Washilah On Weekend (WOW): Malino

Facebook
Twitter
WhatsApp
Laporan: Ahmad Muhammad Qomar 

Kesibukan sebagai wartawan kampus tidak lantas membuat kru Washilah melupakan masa akhir pekannya untuk bersantai. Malino adalah salah satu tempat rekreasi di akhir pekan yang dekat, murah, dan tentu saja menyenangkan.

Pagi hari kami berkumpul di rumah Jusfaega di daerah Paccinongan. Tempat yang strategis untuk memulai perjalanan menuju ke Malino, sabtu (16/08). Perjalanan kali ini hanya diikuti oleh lima kru Washilah: Luqman Zainuddin, Asrul, Hikmawati, Jusfaega, dan saya sendiri. Rombongan kami memang sedang berjumlah sedikit karena sebagian kru sudah kembali berlibur di kampungnya masing-masing.

Pendakian di jalan Pattalasang yang cukup berbahaya

Perjalanan kami dimulai pukul 08.40 wita. Untuk menghemat jarak tempuh perjalanan kami ke Malino, yang terhitung berjarak 90 Km dari kota Makassar, kami mengambil jalur Samata – Pattalasang. Meskipun memotong jalan hingga 20 Km dan melalui jalan lurus bin mulus, tapi kami juga harus menemui kesulitan saat harus melalui pendakian Pattalasang. Pendakian ini terhitung curam, berbatu, dan berdebu, bahkan pada musim hujan menjadi sangat licin. Sehingga tidak jarang banyak pengendara motor yang terjatuh saat menaiki pendakian ini.

Jalur ini Samata – Pattalasang memang menjadi alternatif bagi setiap pengendara yang ingin menuju atau melewati Malino. Kebanyakan yang sering memakai jalur ini adalah para pendaki yang menuju ke Lembah Ramma atau Gunung Bawakaraeng, dan sejumlah truk pengangkut pasir atau batu dari dan ke Malino.

Karena jalan yang masih sangat berbahaya, Jusfaega dan Hikmawati, harus turun dari boncengan dan berjalan kaki hingga ke puncak pendakian. Terlihat sejumlah warga membantu para pengendara yang melewati pendakian itu sambil menyodorkan kotak sumbangan perbaikan jalan. Terlihat di ujung jalan ada palang batu yang menghalangi jalan. Palang yang sengaja dipasang sejak awal Agustus itu, hanya dapat dilalui oleh motor. Sementara mobil dan truk yang akan melewati jalur itu, harus mengambil jalur poros Malino – Sungguminasa. Menurut warga setempat, pemerintah sudah menjanjikan perbaikan jalan sejak bulan Mei namun masih belum terealisasi. Sehingga sebagai bentuk protes, warga memasang palang tersebut.

Bentuk protes warga Pattalasang atas janji pemerintah

Di pertengahan jalan sempat juga menyaksikan perlombaan maraton. Lomba maraton itu digelar dalam rangka peringatan dirgahayu ke 69 Republik Indonesia (RI), yang tepat jatuh tanggal 17 Agustus 2014, esok hari. Kami harus berjalan pelan agar tidak mengganggu proses lomba yang memang jalur maratonnya adalah di jalan poros Malino.

Malino adalah salah satu daerah bagian dari  kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Malino yang dijuluki sebagai Kota Bunga, memang memiliki banyak pilihan tempat wisata. Mulai dari wisata kebun sampai wisata pemandian, yang tentunya dilengkapi dengan panorama alam yang indah dan menyejukkan. Jalanan panjang yang memiliki banyak tikungan dan sedikit berbahaya, justru ditunjang dengan aspal mulus, meski kami juga menemui beberapa lubang jalan dan kendaraan yang melaju kencang, membuat kami tetap harus waspada.

Monumen kota Malino
Sepanjang melintasi jalur poros Malino, kami disuguhkan dengan pemandangan perbukitan. Pohon-pohon hijau tumbuh dengan subur di sebelah kiri jalan, sementara di sebelah kanan terbentang lembah dengan aliran sungai yang menuju ke bendungan Bili-Bili. Aroma khas udara sejuk mulai terasa saat kami memasuki perbatasan kota. Sebelum tiba di kota, kami beristrahat sejenak di monumen Kota Malino. Tempat itu memang sering dijadikan persinggahan sebagian pengendara sekedar untuk berfoto.
Tujuan pertama kami adalah di wisata kebun strawberi. Ada banyak kebun strawberi di Malino, mulai dengan harga tiket masuk Rp 5000 hingga Rp 20000. Kami memilih salah satu kebun strawberi yang tidak terlalu luas namun memiliki latar pemandangan indah, Agro Wisata Strawberi. Tempatnya terletak daerah Lemo-Lemo, Tinggi-moncong, sekitar 4 Km dari jantung kota, dengan tiket masuk Rp 10000 per orang. Tempat itu juga memperbolehkan pengunjung memetik sendiri buah strawberi, dengan harga Rp 1000 per buah.
Bersama pengelola kebun strawberi, Daeng Summang (ketiga dari kanan).
Pengelola kebun strawberi, Daeng Summang, menjelaskan bahwa kebun miliknya tersebut baru dibuka tahun 2014 ini. Tidak hanya kebun strawberi, dia juga memiliki kebun markisa yang berada di belakang kebun strawberi.

“Kalau mau masuk kebun markisa bisa ji lewat kebun strawberi, tapi belum dibuka saat ini, karena markisanya belum berbuah,” ungkap daeng Summang. Kebun markisa hanya berbuah tiga kali setahun, sekitar bulan Oktober, Februari, dan Juni. Sedangkan strawberi berbuah sepanjang tahun.

Dia menambahkan, saat musim markisa berbuah, pengunjung hanya akan membayar satu tiket, dan sudah dapat menikmati kebun strawberi dan kebun markisa sekaligus. Rencananya, kebun strawberinya itu masih akan diperluas di daerah bukit.

Kebun strawberi, tidak hanya memanjakan mata tapi juga memanjakan lidah

Kami menghabiskan waktu lebih dari satu jam untuk berjalan-jalan di sepanjang kebun dan memetik sekaligus mencicipi beberapa buah strawberi yang memikat. Rasanya segar dan cukup manis. Tidak lupa pula, kamera lengkap tripodnya, mengabadikan momen kami di kebun strawberi tersebut.

Selepas dari kebun strawberi, kami menuju kembali ke kota. Tujuan berikutnya adalah wisata hutan pinus. Tetapi sebelumnya kami harus singgah di masjid dekat wisata hutan pinus untuk sholat karena saat itu sudah masuk waktu zuhur.

Wisata hutan pinus sendiri teletak 2 Km dari kota Malino, dan termasuk dalam kawasan Taman Wisata Alam (TWA) Malino yang luasnya + 3.500 Ha. Untuk masuk ke dalam sana, pengunjung hanya perlu mengocek receh sebesar Rp 3000 per orang. Tempat wisata ini telah dimanfaatkan oleh pemerintah daerah (pemda) kabupaten Gowa untuk menambah reribusi daerah. Saat ini tempat itu dikelola langsung oleh Hasan Sayuti bersama istrinya, Sahriah daeng Sompa, yang bekerja di dinas pariwisata daerah.

Di dalam tempat wisata, pengunjung dapat menikmati beberapa macam hiburan seperti menunggang kuda, flying fox, paint ball war, dam sejumlah fasilitas permainan outbond lainnya. Jajaran pohon pinus dan aneka tanaman liar berbunga indah, melengkapi eksotisme tempat wisata tersebut. Sayangnya setelah beristrahat sejenak, kami tidak bisa langsung memanfaatkan fasilitas wisata yang tersedia karena tiba-tiba gerimis mengguyur. Kami pun memilih berteduh di salah satu rumah-rumah makan yang berjejer sepanjang jalan, di seberang pintu masuk wisata hutan pinus.

Di setiap rumah makan itu kami menjumpai salah satu menu yang selalu tersedia sepanjang tahun, yaitu jagung rebus dan jagung bakar. Lengkap dengan sambal garam, setongkol jagung rebus sudah cukup mengganjal perut kami. Usai menyantap jagung rebus, gerimis berhenti, dan kami langsung beranjak kembali ke dalam hutan pinus.

Wisata hutan pinus tidak hanya sering digunakan oleh wisatawan luar, karena areanya yang cukup luas, tempat itu juga biasa digunakan oleh tentara untuk latihan. Saat itu kami dapat mendengar desingan peluru karena memang sedang digunakkan oleh tentara untuk latihan menembak.

Pengunjung yang ingin merasakan bagaimana menunggang kuda hanya membayar Rp 10000 satu kali putaran mengelilingi setengah hektar hutan atau Rp 75000 tiap satu jam. Fasilitas lainnya, seperti flying fox satu kali turun seharga Rp 20000, sedangkan untuk paint ball war dalam satu kali permainan seharga Rp 80000 per kepala.

Salah seorang petugas pengelola wisata, Winni, mengaku kalau pada akhir pekan seperti ini, pengunjung yang datang rata-rata 200 orang. Sementara pada tanggal merah (hari libur, red), pengunjung bisa lebih banyak lagi.

“Paling banyak yang datang itu kalau tahun baru, karena ada pertunjukan kembang api. Jadi buka ki sampai malam di sini,” ujarnya. Katanya, wisata hutan pinus ini dibuka dari pukul 08.00 sampai 17.00. “Karena jam lima, dibersihkan mi ini tempat,” tandasnya.

Bersama petugas wisata hutan pinus, Winni (kedua dari kiri).
Malino memang memiliki banyak tempat wisata unggulan lainnya, seperti air terjun Takapala’, permandian Lembah Biru, air terjun Tangga Seribu, hingga kebun teh yang dikelola oleh perusahaan teh. Tidak hanya memiliki kawasan hutan lindung, daerah Malino juga memiliki aneka ragam hayati lain berupa satwa lindung seperti kera hitam, biawak, jalak kerbau, raja udang, dan burung gelatik.

Sayangnya, karena hanya meluangkan waktu satu hari kami belum sempat mendatangi beberapa tempat wisata lainnya. Padahal kami sebelumnya berencana akan mengakhiri jalan-jalan kami di air terjun Takapala’. Namun karena kami sudah harus tiba di Makassar sebelum pukul 17.00 wita, jadi saat arloji kami menunjukkan pukul 14.40, kami memutuskan untuk segera kembali ke Makassar. Waktu tempuh perjalanan Makassar – Malino sendiri memakan waktu hingga dua jam.

Dari perjalanan kami kali ini, walau tidak banyak tempat yang dapat kami kunjungi, kami tetap dapat sedikit melepas penat atas kesibukan menjalani rutinitas sebagai wartawan di kampus. Berikutnya, rencana kami bulan depan adalah mengunjungi tempat wisata di Kajang.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami