Indonesia yang Bhinneka

Facebook
Twitter
WhatsApp
Oleh | Ardiansyah
Ungkapan selamat datang bagi mahasiswa baru di kampus peradaban merupakan ungkapan yang pas bagi mahasiswa baru (Maba) tahun ajaran 2013/2014. Ini sejalan dengan di buka pendaftaran maba sejak beberapa bulan yang lalu.
Pagi yang cerah, terik matahari semakin memanas. Saya memasuki kampus peradaban UIN Alauddin Makassar senin 25/07/2013. Kusaksikan berbagai baliho, spanduk yang terpasang untuk menyambut mahasiswa baru. Mulai dari gerbang kampus sampai di depan fakultas masing-masing terpasang berbagai spanduk. Semua lembaga mahasiswa sangat antusias menyambut maba.
Salah seorang maba menyapaku dan bertanya,” kak, Fakultas Ushuluddin dimana?”. Dibagian sana dek” jawabku. Sambil mengantarnya ke Fakultas Ushuluddin, saya memulai pembicaraan,” dek kamu ambil jurusan apa?” ia menjawab,” Sosiologi kak”.” Mengapa mengambil jurusan sosiologi?” tanyaku.  “ awalnya kak, saya mengambil jurusan manejemen tapi tidak lulus dan mendaftar lagi di jalur Ujian Masuk Mandiri (UMM) tapi lulus di pilihan ketiga yaitu Sosiologi” terangnya.
Pun saya teringat beberapa tahun lalu. Ketika mendaftar di perguruan tinggi. hal yang di alami maba tersebut pun saya alami. Berbagai jalur masuk perguruan tinggi saya ikuti demi mengejar cita-citku, pun tidak tercapai. Dan akhirnya jatuh di pilihan ketiga yaitu Perbandingan Agama. Sehingga saya berkesimpulan,” tidak mudah untuk masuk keperbadingan agama, butuh proses yang panjang. Berbagai seleksi yang saya ikuti akhirnya masuk di Perbandinga Agama”.
Suatu malam, saya bersama teman-teman mengadakan reunian kecil-kecilan setelah lama berpisah usai  tamat di Pondok Pesantern Madrasa Aliyah (MA) Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI) Abdulrahman Ambo Dalle (AD) Mangkoso, Kab. Barru, Sulsel 2009 yang lalu. Temanku bertanya ,” apa jurusanmu?”,” Jurusan Perbandingan Agama” kataku.” Untuk apa mengambil jurusan perbandingan agama, kenapa bukan pendidikan, kamu mau jadi apa nanti, lowongan kerjanya kurang?” dengan nada bercanda saya menjawab,” kan sudah banyak  yang jadi Ustadz bahkan banyak yang melanjtan pendidikan ke Mesir, biarlah saya jadi Pendeta” kataku dengan nada bercanda. Awalnya saya juga merasa salah satu korban dari jurusan Perbandinga Agama. Yang tidak tahu  mau kemana nantinya kalau setelah lulus.
Suara adzan subuh yang di kumadangkan di menara mesjid Mangkoso membangunkanku dari mimpi-mimpi indah. Langkah kakiku mengantarku menuju mesjid untuk melakukan kewajiban selaku umat Islam. Usai shalat subuh saya tinggal mendengarkan pengajian subuh yang di bawakan oleh Prof.Dr. Faried Wajedi, MA, selaku pimpinan pondok pesantren Mangkoso. Yang membuatku terkesimak dalam pengajian tersebut ketika beliau mengatakan,” ketika saya selesai di Al-Azhar Kairo, saya di panggil mengajar di Malaisya dan terangkat jadi pegawai negeri, semua fasilitas disiapkan baik rumah maupun kendaraan”.
tapi saya lebih memilih kembali ke Mangkoso untuk  mengabdi dan mejalankan amanah meskipun masa depanku belum jelas. Saya teringat dengan filosofi burung, dia pergi pagi dengan tujuan yang tidak jelas dan pulang dengan tempurung yang kenyang, apa tak lagi ketika kita berjuang di jalan Alllah, Insya alla Tuhan akan menolong kita” tambahnya.
Mendengar penjelasan tersebut, membuatku bersemangat dalam jurusanku yang sekarang. Meskipun belum jelas setelah lulus tapi jika sesuatu itu belum pasti maka masih mungkin, mungkin saya bisa lebih sukses daripada jurusan yang lain.
Dengan keterpakasaan saya menjalani pendidikan di Perbandingan Agama. Di semester awal saya merasa malu ketika di tanya tentang jurusanku. Banyak yang mengatakan, untuk apa agama di banding-bandingkan. Sudah jelas agama yang paling benar adalah agama islam. Memasuku semester tiga, saya mulai tersadar, perlu kajian yang lebih mendalam untuk mengatakan agama yang paling benar adalah agama ini. Kita jangan terjebak dalam klaim kebenaran, karena iniakan menjadi pemicu konflik.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang multikultural karena terdiri dari berbagai macam suku bangsa, ras, bahasa, budaya maupun agama. Sebagaimana diketahui, agama masyarakat Indonesia sangat beragam, yaitu terdiri dari agama Islam, Katolik, Protestan, Hindu, Budha, Konghucu dan agama-agama lokal lainnya.
Bangsa Indonesia ditakdirkan menghuni kepulauan Nusantara ini serta terdiri dari berbagai suku dan keturunan, dengan bahasa dan adat istiadat yang beraneka ragam. Oleh karena itu, perbedaan agama yang dipeluk masing-masing warga negara tidak seharusnya menjadi penyebab perpecahan yang dapat membahayakan kelangsungan kehidupan Bangsa dan Negara, tetapi justru sebagai alat pengikat dan penyuluh guna mempositifkan lima titik temu yang sudah ada, yaitu : satu Bangsa, satu Bahasa, satu Negara, satu Ideologi, dan satu Pemerintahan.
Penyebab beraneka ragamnya agama yang dianut masyarakat Indonesia tidaklah lepas dari sejarah. Dimana Indonesia terletak di jalur perdagangan dunia yang menyebabkan para pedagang yang singgah di berbagai wilayah pesisir di Indonesia mulai menetap dan mengajarkan agama serta kebudayaan para pedagang tersebut kepada masyarakat Indonesia yang waktu itu belum beragama dan masih menganut kepercayaan animisme maupun dinamisme.
Masuknya agama di Indonesia yang tidak merata ini menyebabkan terjadinya proses multikultural pada masyarakat Indonesia terutama dalam hal keagamaan. Dengan perbedaan agama yang dianut masyarakat Indonesia harus bisa hidup bertoleransi antar umat beragam. Apabila antar umat beragama saling bermusuhan maka akan terjadi konflik yang juga bisa merusak integrasi nasional bangsa Indonesia.
Salah satu prasyarat terwujudnya masyarakat  modern yang demokratis adalah terwujudnya masyarakat yang menghargai kemajemukan (pluralitas) masyarakat dan bangsa serta mewujudkannya dalam suatu keniscayaan. Untuk itulah kita harus saling menjaga kerukunan hidup antar umat beragama. Secara historis banyak terjadi konflik antar umat beragama[2], misalnya konflik di Poso antara umat Islam dan umat Kristen. Agama di sini terlihat sebagai pemicu atau sumber dari konflik tersebut. Sangatlah ironis konflik itu terjadi. Padahal agama pada dasarnya mengajarkan kepada para pemeluknya agar hidup dalam kedamaian, saling tolong menolong dan juga saling menghormati. Untuk itu marilah kita jaga tali persaudaraan antar sesama umat beragama.
            Agama merupakan jalan petunjuk menuju Tuhan. Setiap agama membawa misi perdamaian, misi keselamatan, misi kemaslahatan bagi penganutnya. Namun tidak jarang, sering terjadi konflik atas nama agama. Seperti halnya ketika kita mengingat  kasus Poso, Ambon betapa banyak menelan korban. Tidak sampai disitu saja, Sejumlah gereja dirusak oleh orang tak dikenal pada Ahad (10/2/13) dan Kamis (14/2/13). Total lima gereja di wilayah tersebut rusak akibat lemparan bom molotov ketika Makassar memasuki waktu dini hari. Pengusiran warga syiah di Sampang-Madura. Ini sangat memprihatinkan,  bahkan tempat tinggal mereka pun dibakar. 
Baru-baru ini juga telah terjadi serangan bom rakitan di Pusat Agama Budha Vihara Ekayana yang terletak di Mangga Dua, bagian Barat Jakarta, Ibukota Indonesia hari Minggu lalu (04/08/13). Bebepara kejadian diatas sangat  membahayakan keutuhan bangsa Indonesia. Indonesia banyak mendapat teror bom akhir-akhir ini. Diduga ini merupakan serangan terorisme.
Terkait masalah terorisme, ini tidak terlepas dari isu yang menganggap salah satu jalan untuk menegakka syariat islam yaitu dengan jihad. Doktrin yang ditanamkan yaitu barang siapa yang mati dalam membela agama Tuhan dia aka selamat dan masuk surga. Sehingga banyak yang rela melakukan bom bunuh diri dengan alasan membasmi kemungkaran. Namun tidak adakah jalan  yang lain untuk membasmi kemungkaran selain bom bunuh diri? Karena disetiap kejadian bom bunuh diri tidak hanya merugikan yang diduga pelaku kemugkaran tapi juga merugikan masyarakat setempat.
            Bulan lalu, tepatnya Senin (22/7/2013), tim Densus 88 Mabes Polri juga mengamankan dua terduga teroris lainnya, Selain menembak mati dua terduga teroris berinisial Rz dan Dy Kedua terduga teroris yang tertangkap masing-masing berinisial MH dan Sp keduanya warga Pagerwojo, Kabupaten Tulungagung.
            Hatiku miris mendegar berita terkait pembunuhan terduga teroris tersebut. Pasalnya, didalam kacamata hukum, kita tidak boleh menghukumi seseorang itu bersalah tanpa melalui proses hukum yang berlaku. Apalagi membunuh seseorang yang baru terduga teoris. Bukankah ini sebuah tindakan pensholiman!!!
            Betapa banyak kasus yang terjadi di negeri ini dengan menganggkat isu SARA. Seperti halnya. Pasca pengumuman ketua Komisis Pemilihan Umum (KPU) Sulsel, yang menyatakan Pemenang Pemilihan Gubernur Sulsel adalah pasangan Sahrul Yasin Limpo dan Agus Arifin Numang (SAYANG). Para simpatisan dari pasangan nomor satu, Ilham Arif Sirajuddin dan Aziz Qahar Muzakkar (IA) tidak menerimahnya. Meraka beranggapan telah terjadi kecurangan di beberapa Tempat pemungutan Suara (TPS). Akibatnya mereka melakukan kekacauan. Bentrok antara dua kubuh antara pasangan IA dan SAYANG tidak dapat di hindari.
Para simpatisan saling lempar batu. Bahkan ada diantara mereka membawa busur panah. Bentrok ini terjadi selama kurang lebih satu jam. Sepeda motor yang berstiker pasangan nomor dua dibakar oleh massa yang tidak menerima keputusan tersebut. Setelah itu mereka berkonvoi menuju rumah jabatan gubernur untuk melakukan kekacaua tapi meraka berhasil dihalau oleh petugas.
Akibat amuk massa itu juga dirasakan oleh warga Tionghoa. Bebarapa toko yang berada di jalan Somba Opu terkena lemparan batu. Sipatisan dari pasanga IA jengkel dengan warga Tionghoa karena beranggapan, mereka tidak memilih kandidat mereka.
Isu yang berkembang pada Pilgub Sulsel yaitu,” ketika pasangan IA yang memimpin Sulsel, warga Tionghoa akan terancam, karena di Sulsel akan ditegakkan syariat islam,” Ujar salah satu warga. Peristiwa ini bukan perama kalinya mewarnai pesta demokrasi. Seperti yang terjadi di Kota Palopo, Papua dan berbagi tempat lainnya. Isu tentang SARA sangat sarat akan potensi konflik, sehingga terkadang oknum memanfaatkan isu ini untuk melanggengkan misinya.
            Pesta demokrasi kerap diwarnai dengan kecurang. Demi mendapatkan status jabatan mereka rela menghalalkan segala cara demi tujuan tercapai. Sehingga kelompok yang tidak menerima kekalahan tersebut juga melakukan provokasi sehingga terjadi bentrok yang melibatkan warga. Melihat potret tersebut maka muncullah Organisasi Masyarakat (ORMAS) yang menolak demokrasi. Yang dengan getolnya ingin menerapakan syariat Islam dengan sistem Khilafah (kepemimpinan).
            Beberapa bulan yang lalu tepatnya Minggu, 19 Mei 2013, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) mengadakan Muktamar di Gor Andi Matalatta Makassar. Dalam pidatonya dia mengatakan,” Umat ingin menggusur sistem demokrasi dan menguburnya dalam sejarah sebagai gantinya umat menginginkan sistem Khilafah,” ujar salah satu penganut Khilafah yang saya lupa namanya, (bisa di lihat di Youtube videonya).
            Mereka menolak demokrasi dan ingin menerapkan sistem Khilafah. Bahkan mereka menganngap demokrasi adalah sistem yang kufur, sistem yang bertentangan oleh Islam (seperti yang saya abaca disitus Khilafah). Dengan alasan sistem demokrasi adalah sistem yang dibuat oleh manusia (buatan akal manusia). Menurut konsep dasar Demokrasi — yaitu pemerintahan yang diatur sendiri oleh rakyat — seluruh rakyat harus berkumpul di suatu tempat umum, lalu membuat peraturan dan undang-undang yang akan mereka terapkan, mengatur berbagai urusan, serta memberi keputusan terhadap masalah yang perlu diselesaikan. Padahal menurut Khilafah, hukum sudah ditentukan oleh Tuhan, hukum tidak boleh diambil dari manusia.
            Namun yang membuat saya heran, sistem khilafah yang di inginkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) ini merujut kepada siapa? Kepada para Khalifah? Padahal jika kita membuka lembaran sejarah. Ketika pemilihan Khalifah sebagai pengganti Nabi Muhammad, Abu Bakar terangakat  menjadi khalifah dari proses pemilihan. Umar Bin Khattab terpilih jadi Khalifah atas wasiat (rekomendasi) dari Abu Bakar. Usman Bin Affan terpilih jadi Khalifah secara aklamasi dan Ali Bin Abi Tholib terpilih juga dalam proses pemilihan. Bukankah ini merupakan sistem demokrasi!!!!
            Menolak demokrasi berati menolak Panca Sila. Padahal agama juga mengajarkan hanya menyembah kepada Tuhan, memilki nila-nilai kemanusian. Menjadi warga Negara harus memilki jiwa nasionalisme seperti yang tertuan dalam sila ketiga, Persatuan Indonesia.          Mengambi keputusan harus melalui musyawarah, seperti pada sila keempat, Kerakyatan yang dipingpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan dan menegakkan keadilan seperti yang tertuan dalam butir kelima dalam pancasila, Keadilan sosia bagi seluruh rakyat Indonesia.
Jadi adalah kekeliruan ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) menolak demokrasi. Yang seharusnya mereka tolak bukan sistem demokrasi tapi adalah pelaksana sistem yang menyalahgunakan demokrasi atau bahkan belum paham terhadap demokrasi. Dalam sistem demokrasi, setiap individu diberi kebebasan, kebebasan berpendapat, kebebasan bertingkah laku dan kebebasan beragama. Yang paling ditolak adalah kebebasan beragama. Mereka ingin menerapakan syariat islam di Indonesia.
Menegakkan syariat islam itu memang keniscayaan. Akan tetapi, apakah Indonesia sudah siap dengan syariat Islam? Kita tidak boleh menutup mata, bahwa Indonesia adalah Negara majemuk, terdiri dari suku, agama, ras, budaya daerah yang berbeda. Jika memaksakan kehendak akan merusak tatanan sosial. Bahkan Gusdur pernah berkata,” Indonesia ini ada karena keberagaman.”
Banyaknya konflik yang melibatkan agama sebagai pemicunya sehingga menuntut adanya perhatian yang serius untuk mengambil langkah-langkah yang antisipatif demi damainya kehidupan umat beragama[3] di Indonesia pada masa-masa mendatang. Jika hal ini diabaikan, dikhawatirkan akan muncul masalah yang lebih berat dalam rangka pembangunan bangsa dan negara di bidang politik, ekonomi, keamanan, budaya, dan bidang-bidang lainnya.
Adanya perubahan era seperti sekarang ini seharusnya meningkatkan kesadaran masyarakat kita akan arti penting persatuan dan kesatuan. Akan tetapi kenyataan yang terjadi justru sebaliknya. Angin reformasi membawa dampak kebebasan yang kurang terkendali. Hal ini akan sangat berbahaya ketika terjadi di tengah-tengah bangsa yang tingkat heterogenitasnya cukup tinggi seperti Indonesia. Rakyat Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat yang cinta damai dan diikat oleh rasa persatuan nasional untuk membangun sebuah negara yang majemuk. Persatuan ini tidak lagi membeda-bedakan agama, etnis, golongan, kepentingan, dan yang sejenisnya.
Konflik yang terjadi antar umat beragama tersebut dalam masyarakat yang multi kultural adalah menjadi sebuah tantangan yang besar bagi masyarakat maupun pemerintah. Karena konflik tersebut bisa menjadi ancaman serius bagi integrasi bangsa jika tidak dikelola secara baik dan benar. Karena mungkin selama ini konflik yang timbul antara umat beragama terjadi karena terputusnya jalinan informasi yang benar diantara pemeluk agama dari satu pihak ke pihak lain sehingga timbul prasangka-prasangka negatif.
Masalah ini dibahas dengan pertimbangan bahwa agama dewasa ini memegang peranan strategis dalam kehidupan manusia. Agama mempunyai fungsi memberi petunjuk dan mengarahkan manusia agar menjadi lebih baik. Namun, perlu diketahui bahwa agama merupakan sumber potensial munculnya konflik-konflik di masyarakat. Negara tercinta Indonesia mempunyai berabagai macam agama yakni Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Budha yang dengan adanya tersebut merupakan sumber potensial munculnya berbagai macam konflik agama. Oleh karena itu, dalam dasar negara yakni Pancasila melalui butir-butirnya dan Undang-Undang Dasar 45 pasal 29 ayat 1dan 2 sebagai dasar pijakan dalam kehidupan beragama.
.Kerukunan anta rumat beragama di Indonesia masih banyak menyisakan masalah. Kasus-kasus yang muncul terkait dengan hal ini belum bisa terhapus secara tuntas. Kasus Ambon, Kupang, Poso, dan lainnya masih menyisakan masalah ibarat api dalam sekam yang sewaktu-waktu siap membara dan memanaskan suasana di sekelilingnya. Hal ini mengindikasikan bahwa pemahaman masyarakat tentang kerukunan antar umat beragama perlu ditinjau.
Melihat fakta diatas saya mulai merasa bahwa jurusanku sangat memegan peran penting demi kelangsungan hidup berbangsa dan bernegara utamanya dalam kerukunan umat beragama. Di jurusan perbandingan agama kita mengkaji agama-agama dengan tujuan mencari titik temu demi kerukunan bukan memperluas jurang perbedaan.
Kamis , 15 Agustus 2013
Penulis Adalah sekertaris Umum UKM LIMA Washilah

  Berita Terkait

Pencarian Berita

Lihat Arsip Kami