Washilah – Wajah keriput itu dipenuhi keringat. Setelah tiga jam menyisir sudut – sudut kampus menjajakan tisu jualannya ke beberapa mahasiswa. Hari itu Jumat, 23 September 2022. Saat saya menemuinya tengah beristirahat di pelataran Masjid Kampus II UIN Alauddin Makassar.
Namanya Singara. Perempuan yang kini memasuki kepala enam itu, setiap harinya harus berangkat sekitar pukul lima pagi dari rumahnya di kawasan Pampang menuju UIN Alauddin. Singara tak sendiri ketika berjualan, ia dibantu cucunya, Fadil.
Fadil yang kini berusia delapan tahun, membantu Singara menenteng jualannya. Kata Singara, penghasilan yang mereka peroleh kadang hanya cukup untuk biaya ongkos pulang.
Ditabung-tabung dulu baru cukup, karena kalau yamg ku dapat dalam sehari untuk sewa ongkosji ke Unhas,” ucapnya.
Tidak hanya di kampus UIN Alauddin, Singara dan Fadil juga menawarkan tisunya di beberapa tempat.
“Saya jualan tisu di sini sampai siang saja. Setelah itu saya pindah ke Unhas, ke Parangtambung (UNM), kadang juga ke Unismuh,” jelasnya.
Tisu yang dijual Singara dipatok dengan harga lima ribu rupiah. Dagangannya kadang baru habis setelah dua hingga tiga hari berkeliling.
Kendati demikian, Singara mengatakan, ia hanya bisa menghidupi dirinya dan cucunya dari jualan tisu. “Ini ji yang kukerja, untuk bayar uang sekolah Fadil,” ucapnya.
Hal yang Singara syukuri, karena ia tak pernah diusir ketika berjualan di kampus peradaban. Katanya, ia hanya tidak boleh naik ke kelas untuk berjualan
“Tidak boleh mengganggu kuliahnya mahasiswa. Kalau sudah waktu istirahat baru saya keliling tawarkan jualan saya ke mahasiswa.”
Salah satu Mahasiswi UIN Alauddin, Luzy Nurhalifah, mengungkapkan kadang melihat Singara dan cucunya berkeliling menawarkan tisunya.
“Sering lihat beliau di taman listrik, juga sempat beberapa kali beli jualannya,” katanya.
Luzy bahkan kerap merasa kasihan kepada Singara, ” Kadang miris, kenapa dia harus banting tulang di usianya yang sudah tua. Untungnya bahkan sedikitji,” pungkas Mahasiswi Komunikasi dan Penyiaran Islam tersebut.
Penulis: Nurwahdania (Magang)
Editor: Nur Afni Aripin