Data Setengah Hati, UKT Salah Kategori

Facebook
Twitter
WhatsApp

Washilah – Indikator penentuan kategori Uang Kuliah Tunggal (UKT) di UIN Alauddin Makassar yakni dengan seleksi berkas dan verifikasi melalui wawancara, namun berdasarkan penelusuran Washilah, terdapat mahasiswa yang mendapatkan penetapan UKT tanpa melalui proses wawancara.

Seleksi berkas bertujuan untuk melihat kemampuan ekonomi mahasiswa, kemudian memverifikasi berkas yang telah diisi melalui proses wawancara, tujuannya agar kategori UKT yang didapatkan mahasiswa sesuai dengan kemampuan ekonomi. Hal ini sejalan dengan bangunan ideal munculnya sistem UKT-BKT. Agar setiap kalangan bisa mengakses pendidikan tinggi.

Kepala Biro Administrasi Akademik, Kemahsiswaan dan Kerjasama (AAKK) Dr Yuspiani menjelaskan, mekanisme penentuan UKT-BKT calon mahasiswa baru dilakukan oleh jurusan dengan menyeleksi melalui wawancara, kemudian disahkan penetapannya oleh rektorat. Menurutnya, aspek penilaian untuk mahasiswa baru yang mendapat kategori tinggi atau kategori rendah sudah sesuai kondisi ekonomi mahasiswa, sebab salah satu indikator penetapannya yaitu penghasilan orang tua.

“Semua penentuan dan penetapan tersebut dilakukan oleh jurusan, karena jurusan yang lebih dekat dengan mahasiswa, kebutuhannya keluarga mahasiswa banyak atau sedikit disampaikan juga di lampiran slip gaji orang tua sebagai pertimbangan penentuan UKT-BKT,” jelasnya saat ditemui di depan ruang kerjanya pada 25 Juli lalu.

Hal itu dibenarakan oleh Ketua Jurusan Ilmu Falak Dr Fatmawai Hilal, Ia mengatakan mekanisme penentuan kategori UKT memiliki SOP, indikatornya yakni penyeleksian berkas dan wawancara.

Terkhusus di Ilmu Falak, kata Pembina UKM Pramuka UIN Alauddin ini, pada saat wawancara dengan mahasiswa baru, ia kadang menyuruh untuk berdiri di depan rumahnya. Terutama bagi mereka yang tidak memasukan data yang dianggap tidak masuk akal, seperti penghasilan orang tua, foto rumah yang dikirim, dan sebagainya.

“Saya kira sama dengan jurusan yang lain, Cuma teknis kerja kita yang berbeda,” tuturnya, Senin (20/07/21).

Sementara itu, Washilah menemukan mahasiswa yang mendapat penetapan UKT tanpa proses wawancara, salah satunya Mufli Gita Cahyani, Mahasiswa Perbandingan Mazhab dan Hukum (PMH) angkatan 2021. Saat dihubungi pada 11 Juli lalu, Ia mengeluhkan kategori UKT yang telah ditetapkan pihak kampus kepadanya.

Gita memperoleh UKT 3 dengan nominal Rp 2.030.000. Kata Gita, nominal UKT demikian sangat berat untuk kedua orangtuanya. Gita anak kedua dari tiga bersaudara, Adiknya tahun ini masuk Sekolah Menengah Atas (SMA), sementara Kakaknya sejak 2018 berkuliah di kampus dengan jurusan dan kategori UKT yang sama dengan Gita. Ibunya seorang Ibu Rumah Tangga (IRT), ekonomi keluarga Gita bertumpu pada Bapaknya yang seorang tukang bangunan.

Hal serupa dialami oleh Andi Haikal Akib, mahasiswa Ilmu Hukum angkatan 2021, Haikal bercerita persoalan pendapatan orangtua yang menurutnya tidak sebanding dengan UKT yang diperoleh. Tanpa melalui proses wawancara, ia mendapat kategori UKT 3 dengan nominal Rp.2.030.000, sementara pendapatan orangtuanya sebulan sebesar Rp.600.000.

Mendengar nominal UKT yang harus dibayar Haikal tiap semesternya, orangtua Haikal melarangnya untuk kuliah. Alasannya, pendapatan yang tidak menentu tidak berbanding lurus dengan pengeluaran. Terlebih, adik bungsunya yang berumur dua tahun saat ini masih menggunakan popok dan mengonsumsi susu formula.

Namun sang kakak yang pernah gagal kuliah karena terkendala dana, mendukung Haikal untuk lanjut kuliah, Ia meminjam uang dari kerabatnya untuk membayar UKT tanpa sepengetahuan orangtuanya, sementara Kakak Haikal merantau ke Kalimantan mencari kerja.

“Langsungka Down saat tahu nominal UKT yang kudapat,” ungkapnya.

Bapak Haikal bekerja sebagai buruh tani, Ibunya seorang IRT. Satu-satunya pendapatan keluarga Haikal berasal dari lahan milik orang lain yang digarap Bapaknya. Sebenarnya, kata Haikal, pendapatan orangtuanya tidak didapat perbulan, sebagaimana yang tercantum dalam surat keterangan pendapatan orangtuanya, yakni Rp.600.000 dalam sebulan.

Pria asal Bone ini mengatakan, orangtuanya mendapat seperdua dari hasil setiap panen. Sementara panen dilakukan dua atau tiga kali tiap tahun. Setiap panen, bapaknya mendapat keuntungan bersih sekitar dua juta rupiah.

“Itu pun kalau bagus hasilnya, kadang lebih banyak ongkos (biaya produksi) daripada penghasilan,” kisah Haikal.

Menilik Polemik UKT, Isu Klasik yang Tak Usai

Pada 2013, sistem pembayaran uang kuliah di UIN Alauddin Makassar beralih, dari Sumbangan Pembinaan Pendidikan (SPP) menjadi Uang Kuliah Tunggal dan Biaya Kuliah Tunggal (UKT-BKT). Walaupun dianggap isu klasik, namun sejak diberlakukannya, UKT menjadi polemik yang tak kunjung usai.

Secara periodik, terkhusus menjelang pembayaran uang kuliah, isu UKT selalu menjadi pembahasan di kalangan mahasiswa. Tahun ini, Aliansi Mahasiswa UIN Alauddin (Al Maun) pada 10 Juli lalu, melalui poster yang dibagikan melalui akun instagram @aliansimahasiswauinam menantang rektor dan jajarannya debat terbuka persoalan UKT.

Selain itu Aliansi Mahasiswa UIN Alauddin Makassar Bersatu, pada Jumat 16 Juli lalu melakukan aksi demonstrasi di Gedung Rektorat. Aksi ini mendesak tiga poin tuntutan, yakni optimalisasi peninjauan UKT, pengurangan UKT 50% secara general, dan pembebasan UKT mahasiswa semester 9 ke atas.

Selain dua hal di atas, upaya lain menuntut persoalan UKT di kampus yang telah berdiri sejak 1965 ini dilakukan mahasiswa dengan cara lain, mulai dari menggelar Focus Grup Discussion (5/6/21), pembentangan spanduk di beberapa titik strategis (18/7/21), surat tuntutan yang ditandatangani ketua lembaga kemahasiswaan (18/7/21), panggung ekspresi yang dilakukan hingga malam hari (23/7/21), demonstrasi seruan mogok bayar UKT pada (26/7/21).

Sekretaris Jenderal (Sekjend) Dewan Eksekutif Mahasiswa (Dema) Universitas Ahmad Rahmat mengungkapkan, upaya yang dilakukan lembaga kemahasiswaan dan aliansi dalam menuntut beberapa poin terkait UKT, harapannya agar pimpinan merespon dengan membuat regulasi tentang pengurangan dan pembebasan UKT semester sembilan ke atas.

Pria yang akrab disapa Ammat ini melanjutkan, salah satu permasalahan UKT berdampak pada mahasiswa baru yang tidak bisa membayar UKT. Hal ini kata Ammat, salah satunya berakar dari tidak adanya transparansi Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam penentuan kategori UKT Mahasiswa.

“Sejauh ini memang banyak laporan masuk, bahwa memang banyak calon mahasiswa baru yang tidak bisa bayar UKT,” ungkapnya.

Polemik UKT di UIN Alauddin bukan persoalan baru, Ketua Dema Fakultas Adab dan Humaniora (FAH) Suci Rahmayani R. Hanapi menjelaskan, polemik UKT yang tak usai di kampus berjuluk kampus peradaban ini terjadi karena penerapannya yang terbilang prematur. Saat UKT diterapkan pada 2013 sebagai tindak lanjut dari Peraturan Menteri Agama (PMA) Nomor 96, Ia menganggap pimpinan kampus UIN Alauddin tidak melakukan pengkajian secara mendalam.

Menurutnya, secara sederhana alasan berubahnya SPP menjadi sistem UKT agar semua kalangan bisa mengakses pendidikan tinggi, hal itu sangat bertentangan dengan kondisi yang ada di UIN Alauddin. Haikal dan Gita merupakan contoh atas realisasi UKT yang tidak sesuai bangunan ideal sebagaimana yang dicitakan.

“Karena tidak dikaji secara baik oleh pimpinan soal regulasi yang hadir, langsung saja diterapkan mentah-mentah, akibatnya cacat dan jauh dari bangunan ideal awalnya sistem UKT-BKT,” jelas Suci, saat dihubungi melalui Whatsapp pada 18 Juli lalu.

Mahasiswa Jurusan Bahasa dan Sastra Inggris ini menceritakan UIN Antasari, kampus Pendidikan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) yang menurutnya dalam menerapkan sistem UKT tidak serampangan, sehingga kampus Islam yang bertempat di Banjarmasin tersebut menurut penuturannya hampir tidak pernah ada gugatan persoalan UKT.

“Mereka (UIN Antasari) tidak serta-merta saat keluarnya regulasi (PMA 96) langsung menerapkan. Mereka kaji, makanya dari awal penerapan sudah ada rekategorisasi UKT dan ada ruangan khusus untuk konsultasi kategori UKT,” jelasnya.

Menanggapi hal tersebut, Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Lembaga Prof Mardan mengatakan, isu UKT merupakan persoalan klasik. Saat ditemui di ruangannya pada 23 Juni silam, lulusan Magister Agama ini menanyakan kembali kepada reporter Washilah, apa permasalahan dari UKT-BKT.

Mantan Dekan FAH ini menuturkan, mekanisme penentuan kategori UKT tidak pernah berubah sejak diterapkannya, yakni melihat pendapatan dan pengeluaran mahasiswa baru melalui berkas yang dikumpul, lalu diverifikasi oleh pihak jurusan melalui wawancara.

Merujuk pada temuan Washilah mengenai mahasiswa baru yang mendapatkan kategori UKT tanpa diwawancarai, Prof Mardan membantah hal tersebut, Ia mengklaim semua mahasiswa baru sebelum ditetapkan kategori UKT nya terlebih dahulu telah melalui proses wawancara.

“Bahkan saya bilang, jangan dulu dilaksanakan pendaftaran ulang menyusul jalur berikutnya sebelum ditetapkan UKT mahasiswa yang lulus pada jalur sebelumnya,” tegasnya.

Mengenai pembebasan UKT bagi mahasiswa semester 9 ke atas sebagaimana yang dituntut oleh mahasiswa, Prof Mardan menegaskan tidak ada perubahan.

“Yang ada itu peninjauan, misal tadinya katergori 7, tiba-tiba orangtuanya miskin, bangkrut, bisa menyurat ke rektor untuk melakukan peninjauan, tapi untuk mahasiswa akhir (semester ke atas) tidak ada,” terangnya.

Tulisan ini telah terbit pada Tabloid Edisi 115 Spesial Magang

Penulis: Heni Handayani, Andi Resky Satrio
Editor: Arya Nur Prianugraha

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami