Oleh: Astiti Nuryanti
Naskah Perang ini merupakan terbitan Pustaka Merahhitam yang ditulis oleh Rama Wirawan. Buku ini sudah dua kali percetakan, cetakan pertama di bulan Juni 2021 dengan sampul dasar putih dan beriringan dengan gambar jantung berwarna merah di tengah sampul, kemudian cetakan kedua di bulan September 2021 sampul diperbarui menjadi warna dasar hitam dengan gambar jantung yang diselimuti bara api.
Berangkat dari pernyataan Barthes yang mengatakan “Ketika teks terlahir, maka pengarang telah mati. Dia lantas digantikan oleh pembaca yang bebas menafsirkan teksnya,” ungkapan itu yang membuat penulis buku ini bangkit, sehingga buku Perang dapat dicetak untuk kedua kalinya.
Buku yang dikemas dalam bentuk novel ini merupakan novel subkultural yang menawarkan isu-isu sosial yang dialami oleh generasi muda. Naskah yang dirangkai melalui paradigma generasi muda terhadap fenomena kehidupan serta konfrontasi batin dan tidak terlepas dari segala aspek yang dialami oleh pemuda berdasarkan pengalaman penulis. Selain itu, novel ini juga kembali membangun pemikiran masyarakat.
Membaca lembar demi lembar novel ini, adalah petualangan menuju relung hati paling dalam dan goa-goa pemikiran rakyat kecil, yaitu diri sendiri. Pembaca diuji untuk kembali merenungkan jati dirinya, kebergunaan kita dalam masyarakat, bagaimana paradigma kita terhadap negara, dan bagaimana kita seharusnya hidup dalam kondisi sosial politik yang carut-marut.
Tidak bisa dipungkiri bahwa rutinitas kerja yang monoton dapat membuat gelisah, bahkan ruang kantor pun tampak seperti penjara, kerja sudah menjadi satu hal yang membosankan karena kerja hanya sebatas kewajiban. Begitulah yang dirasakan Perang Hayat dalam buku Perang ini.
Tokoh Perang dideskripsikan sebagai seseorang yang hidup dalam kesendirian dengan buku-buku dan keremangan, ia selalu sinis melihat dunia terang benderang seperti mal-mal, gedung-gedung megah, restoran mewah, dan hal-hal yang berbau kemewahan.
Perang selalu melihat ketimpangan dari semua kemewahan itu, ia menyadari bahwa mal-mal itu dibangun di atas tanah bekas gusuran rumah penduduk, ketika ia melihat sebuah restoran mewah ia yakin bahwa hanya segelintir orang yang bisa menikmati makanan di restoran mewah tersebut.
Karenanya, kawan-kawannya tak melihat dan merasakan apa yang ada dalam benaknya, Perang merasa hidup dalam kesendirian dan keterasingan.
Setelah sekian lama terjebak dalam rutinitas kerja dan keterasingan, kehidupannya lambat laun mulai berubah ketika Perang berkenalan dengan Denny, seorang kurir dari kantor cabang tempat ia bekerja.
Perkenalannya dengan Denny membawanya pada suatu komunitas subkultur yang akrab dengan Zine, musik underground, gig, distro, DIY, dan yang membuat Perang segera tertarik dengan komunitas ini adalah pemikiran kawan-kawan barunya yang terus berusaha mencari alternatif atas sistem yang telah mengurung dan terus.
Melalui cerita dari buku Perang ini menyadarkan pembaca bahwa, sistem kerja yang diperkenalkan selama ini tidak hanya sebatas kerja. Namun ada satu keuntungan yang direnggut oleh para kaum borjuis untuk menerima keuntungan lebih daripada pekerja. Namun, yang menjadi kekurangan dari buku ini, membuat pembaca mengambang, karena tidak menceritakan secara detail hingga akhirnya Perang menikah dan sistem yang dibangun oleh Perang dapat mengalahkan sistem kapitalisme.
Deskripsi Buku:
Judul: Perang
Penulis: Rama Wirawan
Penerbit: Pustaka Merahhitam
Halaman: 140 hlm
*Penulis merupakan mahasiswa Sosiologi Agama Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar