Pemilma dan Positioning Politik Mahasiswa

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik Syahrir Karim

Oleh : Syahrir Karim

Pemilma boleh dikatakan sebagai efek gelombang demokrasi yang tidak terbendung. Kesadaran bahwa semua orang punya hak berbicara, hak untuk dipilih dan memilih begitu kuat. Berangkat dari sinilah kemudian kampus memberi ruang berdemokrasi bagi mahasiswa yang disebut Pemilihan Mahasiswa (Pemilma). Laiknya Pemilma ini kemudian menjadi wadah “politik praktis” mahasiswa yang cukup menarik perhatian. Tentu kampus tidak sepenuhnya bisa memberi ruang berdemokrasi sesuai harapan demokrasi yang sebenarnya, di samping karena faktor keterbatasan finansial juga karena kampus memang terbatas pada kegiatan tridarmanya.

Kesadaran Politik Mahasiswa

Pemilma sebagai aktivitas “politik” mahasiswa dalam kampus bukanlah ruang hampa politik kepentingan. Mulai kepentingan yang sifatnya pragmatis sampai pada hal-hal yang sifatnya ideologis. Maka menjadi hal yang biasa dalam kontestasi politik ada riak-riak yang butuh perhatian serius dari pimpinan khususnya bidang kemahasiswaan.

Aktivitas politik merupakan aktivitas untuk memosisikan diri dan mereposisikan diri, dengan setiap aktivitas yang dilakukannya untuk mendefinisikan identitas organisasi dan konstituennya. Kontestan dalam pemilma sebagian besar merupakan representasi dari identitas kelompoknya, sehingga terbangun polarisasi politik dengan warna ideologis masing-masing.

Secara umum, dinamika politik mahasiswa ini merupakan cermin kesadaran politik mahasiswa, civitas academica sepintas dituntut untuk lebih mapan dalam berdemokrasi. Kesadaran ini di satu sisi menjadi petanda positif bagi mahasiswa dalam menumbuhkan kesadaran kritisnya, meskipun di sisi lain justru masih memperlihatkan pragmatisme politik mahasiswa yang masih miskin gagasan ataupun ide dalam kontestasi politiknya. Politik bagi mahasiswa mesti dimaknai tidak semata tentang cara meraih kekuasaan saja, akan tetapi lebih dari itu yakni berpolitik untuk menciptakan kesejahteraan bersama. Kesadaran bahwa kelak ketika terpilih akan menjadi mitra strategis universitas untuk bekerja masih terbilang rendah. Hal ini bisa dievaluasi dengan banyaknya program kerja yang tidak berjalan setelah menjabat serta masih belum maksimalnya komunikasi yang terbangun antara pengurus lembaga dan pihak kampus terutama dosen dan pejabat baik fungsional maupun struktural dalam menjalankan program kerjanya.

Positioning Politik Mahasiswa

Kesadaran politik mahasiswa tentu mesti dibarengi dengan kesadaran akan pentingnya nilai-nilai etika. Hal ini penting agar mahasiswa tetap menyandang dirinya sebagai insan akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai moralitas. Sangat jelas terlihat, dimana sebagian besar mantan-mantan pengurus lembaga kemahasiswaan ketika lulus menjadi orang-orang sukses di bidangnya masing-masing. Sebagian besar para mantan aktivis ini menjadi politisi, aktivis NGO, dll. Modal menjadi mantan aktivis di kampus terkadang menjadi rebutan para elit di luar sana, baik elit politik, masyarakat, birokrasi, dll. Bahkan, sebagian aktivis mahasiswa yang masih berstatus mahasiswa aktif sudah terlibat dalam kerja-kerja politik praktis seperti Pilpres, Pileg, Pilkada sampai di tingkat Pilkades. Disinilah kelihatan positioning politik mahasiswa dengan segala kemampuannya bisa menarik orang untuk merangkulnya.

Mantan-mantan aktivis ini mampu membangun “marketing politik” yang baik ketika mereka keluar dari kampus. Daya tarik ini tentu tidak berdiri sendiri, tapi ditopang dengan kematangan pengalaman sebagai aktivis. Daya beli masyarakat dalam menerima mantan-mantan aktivis kampus biasanya lebih terbuka lebar dibandingkan dengan mereka yang tidak sama sekali punya pengalaman organisasi.

Positioning politik ini tentu akan terus terjaga ketika image positif tentang aktivis mahasiswa juga tetap terjaga. Sebaliknya, ketika mahasiswa sejak mengurus lembaga dan rekam jejak politik praktisnya di kampus terbangun image negatif maka ini bisa saja akan berpengaruh negatif terhadap mental dan karir politiknya kelak. Sebutlah misalnya, bagaimana Pemilma memunculkan kekerasan fisik, intimidasi, black campaign, dll. tanpa mengedepankan politik gagasan untuk menarik hati pemilih.

Pemilma setidaknya telah membentuk mental politik mahasiswa. Betapa banyak bukti diluar sana mantan-mantan aktivis yang terbilang politisi muda terlibat banyak kasus korupsi maupun perilaku politik yang tidak terpuji lainnya. Oleh karena itu, mulailah dari Pemilma dalam membentuk kesadaran politik, mental politik, dan perilaku politik agar melahirkan positioning politik mahasiswa lebih kuat dan diterima oleh masyarakat nantinya.

*Penulis merupakan Ketua Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik UIN Alauddin Makassar

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami