Hapus Segala Bentuk Kekerasan, Perempuan Berhak Memperoleh Ruang Aman

Facebook
Twitter
WhatsApp
Hapus Segala Bentuk Kekerasan, Perempuan Berhak Memperoleh Ruang Aman. | ILustrasi : Washilah-Rahmat Hidayat

Oleh : Nabila Rayhan

Kekerasan terhadap perempuan merupakan fenomena yang menjadi momok terbesar dan menjadi isu laten dalam masyarakat. Bagaimana tidak, kasus kekerasan terhadap perempuan kian meningkat. Ironinya, perempuan yang menjadi korban kekerasan justru mengalami kriminalisasi seperti defamasi atau pencemaran nama baik. 

Dengan dilatarbelakangi kasus kekerasan yang dialami perempuan, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) secara resmi menetapkan tanggal 25 November sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan Internasional atau International Day for the Elimination of Violence Against Woman yang diperingati setiap tahunnya.

Kekerasan terhadap perempuan menurut UU No. 23 Tahun 2004 merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Namun faktanya perempuan belum menerima rasa aman dan tentram. Perilaku tindak kekerasan terhadap perempuan menjadikan perempuan dibatasi geraknya dan diciutkan nyalinya.

Dilansir dari detik.com, terdapat empat jenis kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan itu dapat berupa kekerasan emosional, kekerasan fisik, kekerasan seksual, dan kekerasan ekonomi. Mengacu pada data yang dihimpun Komnas Perempuan, dalam rentan waktu lima tahun terakhir, ada sekitar 24 ribu kekerasan terhadap perempuan yang terjadi yang mana 29 persennya adalah perkosaan.

Bisa dinilai bahwa dari banyaknya kasus kekerasan terhadap perempuan persentasi terbesar ada pada kasus dari segi seksual. Nyatanya kekerasan seksual ini tidak hanya menyasar pada ranah komunitas saja tapi juga turut menyasar di ranah domestik berupa Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang paling menonjol.

Kekerasan terhadap perempuan dari segi seksual diperkuat dengan budaya yang mengakar dan masih saja dilestarikan dalam hidup masyarakat seperti budaya menyalahkan korban kekerasan seksual. 

Berbagai mitos tersebar yang mengatakan bahwa kekerasan seksual terjadi karena salah penyintas yang suka jalan di tempat sepi, sendiri di malam hari, dan berbusana mini. Padahal faktanya, lokasi yang paling banyak menjadi tempat pelecehan seksual adalah di jalan umum, transportasi publik, sekolah, dan kampus. Semuanya adalah ruang publik. Jadi, sudahi perbincangan mengenai kekerasan seksual yang menakar pada ketelanjangan dan menghakimi korban. Selain itu, banyak juga logika seks semrawut dan komentar-komentar dungu lainnya.

Kekerasan terhadap perempuan atau juga dikenal dengan kekerasan berbasis gender paling tidak memiliki sinkronisasi dengan ideologi atau perspektif gender yang masih mengakar dalam kehidupan bermasyarakat, seperti dalam sistem patriarki yang lebih mengutamakan laki-laki sehingga membuat posisi dan peran perempuan mulai tergeser. Padahal sebenarnya, era di mana dunia sudah semakin berkembang, sistem patriarki ini harus dikikis habis karena mampu menghadirkan tendensi melemahkan hak-hak perempuan. Sosiolog UIN Jakarta, Kusmana mengatakan bahwa pendidikan menjadi salah satu cara merasionalisasi sistem patriarki.

Pemahaman terkait isu kekerasan terhadap perempuan menjadi satu hal wajib karena masih banyak stigma dan budaya dalam masyarakat seperti budaya victim blamming (menyalahkan korban) yang menduduki posisi dominan. Perbuatan ini membuat perempuan ditempatkan pada posisi salah.

Perilaku semacam ini membuat masyarakat dinilai langgengkan kekerasan terhadap perempuan karena terjadi pewajaran dan normalisasi di dalamnya. Perilaku demikian juga membuat para penyintas memilih bungkam hingga enggan melayangkan laporan ke aparat penegak hukum.

Beberapa faktor tersebut memberi kesempatan dan ruang serta posisi besar bagi para pelaku tindak kekerasan karena mendapat dukungan dan dorongan dari masyarakat secara tidak langsung. 

Momok yang kian hari kian menjamur tersebut menjadi sulit ditangani karena masyarakat mulai kehilangan nilai sensitivitas terhadap pelanggaran yang merugikan dan merampas hak-hak korban.

Dari banyaknya kasus tentang kekerasan terhadap perempuan sebenarnya dapat diambil langkah preventifnya berupa sosialiasi pemahaman tentang kekerasan terhadap perempuan. Kendati demikian masih banyak masyarakat yang abai dan apatis terkait tindak kekerasan ini. Selain itu, langkah paling sederhana yang bisa kita tempuh untuk mengikis kekerasan tersebut adalah berawal dari diri kita sendiri, artinya kita harus aware dulu.

Belakangan ini, pemerintah telah mengambil langkah preventif dalam upaya mengatasi kekerasan terhadap perempuan dengan mengesahkan payung hukum berupa Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). UU TPKS ini diharapkan mampu mengatasi rintangan dan hambatan korban untuk mendapatkan hak dan keadilan. 

Beberapa orang juga turut memberi dukungan dengan melakukan kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16HAKTP) atau 16 Days of Activism Against Gender Violence untuk mendorong upaya-upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Kampanye ini dilakukan mulai tanggal 25 November hingga 10 Desember. 

Dengan adanya dukungan oleh masyarakat dan aparat penegak hukum maka akan membendung kekerasan terhadap perempuan. Karena sebagaimana yang kita tahu bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak dapat diselesaikan hanya dengan satu individu saja melainkan harus ada kerja sama semua pihak. Sejatinya, kekerasan terhadap perempuan tidak bisa ditoleransi dengan alasan apapun. 

*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami