Oleh: Ma’ruf Nurhalis
Siapa masih terngiang slogan itu? kecuali tak sengaja? Iya? Atau untuk sebuah lelucon makan siang di kantin? tergantung siapa dan untuk apa, slogan itu masih sering disebut. Mungkin akan kembali mewarnai kain-kain yang melintang di jalan-jalan kampus. Sejumlah kata-kata itu, entah apa pula gunanya. “Selamat Datang Mahasiswa Baru Di Kampus Peradaban…” begitu saja, sudah.
Kain-kain yang dimanfaatkan mungkin bekas pakai. Tapi kita membiayai pembelian cat. Mungkin sekitar berapa rupiah, sisa dari isi dompet bendahara atau hasil inisiatif sendiri. Sejumlah tenaga yang mengaku kreatif memilih kalimat itu. Tidak salah. Tapi tidak pedulikah, bila kata-kata itu bakal diacuhkan. Sudah jadi pengulangan sejak slogan itu dipestakan. Spanduk berisi slogan adalah hiasan rutin. Setiap saat untuk kesan ceremony kegiatan-kegiatan kampus. Paling gemar untuk menyambut mahasiswa baru dan tahun ajaran baru.
Sebagaimana Jean Baudrillard, pemikir asal Perancis, menulis banyak hal mengenai citra. Slogan senafas dengan kata-kata dalam iklan. Tapi iklan sedikit lebih meriah dan terlentang disudut-sudut yang jauh lebih mudah ditemukan. Tak ada bedanya juga dengan spanduk. Informasi-informasi yang tak lebih bermaksud menyampaikan citra. Jean Baudrillard bisa memaparkan kepada kita alasan-alasan tertentu mengapa mahasiswa tertarik masuk ke Universitas Islam Negeri (UIN), jauh lebih luas. Menyentuh persoalan hubungan subjek dan objek berdasar dugaan simulacrum. Sekaligus juga hubungan teks dan referensinya. Dan lebih dalam, soal harmonisasi kita dan kata. Tapi citra sudah terlanjur merebut si pembuat slogan yang mungkin memikirkan hal yang sama atau sekalipun, tidak terlintas. Tidak perlu repot-repot memikirkannya. Dengan sisa inspirasi yang tinggal sedikit. Memang sudah membosankan dan tidak lagi menggugah. Slogan “Kampus Peradaban” mudah sekali diplesetkan “Kampus Kebiadaban”. Seringkali terlihat dan terdengar di sudut-sudut keramaian kampus. Sebab sebagaimana kebiasaan gaya pejabat-birokrat, penggandaan wujudnya mudah sekali kita lihat dalam pesawat TV. Tapi paling sering disebarkan dengan tagar di media sosial. “Saya telah menyebutnya. Mereka tertarik atau tidak. Sudah.” Sesederhana itu cara kerjanya.
Sudah sekian tahun. Barangkali delapan tahun. Slogan itu disusun bersama proyek penerbitan seribu buku yang terus dikumpulkan hingga hari ini. Di gedung rektorat buktinya terpajang dalam lemari berpintu kaca geser. Seberapa banyak sudah dimiliki. Aduh, jangan tanya berapa yang sudah dibaca. Cukup maklum saja. Slogan yang dilandasi euforia nyatanya memang tidak diikuti efektifitas. Resiko menelorkan slogan, sekedar bunyi-bunyian akan seketika redup tanpa penyangga pendukung, penyangga pembukti.
Siapakah penyangga pembukti? Mereka yang sekarang mudah kita jumpai. Kalau berani ketuk pintunya. Mereka sibuk berinteraksi dengan sintaksis SK dan tanda tangan dan memo-memo kantor. Merekalah para penyangga slogan yang kini juga sama membosankannya. Sedikit dosen yang memilih menjadi inspirator mahasiswa. Sebab takut menyimpang, takut buang-buang waktu atau sebenarnya gaji. Takut membangunkan tidur orang banyak. Karena perbuatan itu sudah dianggap merepotkan. Melambangkan ketidakpatuhan. Sebabnya mereka sadar atau tak sempat sadar, di kelas menjadi legislator-epistimologi. Memilih apa yang baik bagi otak mahasiswa sesuai ukurannya. Sifatnya mirip paternalisasi abad pertengahan. Jadilah jalan pencerahan itu sepi. Segelintir mahasiswahanya berbekal keberanian dan sepenuhnya kebebasan bertekad menyusurinya. Resiko mendapati stigma gelap jadi makanan sehari-hari.
Slogan tidak berfungsi untuk menelorkan “eureka”. Sayang sekali. Jika selama menjadi pembelajar di universitas yang selayaknya perkumpulan manusia penyadap hayat zaman, para pembelajar tidak bisa merasakan manisnya momen “eureka”. Itu momen yang membuat Archimedes berlari keluar rumah tanpa sadar telanjang bulat. Tapi aih, itu “aku telah menemukannya” beruntunglah yang pernah merasakannya.
Euforia terhadap slogan cocok buat semangat berperang. Tapi tentu saja ukuran menang dan kalah yang terpenting adalah alutsistanya. Begitu juga dalam proses komersial. Slogan tepat ditulis di surat kabar. Tersebar di pagi hari. Tentukan anggarannya. Besok jalankan segera proyeknya. Sang atasan ngangguk-ngangguk. Dan di sini kita geleng-geleng kepala atau sama bangganya.
*Penulis merupakan Mahasiswa Jurusan Aqidah Filsafat Islam Semester XII Fakultas Ushuluddin Filsafat dan Politik*