Washilah – Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Provinsi Sulawesi Selatan, Dr Usman Lonta mengungkap lemahnya kelembagaan partai di Indonesia pada Dialog Publik yang diadakan Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Fakultas Dakwah dan Komunikasi (FDK), bertempat di Lecture Theatre (LT) FDK, Jumat (27/10/2023).
“Ada lima bentuk lemahnya kelembagaan Partai Politik (Parpol) di Indonesia salah satunya buruknya sistem keorganisasian yang meliputi mekanisme pengambilan keputusan. Di ujung penetapannya itu mekanismenya hilang,” jelas Usman Lonta.
Pada dialog bertajuk “Relasi Agama dan Politik” ini Usman juga mengemukakan lemahnya kelembagaan Parpol dapat dilihat dari mekanisme regenerasi dan rekrutmen calon anggota legislatif. Menurutnya, tidak ada batasan dalam pencalonan, imbasnya bakal calon dapat maju hingga beberapa periode.
“Regenerasinya buntu, sehingga tidak memberi kesempatan bagi generasi muda. Yang dilirik siapa yang paling banyak uangnya, bukan siapa yang paling besar otaknya,” terangnya.
Akademisi Universitas Muhammadiyah ini juga menerangkan ideologi partai semakin memudar. Maka di sinilah peran pemuka agama untuk memberi bingkai moral kepada para politisi.
“Selain itu, gagalnya Parpol menampung harapan dan aspirasi publik menjadi bagian lemahnya kelembagaan partai di Indonesia,” tandasnya.
Lebih lanjut, ia membeberkan jika lemahnya kemandirian partai tergambarkan melalui beberapa partai yang selalu didikte oleh pemilik modal dan kekuasaan.
Terakhir, tokoh agama Sulsel itu menjelaskan salah satu upaya yang harus dilakukan untuk mengatasi lemahnya kelembagaan partai di Indonesia adalah dengan melakukan perubahan pada UU No 31 Tahun 2022 tentang Parpol agar mental Parpol tidak feodal.
“Supaya Parpol tidak dikendalikan oleh pemilik modal, biarlah Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang membiayai partai-partai, juga berikan batas ketua partai maksimum dua periode,” jelasnya.
Salah satu peserta, Tifani Amalia mengungkapkan bahwa Parpol yang ada di Indonesia bahkan anggota DPR lebih mendahulukan kepentingan partai di atas etika profesi.
“Padahal etika profesi harus berada di atas kepentingan pribadi partai,” pungkas mahasiswa Ilmu Komunikasi itu.
Penulis: Nur Rahma Hidayah (Magang)
Editor: Nabila Rayhan