Agama Politik

Facebook
Twitter
WhatsApp
Dok Pribadi I M Shoalihin

Oleh: M Shoalihin

“Agama adalah opium bagi masyarakat.” Kata yang sering kita dapatkan dari literatur yang berkaitan dengan Karl Marx seorang pemikir hebat yang mempunyai konsep pemikiran yang hingga saat ini masih menemani perjalanan panjang manusia.

Bahwa Marx melihat agama hanya dijadikan alat kepentingan, sehingga agama yang pada dasarnya dianggap sebagai sebuah jalan agar manusia memahami segala hal yang baik dan benar untuk menunjang panjangnya kehidupan manusia. Lalu menyebabkan banyak persoalan yang manusia temui dalam kehidupannya.

Agama merupakan satu hal yang paling diminati manusia untuk dijadikan alat pemuas spiritual dan kehidupan sosial manusia. Karena banyaknya permasalahan yang manusia secara individu maupun kelompok temui dalam kehidupannya yang sulit manusia jelaskan menggunakan indranya maupun dengan metode lainnya seperti sains yang masih sedikit banyak belum mampu memuaskan segala tanya dari manusia.

Agama telah banyak digunakan sebagai kepentingan seperti politik identitas yang seringkali digunakan sebagai salah satu jalan politik untuk tujuan tertentu. Tak terkecuali di ajang politik nasional bangsa Indonesia.

Politik identitas sendiri adalah sebuah jalan politik yang menggunakan ras, agama, suku dan perbedaan yang mencolok lainnya dalam diri manusia untuk meraih keuntungan serta kepentingan mobilisasi secara langsung maupun tidak langsung.

Politik identitas menekankan kelakuan seseorang seperti agama misalnya, yang kemudian diangkat untuk meraih simpati dari orang-orang yang beragama, yang menjadikan agama sebagai landasan hidup dan akan berpengaruh pada kehidupan sosial. Agama yang menjadi mayoritas sering kali menjadi alat politik identitas.

Agama dan para pemuka agama adalah hal yang dianggap mampu merubah pandangan masyarakat. Dan ini yang kemudian digunakan oleh para calon pemimpin dalam kontestasi politik. Kemudian dibarengi kesadaran masyarakat yang memahami agama secara tidak universal sehingga gampang saja terprovokasi.

Agama yang seharusnya menjadi jalan untuk meluruskan umat dalam kehidupan pribadi dan yang harus berefek baik kepada kehidupan sosial. Namun agama menjadi momok, alat pencipta kebencian, alat kepentingan dan malah menjadi tangga untuk saling menginjak. Agama dan orang-orang yang membutakannya, demi kepentingan. Pemuka agama pada semestinya harus membimbing umat untuk tidak semakin mengenyampingkan tata nilai yang menjadi pokok ajaran agama itu sendiri.

Salah satu partai politik yang turut berpartisipasi dalam kontestasi pemilihan umum serentak 2019 mengaku menjadi korban dan menyesal telah masuk dalam koalisi kubu yang menggunakan siasat politik identitas. Karena gagal dalam meraih suara masyarakat yang minoritas. Hal ini menunjukkan bahwa secara terbuka agama telah digunakan sebagai alat politik identitas.

Terlihat jelas dengan banyaknya para pemuka agama yang ikut serta dalam ritme politik, sehingga tak sedikit kita jumpai kasus agama yang diangkat dan dipublikasi oleh media dengan tujuan politik. Lalu para pemuka agama berusaha menanam pengaruh kepada masyarakat melalui agama. Tidak terkecuali partai politik yang punya unsur agama atau aliran keagamaan, khususnya agama mayoritas.

Tak heran para pemuka agama saling mengkafirkan satu sama lainnya. Masyarakat yang tak punya pemahaman yang mendalam menjadi korban yang dengan setengah mati membela hingga jiwa pluralnya dikesampingkan. Orang-orang yang paham agama tidak akan menggunakan siasat agama untuk politik kepentingan jika mereka paham bahwa agama harus dijadikan ideologi dan pemahaman individu yang kemudian harus berdampak baik untuk sosial.

Rezim yang tak jarang pula menggunakan simbol-simbol kegiatan keagamaan untuk menyihir mata masyarakat demi kepentingan. Agama sangat berpengaruh, sebab ia tertanam sangat dalam melampaui batas-batas pemikiran, banyak manusia bersandar pada dalil-dalil agama. Hingga agama sangat hebat jika digunakan dalam ranah politik.

Budaya, ras, suku dan hal lainnya yang sering dijadikan politik identitas menjadi kurang memiliki power untuk menjadi jalan meraih kekuasaan, sebab budaya yang terlalu amat banyak. Di sisi lain Indonesia hanya memiliki beberapa agama yang memiliki nilai saing dalam konteks politik maka agamalah yang menjadi pilihan paling tepat para siasat politik kekuasaan bangsa ini. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa ras suku dan budaya pun digunakan.

Di lain sisi sebagian masyarakat tetap saja fanatik dengan para elit politik serta sejuta harapan manis yang menjanjikan kesejahteraan. Para pelaku politik identitas terus menjadikan agama untuk menarik massa demi suara kepentingan. Lalu setelah itu kembali lagi dimanfaatkan, agama tak terpakai lagi dalam praktek sosialnya setelah menduduki kekuasaan. Lagi-lagi agama salah ditempatkan oleh para pemeluknya demi kepentingan.

Kebijakan akan dikendalikan siapapun yang akan menjadi pemimpin. Semua diharapkan berjalan pada koridornya masing-masing, politik dan agama harus menjadi alat yang memanusiakan, sebab tak terpungkiri keduanya harus tetap ada.

Agama politik dengan sejuta tanda tanya yang fana, umat terombang ambing, agama tak lebih rumit dibahas oleh para pemuka agama daripada siapa yang memimpin, siapa yang mengendalikan proyek negara. Yang pada akhirnya melahirkan perpecahan pemahaman karena kepentingan. Di dunia yang amat fana dan gelap ini manusia harus mandiri dalam berfikir, serta pluralisme adalah jalan abadi menuju kemanusiaan.

Lantas masihkah kita menggunakan agama sebagai identitas. Yang dengannya pula kita saling membunuh.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Hukum Pidana dan Ketatanegaraan (HPK) Fakultas Syariah dan Hukum (FSH) semester II.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami