Oleh: Irham Syahril
Hamdan Juhannis dalam pemaparan visi misi calon rektor UIN Alauddin Makassar periode 2023-2027 berambisi mengubah status kampus dari PTKIN-BLU ke PTKIN-BH.
Dengan perubahan status ini, kampus memiliki otonomi sendiri dalam mengatur keuangannya. Dengan kata lain UIN Alauddin tidak menerima lagi bantuan keuangan negara.
UIN Alauddin akan menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pundi-pundi rupiah demi menutupi biaya operasional kampus. Sialnya, UKT mahasiswa juga salah satu pendapatan universitas. Artinya birokrasi bebas menentukan besaran yang akan di bayar mahasiswa.
Selain itu, birokrasi kampus juga akan sibuk mencari pendapatan di luar ketimbang menjalankan tugas-tugasnya sebagai akademisi. Urusan akademik terbengkalai, mahasiswa terlantar di kelas, kuliah tak beraturan hingga segala urusan akademis akan di komersialisasi.
Ambisi Hamdan mengubah UIN Alauddin ke PTKIN-BH nampaknya sulit terwujud di waktu 4 tahun masa jabatan di periode kedua ini. Pasalnya, penulis buku melawan takdir ini harus menaikkan presentasi prodi unggul di kampus dari 3,5 persen menjadi 60 persen bila ingin menjadi universitas berbadan hukum.
Bila merujuk peraturan menteri pendidikan nomor 4 tahun 2020 tentang perubahan perguruan tinggi negeri menjadi perguruan tinggi negeri berbadan hukum, UIN Alauddin harus memenuhi beberapa syarat selain presentasi prodi unggul diantaranya penyelenggaraan Tridharma Perguruan Tinggi yang bermutu, memiliki kelayakan finansial, kerjasama dengan dunia industri dan lainnya.
Meski hal itu sulit bukan berarti tidak bisa, melalui program Merdeka Belajar Kampus Merdeka atau MBKM jalan menuju PTKIN-BH yang dicanangkan Hamdan semakin terbuka.
Program magang pada kurikulum MBKM memudahkan kampus membuka prodi baru, mendorong penelitian atau riset, pengabdian masyarakat, hingga mengharuskan kampus menjalin kerjasama dengan perusahaan atau lembaga di perindustrian. Poin inilah yang di anggap kampus hanya menjadi pabrik tenaga kerja industri ketimbang mencerdaskan generasi penerus.
Hamdan Juhannis harus memikirkan ulang ambisinya mengubah status kampus menjadi PTKIN-BH dengan segala dampak dan resiko yang di timbulkan perubahan status ini. Rektor seharusnya lebih fokus memperbaiki infrastruktur kampus, fasilitas kelas, meningkatkan mutu prodi, menyeimbangkan rasio dosen dengan mahasiswa.
Mengatasi persoalan mendasar kampus, seperti stop komersialisasi pendidikan, penurunan UKT, pencegahan dan penanggulangan kekerasan seksual, pembangunan Fisipol, dan masalah lainnya ketimbang ngotot merubah status otonomi kampus.
*Penulis merupakan Pimpinan Redaksi UKM LIMA Washilah Periode 2023