apa yang dititipkan adalah sebuah bencana. Di akhir kalimat, saya ingin mengutip dalil Quran Al-Ahzab: 72 ;
اِنَّا عَرَضْنَا ااْلَمَانَةَعَلَى السَّمٰوٰتِوَااْلَرْضِوَالْجِبَالِفَاَبَيْنَاَنْيَّحْمِلْنَهَا وَاَشْفَقْنَمِنْهَا
وَحَمَلَهَا ااْلِنْسَانُۗاِنَّهٗكَانَظَلُوْمًا جَهُوْاًلۙ٧٢
“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.”
*Penulis merupakan alumni UIN Alauddin Makassar dan pernah mendaki gunung Bawakaraeng