Opini: Pemuda Harapan Bangsa

Facebook
Twitter
WhatsApp
Muh. Aswan Syahrin | Dok. Pribadi

Oleh: Muh. Aswan Syahrin

Sumpah pemuda 28 oktober 1928 adalah tonggak berdirinya bangsa Indonesia dari kolonolial Belanda. Perjuangan para pemuda untuk memperjuangan kemerdekaan tanpa terasa sudah mencapai usia 89 tahun, ibarat seorang manusia, usia seperti itu sudah tua, makanya sekarang sumpah pemuda yang mengelorakan semangat kebangsaan dan persatuan untuk mencapai Indonesia merdeka, lambat laun tergerus yang namanya arus globalisasi yang melanda dunia saat ini.

Setiap tahun kita memperingatinya untuk melesatarikan dan mengimplentasikan nilai-nilai para pemuda, dari berbagai latar belakang suku budaya yang berbeda beda, untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia dari para penjajah masa itu.

Rakyat indonesia pada saat itu, sangat memikul penderitaan yang luar biasa. Pasalnya mereka dipaksa kerja, sehingga para pemuda dimasa itu terpanggil untuk mempersatukan para pemuda, kaum terpelajar nusantara dengan mempersatukan jiwa yang sama, yaitu satu bangsa, satu bahasa, satu tanah air.

Penyatuan pemuda kaum terpelajar nusantara, sangat mebuahkan hasil. Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Oleh karena itu, sepantasnya semua pemuda harus memperingati walaupun konteks yang berbeda.

Sekarang Indonesia bukan lagi dijajah dengan fisik, tapi sekarang penjajahan itu datang dari dalam diri bangsa Indonesia itu sendiri. Dengan banyaknya para penguasa yang di OTT dengan tindak pidana korupsi.

Korupsi, kemiskinan, pudarnya nasionalisme kebangsaan, materialisme, narkoba, terorisme/radikalisme, hedonisme, dan globalisasi adalah sederet tantangan yang harus dihadapi para pemuda Indonesia saat ini dan masa depan. Para pemuda Indonesia tidak boleh terlena dan terlalu asyik dengan diri sendiri. Semangat Sumpah Pemuda harus terus dikobarkan.

Pemuda masa kini adalah penentu potret kehidupan bangsa Indonesia, 20-40 tahun kedepan baik atau baruknya.

Menjadi bahan renungan kita bersama sebagai generasi muda yang harus menjunjungi tinggi Bhineka Tunggal Ika, sebagai alat pemersatu bangsa, yang dilandasi semangat gotong royong yang sejak nenek moyang kita sangat sakral sekali dalam kehidupan di masyarakat. Sekarang di mana nilai-nilai tersebut sudah luntur oleh berbagai pengaruh budaya yang kita tidak tahu datang dari mana, sehingga sedikit saja ada gesekan, sudah menjadi besar. Padahal, alangkah indahnya hidup dengan perdamaian, hidup berdampingan, hidup saling memberi, saling mengasihi dan menyayangi menjadi modal dasar untuk menjaga keutuhan bangsa dan Negara, yang diperjuangan oleh para pejuang dahulu yang tidak mengenal pamrih, atau upah yang harus diterima. Jangankan upah nyawa dan darah mereka korbankan untuk yang nama merdeka.

*Penulis merupakan mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ushuluddin, Filsafat dan Politik (FUFP) semester III

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami