Washilah – Polewali Mandar adalah salah satu kabupaten di provinsi Sulawesi Barat, Polman begitulah nama singkatan kabupaten ini, sebelum tahun 2002 Polewali Mandar masih menyatu dengan kabupaten Mamasa, itulah mengapa kabupaten ini sebelumnya bernama Polewali Mamasa atau yang lebih dikenal Polmas. Tahun 2004 pemerintah Provinsi Sulawesi Barat menyatakan berpisah dengan provinsi Sulawesi Selatan setelah perundingan sejak lama.
Polewali Mandar adalah kabupaten yang berbatasan langsung dengan Provinsi Sulawesi Selatan, pada masa pemerintahan kolonial Belanda banyak kabupaten yang ada di provinsi Sulbar yang merupakan daerah transmigrasi penduduk, salah satunya adalah Polewali Mandar. Polman adalah daerah tempat masyarakat Jawa dipindahkan pemerintah Belanda, karena pada saat itu wilayah Jawa sudah terlalu padat yang mengakibatkan pemerintah Kolonial Belanda terpaksa memindahkan sebagian penduduk Jawa yang memiliki ekonomi rendah ke wilayah yang masih memiliki banyak sumber daya.
Wonomulyo adalah kecamatan yang terletak di tengah kabupaten Polewali Mandar, Wonomulyo merupakan kecamatan yang dihuni kebanyakan oleh masyarakat bersuku Jawa karena kecamatan ini adalah kawasan pusat transmigrasi yang ada di Polewali Mandar. Karena banyaknya ragam suku yang ada di Polewali Mandar, ada banyak pula budaya serta adat istiadat yang ada di kabupaten ini.
Walaupun merupakan daerah transmigrasi, Polman merupakan daerah yang lebih condong kepada budaya suku Mandar, karena suku ini adalah suku asli serta paling banyak di kabupaten ini. Ada beragam adat serta budaya suku yang khas, salah satunya adalah Sayyang Pattu’du yang berarti kuda menari, acara adat Sayyang Pattu’du biasanya diadakan dalam rangka merayakan sebuah acara khatam Al-Quran di mana anak yang telah berhasil menghatamkan Al-quran di bawah penggunaan kuda yang bisa menari mengikuti musik rebana yang dimainkan oleh sekelompok pemuda yang disebut “Parrabana” yang kemudian mengantarkan sang anak menuju tempat pengajian untuk menemui guru mengaji dan kemudian disahkan sebagai anak yang telah mahir membaca dan berhasil menghatamkan Al-quran.
Sebelum masuk ke rumah sang guru mengaji biasanya “Parrabana” akan mendendangkan pantun berbahasa Mandar dengan bunyi jenaka dan mengoyak semagat serta tawa para hadirin yang ada di lokasi pada saat itu. Pantun yang didendangkan pun tidak boleh sembarangan, diantara syairnya harus bisa menandakan maksud dan tujuan rombongan acara mendatangi rumah yang dikunjungi.
Pada zaman modern sekarang ini Sayyang Pattu’du tidak lagi digunakan khusus dalam acara khatam Al-quran melainkan banyak acara lain yang turut dimeriahkan oleh budaya khas suku Mandar ini, diantaranya adalah Maulid dan penyambutan tamu khusus (biasanya dilakukan oleh instansi pemerintahan dan pendidikan.
Penulis: Ilham Hamsah (Magang)