“Hari ini HAM (Hak Asasi Manusia) tidak berlaku di Papua. HAM sudah mati di tanah Papua,” tegas Rotalina melalui alat pengeras suara.
Siang itu, Selasa 2 April 2024. Persimpangan fly over yang menghubungkan Jalan A.P Pettarani dan Jalan Urip Sumoharjo tengah dipenuhi lengkingan orasi dari Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Mereka berkumpul di bawah jalan layang sambil menenteng petaka berisi tuntutan atas pelanggaran HAM yang terjadi di Papua.
Satu per-satu bergantian memekikkan suara lewat megafon. Alat pengeras suara itu terus berpindah tangan. Tuntutan terus didendangkan. Hingga benda corong berwarna putih itu sampai di tangan Rotalina, salah satu Perempuan Papua yang ikut bersuara.
Rotalina berjalan ke depan massa—tempat berorasi, tanpa alas kaki. Ia menyambut megafon itu dari kawannya yang telah selesai bersuara.
Kini, benda putih itu digenggam erat oleh Rotalina. Tangan kanannya hampir rapat dengan mulutnya, sedangkan tangan kirinya mengacungkan corong megafon ke udara. Suaranya berdesak-desakan bersamaan dengan klakson dan bising kendaraan di simpang jalan.
Selain dibayangi bising kendaraan, Rotalina dan kawan-kawannya juga dibayangi barisan aparat berseragam yang berdiri mengangkang menonton aksi mereka. Sepatu laras keras, badan dibalut pelindung anti peluru serta pentungan besi yang menggantung di belakang punggung.
Hari itu, jumlah anggota AMP yang ikut dalam aksi menuntut pelanggaran HAM di Papua tidak lebih dari 50 orang, sedangkan jumlah aparat yang mengawasi, “lebih banyak daripada kita,” pungkas Rotalina.
Dengan setelan aparat yang siap tempur itu, Rotalina tak lantas gentar atau bahkan bersuara parau. Mahasiswi kelahiran Kabupaten Nduga, Provinsi Papua Pegunungan itu tetap lantang bersuara.
“Kami mahasiswa Papua berdiri berkoalisi di jalan ini atas nama kemanusiaan,” tegasnya lantang.
“Kenapa HAM sampai hari ini belum dituntaskan. Dan kenapa belum menyelesaikan kasus-kasus HAM sampai hari ini,” lanjutnya sekali waktu.
Kasus HAM yang dimaksud Rotalina ialah kasus penyiksaan terhadap tiga warga sipil Papua oleh aparat TNI di Desa Mangume Kabupaten Puncak Ilaga, pada 8 Februari 2024 lalu.
Selain itu, sebuah video penyiksaan yang memperlihatkan personel batalion menyiksa seorang pria Papua yang dituduh pro-kemerdekaan—sebuah tudingan yang belakangan tidak terbukti. Dan rentetan kasus pelanggaran HAM lainnya di Papua turut jadi alasan mereka (AMP) turun ke jalan siang itu.
Adapun isi tuntutan yang mereka layangkan sebagai berikut:
1. Tangkap dan adili pelaku-pelaku penyiksaan dan pejabat-pejabat militer yang terkait dalam garis komando
2. Tarik militer organik dan non organik se-tanah Papua
3. Tuntaskan seluruh pelanggaran HAM di Papua dan Indonesia
4. Buka akses jurnalis media asing untuk mengunjungi Papua
5. Berikan hak menentukan nasib sendiri bagi rakyat Papua sebagai solusi demokratis
Penulis: Rahmat Rizki
Editor: Saldi Adrian