Laporan : Juminah mahasiswa Jurnalistik FDK UIN Alauddin Makassar Semester I.
Di malam hening aku sendiri bersama secarik kertas putih dan sepotong pensil kecil. Aku curahkan semua isi hatuku padanya. Dikesendirian justru aku temukan apa yang selama ini yang aku cari. Sahabat. Awalnya aku merasa seperti orang bisu, setelah ditinggal pulang kampung oleh kakak satu kosanku. Tidak ada teman curhat. Namun di malam ini kusadari menulis adalah cara menyatukanku dengan sahabatku yaitu kertas dan pensil. Duh senangnya!
Tadi siang selepas aku pulang kuliah di kampus dua Samata Universiats Islam Negeri (UIN) Alauddin Makassar, mataku terlelap walau hanya untuk sejenak. Dalam keadaan sadar dan tidak, aku mendengar suara yang tidak asing lagi ditelinga memanggilku “Lya-Lya,” panggilnya.itu adalah suara ibuku. Tidak salah lagi suara itu khas miliknya. Ku ucapkan istighfar atas itu dengan derai air mata yang tidak terbendung. Meluncurlah bola salju di pipiku. Ku ucapkan rindu padanya. Di pikiranku saat itu adalah apakah ibuku sedang memikirkanku? Bagai mana keadaannya?
Kenapa panggilan itu serasa nyata bagiku. Tuhan tak sanggup aku menerkanya. Seperti itulah manusia zaman sekarang tidak tahu membedakan mana yang baik dan mana yang buruk. Sekalipun sudah tua. Ternyata tua tidak berarti lebih bijaksana, karena usia hanya kumpulan angka- angka.
Tua adalah sesuatu hal yang pasti, namun dewasa adalah sebuah pilihan. Dikeheningan malam ini sekitar pukul 02:00 ini aku dibangunka oleh gigitan nyamuk kecil, ku ucapkan terimakasi padanya, karena gigitannya lahir sebuah karya dari ujung goresan pensilku. Aku teringat dan ku renungkan hal-hal yang kulakukan sebelum tidur. Aku yang juga sebagai bendahara di pondokanku yang mengurusi masalah keuangan serta menagih biaya listrik dan air, mendapatkan sebuah teguran dari seorang senior.
Namun, sampai saat ini pasalnya aku belum paham siapa sebenarnya yang harus mendapat teguran. Seorang dosen masuk bukan pada jadwalnya adalah suatu hal yang biasa. Namun, hal itu sangat menjengkelkan ketika itu. Aku mendengar dering suara pesan singkat Hand Phone di tangan temanku “Dosen masuk” begitu isi pesan tersebut, tanpa pikir panjang dibasuh wajah, kaki dan tanganku ditinggal ritual ma’bedaku dan segera dipakai jilbab dan sepatuku serta tasku. Ku mantapkan langka kakiku menuju kampus yang berjarak kurang lebih 300 meter. Dalam hatiku menggumam apa gerangan yang diinginkan oleh dosen.
Dosen itu, apa yang sebenarnya mereka inginkan. Kenapa tidak konsisten dengan jadwal yang ditetapkan. Alasannyapun bervariasi ada yang umroh, bertabrakan dengan jam belajar kelas lain, ada jam sehabis dzuhur kurang efektif.
Duh, gimana kalau mahasiswanya yang mau belajar tiba-tiba, apa dosennya mau datang terengah-engah seperti aku, pikirku sinis. Mungkin yang dimaksudkan kapitalisme pendidikan. Sistim bertujuan untuk mendidik mahasiswa namun secara kangsung justru mengajarkan dan mengpraktikan sistim pembodohan dan membodohkan.
Penguasa memang selalu berkuasa. Banyak hal yang aku lakukan, tenaga dan pikiran serta memutar otak untuk menjawab semua saran, kritik dan protes dari mereka. Memang secara materil aku tidak mendapatkan hasil apa-apa dari perbendaharaan itu kecuali pusing.
Namun, setelah direnungkan ternyata sikap orang bisa dipelajari dan dipahami secara mendasar bila orang tersebut dihadapkan dengan pembicaraan uang. Inilah belajar dilapanggan, lebih seru dan sebuah teoritis. Ada yang langsung membayar, ada yang minta tenggang waktu dengan cara yang sopan, ada juga yang minta tenggang dengan cara yang kasar, ada juga yang memprotes namun tidak membayar. Duh Tuhan!!!
Inilah gambaran miniatur masyarakat. Ada sistim kapitalisme pendidikan yang hingga kini tidak mau harus dikemanakan arusnya. Banyak orang yang tidak punya prinsip dan akhirnya terbawa arus. Yang lebih parah lagi arus tersebut adalah arus ombak yang sekedar mengombang ambingkan pikiran yang tidak terprinsip. Banyak orang pintar namun tidak bijaksana, banyak orang kritis namun tidak bisa memberi solusi.
Banyak orang mengetahui sesuatu namun tiba-tiba buta dan tuli hanya karena uang. Ternyata tua tidak selamanya bijaksana dan dewasa. Seorang pemateri dalam sebuah pelatihan jurnalistik pernah menyatakan bahwa didunia kampus memang ada perbedaan angkatan yaitu junior dan senior, tetapi perlu digarisbawahi bahwa seorang senior tidak selamanya lebih pintar dari junior, maka bersainglah karena sistem pendidikan sekarang sudah tidak dibatasi dengan usia. Betul.
Begitulah kenyataan yang tengah dihadapi, namun ada tambahan sedikit bahwa senior akan malu untuk mengakui itu. Ternyata Indonesia benar-benar dalam taraf krisis kesadaran.