APATIS Makassar dan Dema-U Galang Mimbar Bebas Ekspresi

Facebook
Twitter
WhatsApp
Pengurus Kementerian Riset dan Teknologi Dema U, Khalil Mushaddiq saat membuka diskusi Mimbar Bebas Ekspresi sebagai moderator, Senin (01/07/2024). | Foto: Washilah - Rusmianti

Washilah – Aliansi Pendidikan Gratis (APATIS) Makassar berkolaborasi dengan Dema UIN Alauddin Makassar adakan Mimbar Bebas Ekspresi dengan mengusung tema “Galang Kekuatan Mahasiswa dan Umat untuk Keluar dari Pendidikan Jahiliyah” di Lapangan Basket UIN Alauddin Makassar, Senin (1/7/2024).

Kementerian Riset dan Teknologi Dema-U, Khalil Mushaddiq mengemukakan tujuan diadakannya diskusi tersebut yakni agar mahasiswa dapat sadar terkait regulasi pendidikan di perguruan tinggi.

“Agar kedepannya pemerintah dapat memahami kebutuhan mahasiswa kedepannya,” lanjutnya.

Sementara itu, Aktivis APATIS, Dirga menjelaskan bahwa pendidikan jahiliyah artinya menyeragamkan, meruntuhkan, dan tidak memanusiakan manusia yang dibuktikan dengan kurangnya diskusi dan literasi mahasiswa untuk dapat berpikir kritis.

“Ini membuat mahasiswa patuh saja atas setiap aturan yang dikeluarkan kampus tanpa mengkritisi dampaknya,” ujarnya.

Lebih lanjut, ia memaparkan data kesenjangan antara kenaikan gaji pekerja dan biaya kuliah sejak 1994 sampai tahun 2024, dimana gaji pekerja hanya naik 20 kali lipat sedangkan biaya kuliah naik sebesar 200 kali lipat serta anggaran pendidikan yang dikeluarkan negara yang jumlahnya mencapai sekitar 600 triliun namun distribusi yang sampai tercatat hanya 300 triliun.

“Dengan ini kami mengupayakan menggugat negara untuk memperbaiki kekacauan ini,” lanjutnya.

Akademisi UIN Alauddin Makassar, M Takbir Mallongi menekankan pentingnya memahami alasan naiknya Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang sebenarnya peristiwa lama yang dimulai sejak hadirnya Undang-Undang (UU) Perguruan Tinggi 2012 yang bertujuan untuk mengurangi subsidi negara untuk perguruan tinggi sehingga dibentuk yang namanya BLU (Badan Layanan Umum) hingga PTN BH (Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum).

“Ini merupakan bagian dari neoliberalisme dan UU tersebut telah digugat dan diberhentikan namun kembali berevolusi menjadi UU PTN yang berlaku hingga saat ini,” lanjutnya.

 

Penulis: Rusmianti (Magang)
Editor: Sriwahyuni

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami