Jejak Tuhan Dimana-mana

Facebook
Twitter
WhatsApp
Ilustrasi | Mirifica.net
Ilustrasi | Mirifica.net
Ilustrasi | Mirifica.net

Oleh Mohd Sabri AR

Postscriptus yang menggetarkan. Kalam akhir yang menggugat: “Masihkah Tuhan punya masa depan?” Pesan itu hadir untuk mengerkah ketertiban iman, “maybe God really is an idea of the past,”  begitu pendakuan Karen Amstrong dalam bab penghabisan bukunya The History of God. Buku genial yang lahir dari sebuah survei cemerlang menyimpul: manusia—sepanjang tak kurang dari 4000 tahun—tak letih mencari jejak Tuhan.

Amstrong mendaku, Tuhan masa lalu adalah Tuhan yang memiliki peran decisive dalam napas sejarah manusia yang dingin. Tiga tungku wirawacana soal Tuhan pun diluahkan dalam narasi mitos, kitab suci, dan sains. Masing-masing punya argumen yang ringkih. Tak ada mufakat. Saling debat. Satu-satunya yang secara nisbi bisa diterima tanpa jejak pertikaian: bahwa Tuhan ditemukan dalam aksara lalu diekspresikan dalam  aneka semesta-tanda.

Namun, haruskah ini berarti jika Tuhan akan tetap memainkan peran “masa lalu”Nya untuk kini dan masa depan? Apakah “paham” tentang Tuhan masa lalu akan tetap kukuh dalam sebilah keyakinan dan tersimpan rapi pada pualam dogma yang beku? Amstrong, lagi-lagi bersikukuh dengan temuannya, setelah dengan benderang menghamparkan zeit geist masa kini  yang suram: aneka kekerasan dan perang, kehancuran lingkungan, demoralisasi, dehumanisasi, penyakit AIDS yang tak tersembuhkan, penduduk yang kian eksplosif, kelaparan dan kekeringan, hingga agama—yang sejauh ini menjadah wadah paling sublim mempercakapkan Tuhan—justeru jadi institusi yang memupuk pertikaian panjang. Dalam huru hara zaman seperti ini, masihkah paham tentang Tuhan “masa lalu” bermakna dan bisa dipertahankan? Kesangsian, menjadi kabut-tebal dalam jawaban Amstrong.

Tuhan di masa depan, mesti keluar dari dinding simbol, citra dan simulakrum tanda. Ide tentang Tuhan masa depan mengandaikan sikap rendah hati, intersubyektif dan posdogmatik. Dan pada akhirnya, “yang menyangka  ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah” (Goenawan: 2008;41). Sebab itu, selalu ada misterium yang mengitariNya. Jangan-jangan, Tuhan masa depan—seperti lamat-lamat diakui dalam tulisan Amstrong—adalah Tuhan yang “dialami”  kaum mistikus?

Ada sebilah jejak lain yang jadi harapan, Hukum Hubble: “Kecepatan setara dengan jarak (v=Hd).”  Hukum  ini, tidak saja merupakan temuan terpenting astronomi abad ke-20, tapi juga “kunci” pembuka gerbang bagi Tuhan “masa lalu” untuk masuk kembali ke dalam sains yang sejauh ini tertutup rapat selama dua abad. “Para astronom menemukan Tuhan.” Demikian judul artikel dalam sebuah jurnal semi ilmiah yang cukup ternama ketika model asal-usul kosmik yang lebih lengkap—teori Big Bang—mendapatkan pengukuhan observasional pada akhir 1960-an.

Sejak itu, tak ada yang lebih menggetarkan sukma kaum mistikus sekaligus menghasut benak para ilmuan selain adanya petanda bahwa seluruh kosmik mempunyai awal. Teori Einstein tentang Relativitas—yang sejauh ini dinilai satu-satunya teori paling mampu memberikan pemahaman mengenai kosmik—justru gagal di titik tak terdefinisi yang dinubuatkannya sendiri. Titik awal ruang-waktu, singularitas, karena itu, menandai keandalan sekaligus keguyahan teori tersebut.

Ketika iman para mistikus seolah menemukan peneguhannya lewat teori  Big Bang, para ilmuan justru dihalau kenyataan: seluruh kisah menakjubkan penelusuran kosmologi ke masa silam di bawah payung nalarnya, bagai berakhir dalam sebuah mimpi buruk. Itu sebab, astronom Robert Jastrow mendaku, “para ilmuan memanjat tebing-tebing cadas ketidaktahuan; mereka nyaris saja menaklukkan puncaknya yang tertinggi; ketika berhasil menggapai batu terakhir, mereka justru disambut hangat serombongan mistikus yang telah duduk di sana selama berabad-abad.”

Peter Higgs dan Francois Englert, dua dari enam fisikawan yang pada 1964 mengusulkan keberadaan teori “Partikel Tuhan” atau Higgs Boson akhirnya, mengantarkannya meraih penghargaan paling bergengsi di kancah ilmu pengetahuan: Hadiah Nobel Fisika tahun 2013.

Teori “Partikel Tuhan” berangkat dari sebuh pertanyaan: mengapa benda di sekitar kita memiliki massa? Dari serangkaian riset yang mereka lakukan—lalu dipublikasikan pada jurnal Physical Review Letters—disimpulkan  jika “Partikel Tuhan” adalah keping terakhir dari puzzle untuk melengkapi Model Standar Partikel Elementer, sebuah teori paling sukses untuk menjelaskan bagaimana partikel dasar berinteraksi dengan gaya-gaya fundamental sekaligus memahami asal-usul, tumbuh dan berkembangnya kosmik. “Partikel Tuhan” sebab itu, adalah medan dan partikel mikroskopik yang tanpa kehadirannya, quarks tak terkombinasi membentuk proton dan netron, tanpa kombinasi proton-netron dan elektron  tak akan ada atom. Tanpa atom, molekul dan materi pun tidak akan terbentuk. Dengan kata lain: tak akan ada galaksi, bintang, planet, dan kehidupan di muka bumi.

Pertanyaannya kini: mampukah agama-agama dan tradisi otentik menjadi sumber energi dan inspirasi bagi manusia dalam membuat pilihan penting di masa depan, ketika sains menawarkan begitu banyak kemungkinan? Harapan itu akan tetap merekah, karena jejakNya, ada di mana-mana.

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami