Oleh: Muhammad Aswan Syahrin
Kurang lebih 150 km dari Ibu Kota Provinsi Sulawesi Selatan. 9 Mahasiswa UIN Alauddin Makassar sedang menunaikan ibadah Kuliah Kerja Nyata (KKN), tepatnya di Desa Tombolo Kecamatan Kelara Kabupaten Jeneponto. Selama 45 hari kami akan melakukan berbagai kegiatan yang sifatnya membina masyarakat disini.
Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik UIN Alauddin Makassar Prof Mardan M Ag saat pembekalan menjelaskan hakikat dari KKN itu adalah praktik lapangan tentang ilmu yang kita peroleh yang sifatnya multidisipliner. Artinya satu kelompok ada dari kesehatan, sains, pendidikan sosial dan juga ahli Agama.
Dengan modal ide dan gagasan diharapkan mampu membawa perubahan dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusia di Desa tersebut.
Sebelum sampai lokasi, curhat peserta KKN, mereka sangat kawatir dengan isu yang berkembang dari luar kabupaten itu. Pasalnya, masyarakat Jeneponto dikenal memiliki kepribadian keras. Tak hanya itu, tanah yang tandus, kekurangan air menjadi hantu bagi mereka yang akan melaksanakan pengabdian. Sehingga banyak yang was was apakah kehidupan mereka akan baik atau malah sebaliknya.
Ada yang sampai menangis, meminta dipindahkan. Namun, momok itu berhasil dipecahkan pasca mereka berada di lokasi dan mulai beradaptasi dengan masyarakat sekitar. Ada yang kaget hingga menyesal karena telah memikirkan hal-hal yang tidak baik tentang kehidupan Desa ini.
Suasana sejuk di malam hari, canda tawa masyarakat membawa kami terasa menjadi bagian selama 45 hari kedepan.
Kata Dosen Pembimbing KKN Angkatan 62 di kecamatan Kelara Pak Abdi bahwa masyarakat Jeneponto itu seperti Durian. Durian mengajar banyak hal tentang kehidupan. Kulitnya berduri, mengisyaratkan kita bahwa ia sulit ditaklukkan. Duri durinya berfungsi sebagai tameng dan pelindung isi dalamnya yang lezat. Tak jarang tangan kita tergores sengatan duri duri yang runcing. Salah cara mengupasnya, bisa berdarah tangan kita.
Tidak jauh berbeda dengan kehidupan sehari-hari masyarakat Jeneponto itu khususnya Desa Tombolo ini, banyak yang memahami mereka keras, tapi pas berbaur sama mereka itu sangat halus, menerima lapan dada. Jika diganggu barulah mereka berulah.
Ada hal menarik yang bisa dipetik sebagian orang disini. Meski petani jagung, mereka tetap berprinsip padi. Filosofi jagung kata masyarakat disini, semakin tua, ia semakin berdiri tegak. Sementara padi, tua semakin menunduk. Artinya, jika ia sudah berada dirinya melesungkan dada, bahwa dialah yang harus dihormati. Tapi Masyarakat diisni sebaliknya padi semakin menunduk.
*Penulis merupakan Mahasiswa Ilmu Politik UIN Alauddin Makassar*