Askar Nur: Wisuda Sebagai Ajang Perenungan

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok.pribadi Askar Nur

Karung Padi Pak Tani

“Saya terinspirasi dengan perkataan Dandy Laksono, bahwa sekecil apapun dinamika sosial mahasiswa atau anak muda harus melibatkan diri dalam proses itu,” tutur demisioner Dewan Mahasiswa UIN Alauddin Makassar periode 2018-2019 ini.

24 Oktober 1995 merupakan hari bahagia bagi pasangan suami istri Sukardi dan Hafsah, keluarga yang menggantungkan nasib pada hasil panen di sawah ini dikarunia anak laki-laki yang kemudian diberi nama Askar Nur. Askar kecil tumbuh di desa bernama Allamungeng Patue, Bone. Tumbuh menjadi anak buruh tani, ia terbiasa ikut bapaknya ke sawah terutama saat musim panen tiba. Kebiasaan inipun berlanjut hingga ia menjadi mahasiswa di UIN Alauddin Makassar mengambil jurusan Sastra dan Bahasa Inggris, Fakultas Adab dan Humaniora.

“Saat pulang kampung (Bone), ketika sawah siap dipanen, bapak saya panen, saya pun ikut ke sawah. Disitu saya melihat ketika bapak saya mengisi padi kedalam karung, kemudian menjahit mulut dari karung tersebut, karung yang penuh dengan padi akan berdiri dengan kokoh, stabil dan enak dipandang,” jelasnya.

Kegiatan memasukkan padi kedalam karung hingga terisi penuh ini bagi Askar sama dengan ungkapan klise tentang wisuda, antara wisuda tepat waktu atau wisuda tepat pada waktunya. Duta literasi UIN Alauudin Makassar tahun 2019 ini tentu tak memilih wisuda tepat waktu, terbukti dengan 14 slip pembayaran yang ia kantongi. Sama dengan karung yang diisi penuh dengan padi, ia juga memilih mengisi karung pengetahuannya sebanyak-banyaknya di dunia kampus dibanding tergopoh-gopoh menyelesaikan studinya.

“Hal berbeda ketika karung tidak diisi penuh oleh padi, maka karung akan berdiri tidak beraturan, sama sekali tidak kokoh, dan tak enak dipandang mata,” paparnya.

Satu kesyukuran bagi Askar dianugerahi kedua orang tua yang selalu percaya bahwa anaknya akan mengambil keputusan terbaik, termasuk masalah waktu wisuda.

“Orang tua saya tidak pernah menggenjot ataupun memaksa saya untuk menyelesaikan studi walaupun saya harus mengantongi 14 slip pembayaran, beliau juga sama sekali tidak pernah mengeluh didepan saya dan menyerahkan sepenuhnya kepada saya apa yang terbaik,” paparnya.

Literasi Diskusi dan Demonstrasi

“Saya katakan bahwa kampus adalah laboratorium sosial, jadi segala hal bisa kita spekulasikan, bisa kita uji cobakan, hingga akhirnya melahirkan benih-benih pemikiran, entah itu bersumber dari proses penyatuan beberapa filsuf atau pemikiran pemikiran yang lain yang kemudian kita terjemahkan lebih kecil dan menjadi bentuk pemikiran dari kita sendiri,” jelas pemuda dengan hobi minum kopi, merokok, membaca dan menulis ini.

Taro Ada’ Taro Gau’  sebuah pepatah lama dari Kabupaten Bone yang Askar pegang selama merantau ke kota Daeng. “Artinya ketika kita mengatakan sesuatu pantang untuk tidak melakukannya, nah dari situlah saya berpikir bahwa dunia hari ini lebih suka beternak kata-kata daripada menetaskan tindakan, karenanya saya mencoba merefleksikan ke diri sendiri apapun yang saya katakan, itu yang saya akan lakukan, untuk itulah pentingnya ada fase pertimbangan, perenungan yang panjang untuk sampai kepada suatu tindakan,” jelasnya.

Sebelum menggunakan toganya pagi tadi, Askar Nur adalah sosok mahasiswa yang terkenal suka mengkritik kebijakan kampus, saat ia menjabat ketua Dema-U maupun ketua HMJ Bahasa dan Sastra Inggris, setidaknya ada tiga aksi besar yang ia masih ingat hingga saat ini, diantaranya Auto Parking, gerakan yang diinisiasi oleh para mahasiswa yang resah dengan kebijakan Auto Parking tahun 2016,  Cleaning Sevice, hingga  revisi kategori UKT. Namun menurutnya demonstrasi adalah langkah terakhir “masih banyak opsi dalam mengadvokasi satu bentuk kebijakan yang kita nilai sama sama bahwa ini terdapat sesuatu yang mengganjal,” tuturnya.

Baginya demonstrasi terjadi karena ada sesuatu yang ingin ditunjukkan, misalnya terjadi kecacatan pengelolaan suatu bentuk kebijakan, karenanya demonstrasi yang baik terjadi ketika mengikuti fase-fase manajemen aksi demonstrasi yang telah hadir, diantaranya membaca dan diskusi.

“Diskusi adalah bagaimana menghadirkan ruang kedewasaan bagi diri kita, baik dari segi berpikir maupun bertindak, dan diskusi itu tidak bisa dilakoni tanpa adanya sebuah proses. Proses dari pendiskusian ini akan hadir disaat ada keraguan terhadap suatu bentuk, taruhlah ilmu pengetahuan. Nah bagaimana cara proses penggalian itu, maka kita diharuskan atau kita membutuhkan untuk membaca buku,” jelasnya.

Alumnus yang pernah cuti di tahun 2014 ini mengibaratkan membaca buku adalah ruang berdiskusi dengan penulis buku yang sedang ia baca, ia menikmati berdiskusi dengan orang-orang yang belum pernah ia temui dalam dunia nyata, misalnya filsuf-filsuf, pemikir-pemikir yang telah mendahului. Tak jarang dari hasil bacaan tersebut muncul pertanyaan-pertanyaan baru baginya.

“Dalam proses membacanya itu akan melahirkan entah itu keraguan, entah itu rasa penasaran, atau persoalan ketidaktahuan saya terhadap sesuatu. Jelas saya ingin memperjelasnya dan langkah yang saya tempuh adalah dengan berdiskusi,” jelasnya.

Rutinitas menjadi aktivis kampus yang banyak menyita waktu bukanlah satu masalah bagi Askar, malah ia mengaku jika waktu bisa diputar maka Askar akan lebih awal berorganisasi. Salah satu moment terbaik adalah ketika menjabat menjadi ketua HMJ Bahasa dan Sastra Inggris tahun 2016.

“Tahun 2016 waktu saya banyak dihabiskan kajian isu terhadap polemik polemik di Fakultas Adab dan Humaniora, keresahan keresahan teman teman kemudian saya tulis, lalu mengumpulkan beberapa data yang dibutuhkan, rutinitas inipun akhirnya menjadi hobi saya hingga saat ini yakni menulis,” jelasnya.

Lewat wawancara via WhatsApp dengan reporter Washilah, Askar mengaku tidak pernah ikut kelas menulis ataupun ikut sekolah menulis. Baginya menulis sebagi bentuk refleksi, rekaman apa yang ia lakukan, baik proses pendiskusian, bertindaknya dan lain sebagainya. “Fenomena apa yang saya temukan didunia nyata itulah yang rekam, dari rekaman itu instrumen selanjutnya saya harus menulis,” tuturnya.

Askar juga mengaku tertarik dengan beberapa tokoh, misalnya Pramoedya Ananta Toer, Maxim Gorky, William Saroyan, Sartre, Merleau-Ponty, Saint-Exupery, Edmund Husserl, Bourdieu, Althusser, “Saya mengikuti perkembangannya tapi tidak berhenti kepada apa yang dia tulis, tapi lebih kepada sistematika bagaimana mereka menghadirkan narasi yang bisa masuk dalam pemikiran, kemudian memunculkan pertanyaan baru bagi saya,” jelasnya.

“Menurut saya keberhasilan sebuah tulisan adalah tulisan itu hadir untuk menjawab pertanyaan pembaca dan menghadirkan pertanyaan baru bagi si pembaca, dan itu asiknya ruang menulis,” jelasnya.

Ia juga menegaskan tujuannya menulis “Saya menulis untuk diri saya, saya menulis diatas sesuatu bukan untuk sesuatu yang sampai hari ini mempengaruhi pimikiran saya. Capaian saya dalam menulis adalah memunculkan apa yang tidak muncul di permukaan yg sebenarnya masalah besar, mengumpulkan point polemik polemik yang hadir kemudian saya benturkan ke aturan yang berlaku, saya tidak menulis dibawah deadline, pujian apalagi sogokan,” tegasnya.

Wisuda sebagai arena merenung

“Makna wisuda selain persoalan ceremony, gradution ataupun pelepasan masa menjadi mahasiswa, wisuda adalah ruang perenungan sepak terjang menjadi mahasiswa yang pernah kita lalui selama masa kuliah,” tutur Pria dengan gelar S, Hum ini.

Menyelesaikan studi di Universitas menjadi momentum yang paling dinanti mahasiswa, wisuda artinya setiap alumni akan memulai langkah baru, bagi Askar sendiri wisuda menjadi arena baginya untuk merenung, “Saat wisuda saya merasa hal pertama yang harus dilakukan adalah merenung, merefleksikan, kemudian mengintrospeksi segala hal yang patut untuk kita recook menjadi sebuah kesimpulan, sebuah pemikiran, sebuah motivasi sendiri untuk langkah selanjutnya,” jelasnya.

Lebih lanjut ia menjelaskan wisuda lebih kepada ruang atau arena kepada calon wisudawan/wisudawati untuk menghadapi corak kehidupan yang lebih baru, segala hal yang patut diambil yang diinternalisasi secara baik kemudian nanti akan dieksternalisasi.

Pada akhirnya Askar Nur yang sudah sah menjadi alumnus UIN Alauddin Makassar, berharap kampus yang di nahkodai Prof Hamdan Juhannis itu, semoga peradaban meniscayakan dinamika dan perkembangan ilmu pengetahuan pada SDM yang ada khususnya di lingkungan mahasiswa. Tentu harapan besarnya adalah adalah perhatian khusus untuk perkembangan keilmuan mahasiswa dan kampus sekiranya mampu memfasilitasi, misalnya terdapat semacam program untuk pelatihan riset yang tidak hanya dilakoni saat menjelang pengurusan skripsi atau untuk kepentingan mata kuliah saja tapi kita butuh arena riset yang dinamis.

“Keterlibatan mahasiswa dalam observasi dan penelitian untuk kurikulum yang berbasis riset ilmiah, dan melalui serangkaian kegiatan yang menyokong kuat basis-basis ilmu sosial dan humaniora. Perubahan sosial yang didukung oleh penelitian sosial patut dikokohkan untuk kampus dengan konsepsi peradaban yang tetap Asri dan lebih subur,” tutupnya.

Penulis: Nurul Wahda Marang
Editor : Rahma Indah

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami